Food Trend
Indonesia Surganya Bahan Makanan Gluten-Free & Rempah

6 Sep 2018


Foto: Shinta Meliza
 
Gluten-free. Local & Spice! Tajuk sesi di hari ke-3 Jakarta Eat Festival 2018 ini membuat penonton yang penasaran dan tertarik belajar lebih jauh tentang pola makan gluten-free yang memang sedang tren. Dipandu oleh Kevindra Soemantri dari Top Tables, obrolan sekaligus diskusi hangatpun mengalir di Sabtu (1/9) sore lalu di Gandaria City Mall, Jakarta.
 
Sumber makanan gluten-free banyak dicari sebagai alternatif pola makan yang lebih sehat, karena dipercaya tidak hanya meredakan berbagai gangguan fisik bagi mereka yang alergi terhadap gluten, tapi juga berdampak menyehatkan bagi mereka yang tidak alergi gluten. Rata-rata, para penikmat gluten-free merasa lebih berenergi, lebih sehat, dan lebih mudah mengontrol bobot tubuh.
 
Tren ini mendorong banyak supermarket mulai memajang berbagai variasi bahan makanan gluten-free di rak-rak mereka. Tentu, dengan harga pasaran yang cukup mahal, karena rata-rata masih impor. Padahal, Indonesia adalah surganya sumber makanan gluten-free!
 

“Indonesia kaya penganan lokal non gandum. Masyarakat Gorontalo punya tradisi Molabu, yaitu membuat tepung dari bahan pangan lokal, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan kelapa,” jelas Amanda Katili, Founder Omar Niode Foundation, yang bergerak di bidang pemberdayaan pertanian dan seni kuliner nusantara.

 
Berbicara tentang pemberdayaan potensi kuliner lokal, kita bisa berkaca pada Pemerintah Gorontalo. Pemerintah daerah mewajibkan sajian menu makanan asli Gorontalo di setiap acara pemerintahan. Melalui Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No. 3 Tahun 2015 tentang Pembelajaran Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah Gorontalo.
 
“Melalui Perda No. 3 tahun 2015 ini, pemerintah mewajibkan orang-orang muda Gorontalo untuk juga menguasai jenis-jenis masakan khas Gorontalo,” lanjut Imelda, disambut tepuk tangan apresiasi dari tak kurang 100-an peserta yang hadir. Serunya, di tengah acara, para peserta bisa mencicipi penganan manis Popolulu, yang terbuat dari ubi jalar.
 
Sebagai negeri kaya rempah, masakan lokal Indonesia memiliki cita rasa yang berani dan bervariasi. Salah satunya yang menjadi menu dan favorit dari para atlet Asian Games 2018 adalah menu khas Gorontalo Kuah Bugis – Tabu Moitomo, yang diolah dari 30 jenis rempah.
 


Aksi Chef Soli Membuat Bongko Kopyor dengan teknik Molecular Gastronomy/
Foto: Shinta Meliza
 
“Indonesia memiliki keragaman hayati yang tertinggi di dunia. Setidaknya ada 10.000 tanaman endemik di Indonesia. Dari 400 hingga 500 spesies rempah yang ada di dunia, 275 jenis di antaranya di temukan di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia,” ungkap Kumoratih Kushardjanto, dari Negeri Rempah Foundation.
 
Begitu banyaknya variasi masakan lokal, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk bingung menentukan menu. “Bayangkan, dari satu buku saja, seperti buku Mustika Rasa, ada 1.123 resep masakan, yang kalau kita masak setiap hari baru tuntas dalam waktu 4 tahun!” ungkap Seto, dari Komunitas Masak Akhir Pekan.
 
Terdorong keinginan untuk memopulerkan keragamanan pangan Indonesia inilah, Seto membangun komunitas Masak Akhir Pekan. Bersama-sama mereka mengolah makanan, seperti bubur jagung dengan saus gula Jawa dan campuran rempah cengkih, kapulaga dan kayu manis, hingga setup jambu.
 

“Perpektif kita harus dibalik, bukan mengganti terigu, tapi kita justru kembali ke bahan pangan lokal. Kita punya banyak tepung, seperti sagu, tapioka, beras, garut, dan banyak lagi,” ajak Seto.

 
Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri, bahwa kualitas sebuah masakan sangat ditentukan oleh kualitas dari bahan bakunya. Inilah yang dikejar oleh Gregory Lentini, pemilik Gelato Secrets. “Negara ini luar biasa, tidak banyak negara yang berlimpah dengan bumbu, rempah, dan banyak bahan untuk membuat makanan sehat dan natural,” ungkap Gregory.
 
Menurutnya, Indonesia sangat kaya dengan bahan makanan berkualitas tinggi. Mengonsumsi makanan lokal, jelas lebih sehat. Karena tidak perlu melalui rantai distribusi yang panjang, semua kandungan nutrisi dalam bahan pangan masih dalam kondisi bagus dan segar.
 
“Anehnya, banyak orang Indonesia berpikir bahwa bahan makanan lokal kualitasnya lebih rendah dari produk impor. Sementara itu, untuk mendapat kulitas bagus, maka orang harus membayar lebih, karena semua produk unggulan dikirim ke luar untuk ekspor,” ungkap Gregory, prihatin.
 
Kenyataan ini menggerakkan Gregory untuk memburu bahan baku terbaiknya dengan langsuung membelinya dari petani-petani di daerah dengan harga yang tinggi. Sehingga ikut membantu perekenomian petani lokal.  Salah satunya, ia berburu coklat dari petani di Sulawesi Barat, di sebuah desa kecil dekat Kabupaten Mamuju.
 
“Di sana kami tidak hanya membeli, tapi juga mengajar bagaimana melakukan fermentasi biji kakao yang lebih baik. Sehingga kualitasnya tinggi,” jelas Gregory, yang mengajak para petani kakao asal Sulawesi Barat ini bertandang ke Bali, ke tempat produksi gelato coklat miliknya. Untuk kali pertamanya para petani ini mencicipi es krim cokelat khas Italia dari hasil panen mereka sendiri.
 
Di penghujung acara, para peserta diajak untuk bersama-sama menyaksikan demo masak dari Chef Soli dari Nusa Indonesian Gastronomy. Sore itu Chef Soli mengolah penganan Bongko Kopyor, yang berbahan dasar bubur sumsum dengan tepung sorghum. Dengan menggunakan teknik Molecular Gastronomy, adonan Bongko Kopyor disemprot dengan nitrogen cair, sehingga teksturnya lembut menyerupai es krim.(f) 


Baca Juga:

Coffee Roasting 101 di Jakarta Eat Festival 2018
Waktunya Indonesia Membumbui Dunia
Eating Clean, Solusi Sehat ala Inge Tumiwa, di Jakarta Eat Festival 2018

 


Topic

#JakartaEatFestival, #JEF2018, #glutenfree

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?