Food Trend
Amaliah Membawa Kearifan Tumpeng di Festival Pangan di Italia

8 Oct 2018

 
 Foto: Dok. Pusat Studi Pangan & Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
 

Semakin banyak masyarakat percaya bahwa slow food adalah salah satu jawaban untuk dunia ini. Bahkan, ada Slow Food International, gerakan masyarakat yang tersebar di 160 negara dengan prinsip Good, Clear and Fair. Artinya bahwa  pangan yang kita konsumsi harus memenuhi standar yang meliputi gizi, estetika, serta memiliki proses dari hulu ke hilir yang bersahabat terhadap alam. Pangan berprinsip slow food juga juga harus menjalankan fairtrade, agar perdagangan berpihak pada produsen, baik itu petani, peternak, hingga pembuat makanan. 

Slow Food International ini secara rutin menyenggarakan festival setiap tahun genap, Salone del Gusto. Perhelatan akbar Salone del Gusto tahun ini digelar di Kota Turin, Italia, 20-24 September 2018 lalu, mengambil tema besar, Food for Change. Di era perubahan iklim, gerakan yang berpusat di Italia ini kini tengah membawa ke permukaan ragam diskusi tentang pangan yang berbasis pada keragaman lokal.

Indonesia juga memiliki perkumpulan slow food, dengan yang aktifnya berada di Yogyakarta. Amaliah, anggota Slow Food Yogyakarta dan Presidia Pisang Slow Food Yogyakarta, ikut dalam acara tersebut. Wanita yang sehari-harinya bekerja sebagai staf peneliti makanan tradisional dan keragaman pangan lokal Nusantara di Pusat Studi Pangan & Gizi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, ini hadir di Salone del Gusto sebagai pembicara, mengisi salah satu dari lima topik forum, yakni Food and Health.

Sebagaimana yang disampaikan ke femina, ia memaparkan makna tumpeng dalam forum ini, berbagi panggung dengan empat pemapar mancanegara. Mereka adalah Eija Tarkiainen, peneliti disiplin holistik dan kurator proyek budaya dari Finlandia, Kazumi Oishi, dukun dari  Jepang, Luca Ostacoli, psikiater dan profesor psikologi klinis dan psikoterapi dari Turin, Jader Tolja, psikoterapis dan peneliti dari Belanda. Sesi dipandu oleh Maria Chiara Giorda, profesor dari Universiti Agama Sejarah  dari Roma.

Tumpeng adalah bagian dari warisan budaya Jawa yang merupakan perwujudan dari ‘tumapaking penguripan tumindak lempeng tumuju Pangeran’. Menurut Amaliah, ini berarti orang Jawa percaya  bahwa manusia akan bersatu dengan Tuhannya dalam kebenaran dan kebijakan yang hakiki.

Pada abad ke-5 SM, Hippocrates, bapak filsuf kesehatan dari  pulau Cos Yunani, meletakkan dasar-dasar obat baru, berdasarkan tidak hanya pada empirisme, tetapi juga pada pengetahuan tentang tubuh, hubungan dengan alam dan lingkungan seseorang dan keseimbangannya dengan semesta.

Sambung Amaliah lagi, makanan memiliki koneksi yang kuat dengan kesehatan dan spiritualitas. Banyak agama, serta masyarakat adat, menerapkan prinsip yang sama, melihat makanan sebagai makanan spiritual dan mengintegrasikannya ke dalam ritual mereka. Bahkan di luar praktik agama, makanan dan gizi sering digunakan sebagai strategi ketahanan spiritual terhadap gaya hidup yang tidak sehat.

Ini paparannya mengenai makna tumpeng di hadapan audiensi global:

# Bentuk kerucut: 
Perwujudan dari gunung Mahameru yang menurut Hindu Budhisme kuno menyimpan kekuatan gaib berupa penguasa jagad raya pada puncaknya.

# Nasi: 
Tumpeng sebagai simbol dan perayaan hidup dalam tradisi Jawa diwujudkan dalam bentuk kerucut terbuat dari nasi. Nasi yang berasal dari beras (Oryza sativa L) merupakan makanan pokok umumnya masyarakat Jawa. Kata beras diserap dari bahasa kaum Austronesia, nenek moyang masyarakat Asia Tenggara yang menyebar dari Semenanjung Melayu hingga Kepulauan Nusantara bagian barat.

# Keragaman lauk pauk: 
Perwujudan dari keragaman alam ciptaan Sang Khalik.  Ragam lauk pauk yang berasal dari alam sekitar merefleksikan kesegaran, kebugaran, dan nilai gizi yang masih hidup yang akan memberikan manfaat besar bagi tumbuh.

# Cara menikmati: 
Mengambil dari bagian bawah tumpeng yang berbentuk kerucut yang disantap bersama dengan lauk pauk yang berada di sekitar tumpeng.

# Wujud Tumpeng menuju penghabisan: 
Keberagaman rasa dan rupa dari lauk pauk yang disantap bersama dengan nasi lama kelamaan akan menyusut (turun). Jawa menghubungkannya dengan istilah ‘Manunggaling kawula lan Gusti’ yang berarti bersatunya manusia dengan Sang Pencipta. Ini mengingatkan bahwa makhluk lama kelamaan harus semakin dekat dengan penciptanya dalam suka dan duka (diwakili rasa pahit, asin, manis, tawar yang menyatu dalam kelengkapan cita rasa tumpeng).
 
# Kendurian dengan Tumpeng: 
Tumpeng memberi gambaran secara simbolis bahwa manusia harus hormat pada alam semesta dan perlu menjadikan dirinya semakin dekat dengan sang Pencipta. Tumpeng seringkali ditemui di upacara slametan / kenduri / ngepung tumpeng. Slametan / kenduri (kenduren) adalah upacara makan tumpeng bersama oleh orang yang hadir, didahului oleh doa dan ditutup dengan makan tumpeng bersama.

# Dilihat dari jenisnya:
Tumpeng Punar: Punar artinya kuning, dari ekstrak kunyit dengan tambahan air jeruk nipis agar kuningnya cerah. Kuning lambang kemegahan Sang Pencipta. Tumpeng Punar disajikan saat perayaan kemenangan seperti Syukuran kemerdekaan RI, Lulus dari ujian
Tumpeng Duplak: Tumpeng nasi putih, memiliki simbol bahwa pemilik hajat berharap bahwa keinginannya terkabul.

Simpulnya, Tumpeng adalah makna simbolis dan perayaan kehidupan pada masyarakat tradisional Jawa. (f)

 
Baca juga: 

Trifitria Nuragustina


Topic

#salonedelgusto, #slowfooditaly

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?