Fiction
Umar Bakri dari Tamaluppu

12 Sep 2016

Tak terasa, telah hampir satu tahun aku di sini, menjadi guru bagi anak-anak Passau dan Tamaluppu. Tak pernah sedikit pun tebersit cita-cita mengabdikan diri sebagai guru di pelosok. Tak pernah terbayangkan aku akan jatuh cinta kepada murid-muridku. Tak dapat kupercaya aku bisa merasa bahagia jika ada muridku yang berhasil menjawab soal dengan benar. Seperti inikah yang Ayah rasakan sehingga ia setia menjalani profesinya sebagai guru hingga akhir hayat?
            Sekelebat bayangan Ayah melintas. Tubuhnya yang tinggi kurus dibungkus seragam safari cokelat muda lengan pendek. Kopiah hitam nangkring di kepalanya, kontras dengan rambutnya yang putih. Mengikuti Bung Karno, katanya jika ditanya ikhwal kopiahnya. Ayah pengagum berat Bung Karno. Buku Di Bawah Bendera Revolusi dibaca dan dijaganya bagaikan kitab suci.  
 
Kalau saja kecelakaan itu tak merenggut nyawanya dan nyawa Fatimah, adikku, mungkin cerita hidupku akan berbeda. Barangkali aku tak akan pernah ada di sini, di Passau, sebuah desa di Majene, Sulawesi Barat yang bahkan tak tercatat di peta. Jika Ayah dan Fatimah masih ada, mungkin sekarang aku sedang sibuk mengebor minyak di Sanga-Sanga, bukan berdiri di depan kelas yang berdinding papan ini dengan sejumlah murid dekil dan bau. Mungkin malah Fatimah yang berada di tempatku sekarang, karena dialah yang kukuh bercita-cita menjadi guru seperti Ayah.
            Dua minggu setelah pemakaman Ayah dan Fatimah, aku kembali ke Sanga-Sanga, menjalani rutinitas sebagai seorang senior field engineer di sebuah perusahaan minyak swasta nasional. Inilah pekerjaan bergengsi yang aku peroleh sesaat setelah lulus dari Teknik Geologi ITB dengan predikat cum laude. Dua tahun kemudian, jabatanku naik dari field engineer menjadi senior field engineer. Dengan gajiku itu, aku merenovasi rumah orang tuaku di Cirebon. Rumah yang kini hanya dihuni Ibu.
            Rupanya itu menjadi kepulanganku yang terakhir ke Sanga-Sanga. Waktu itu, di ruang tunggu Bandara Sokearno-Hatta aku membaca sebuah berita di koran tentang Indonesia Mengajar, sebuah program yang mengajak, atau tepatnya, menantang para pemuda untuk mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di pelosok-pelosok negeri selama 1 tahun.
            Saat itulah, entah kenapa, hatiku tersentak. Aku teringat Ayah dan Fatimah. Sesungguhnya, Ayah sangat berharap aku mengikuti jejaknya menjadi guru.
“Mendidik itu pekerjaan yang mulia, Umar,” katanya. “Negeri ini masih sangat membutuhkan guru.”
Biasanya aku akan menyahut, “Ayah, negeri ini juga membutuhkan insinyur-insinyur pintar agar tak perlu lagi memakai tenaga ahli asing, terutama di pengeboran-pengeboran minyak. Lagian, mengabdi kepada tanah air kan bukan hanya dengan menjadi guru. Soekarno juga insinyur, kan?”
Kalau sudah begitu, Ayah akan terdiam dan aku berlalu dengan cengiran kemenangan. Tinggallah Fatimah yang kemudian menghibur Ayah dengan berkata bahwa dialah yang akan menjadi penerus Ayah.
Namun, takdir berkehendak lain. Bersama Ayah, Fatimah dipanggil Tuhan sebelum berhasil mewujudkan cita-citanya itu. Dua kehilangan yang sangat besar bagi kami, aku dan Ibu. Berhari-hari Ibu berkabung untuk suami dan putri tercintanya. Berat sekali rasanya saat aku harus meninggalkan beliau sendiri. Ia memelukku erat-erat tanpa berkata apa-apa. Cuma air matanya yang terus mengalir membasahi kemejaku. Pilu.
Dan aku menemukan berita itu. Kubaca kembali saat sudah berada di kamarku di Sanga-Sanga. Aku merenungkannya cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti program tersebut.
Bos dan teman-temanku tentu saja terkejut dan tak percaya ketika kusampaikan permohonan pengunduran diri. Tentu setelah aku dinyatakan lulus seleksi bersama sekitar 50 peserta lain. Lebih terperangah lagi saat mereka tahu bahwa aku berhenti bekerja karena ingin menjadi pengajar di sebuah desa di pelosok Sulawesi. Beberapa teman menasihati agar aku mempertimbangkan kembali niatku. Yang lain menganggapku konyol dan sok idealis.
“Kamu pengen jadi Umar Bakri beneran rupanya,” seloroh mereka.
Umar Bakri yang mereka maksudkan adalah tokoh guru rekaan Iwan Fals dalam salah satu lagu ciptaannya. Tokoh Umar Bakrie digambarkan Iwan sebagai seorang guru tua, miskin, tetapi sangat berdedikasi, sehingga dari tangannya lahir orang-orang pintar. Sementara dia sendiri tetap saja miskin dan datang ke sekolah naik sepeda kumbang sambil membawa tas hitam kusam dari kulit buaya. Lagu itu sangat terkenal. Umar Bakri menjadi semacam sebutan untuk guru-guru tua yang layak mendapat gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.
Kebetulan sekali namaku Umar dan nama ayahku Bakri. Sebenarnya panggilanku Umar saja, tanpa Bakri, tetapi karena di kampungku ada 2 orang Umar lainnya yang sebaya denganku, maka orang-orang lalu menambahi satu kata di belakang nama kami sebagai pembeda. Karena aku anak Pak Bakri, terkenallah aku sebagai Umar Bakri, sedangkan temanku yang dua orang itu masing-masing dipanggil dengan nama Umar Bule (karena kulitnya yang putih) dan Umar Arab (karena keturunan Arab).
 Nama lengkapku sebenarnya adalah Kusno Umar. Kusno adalah nama kecil Bung Karno, sedangkan Umar diambil dari Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Rasul. Jadi, kompletnya adalah Kusno Umar bin Bakri.
Begitulah. Akhirnya perusahaan mau melepasku walaupun dengan berat hati. Dalam negosiasi terakhir, mereka masih menawarkan promosi untukku jika aku membatalkan niatku. Namun, keinginanku sudah bulat. Ini semacam pemenuhan wasiat dari Ayah dan terutama, Fatimah. Meskipun hanya setahun dan mereka berdua tak lagi bisa menyaksikannya.
Fatimah, sebenarnya kaulah yang pantas berdiri di sini, di hadapan 22 anak kampung yang dekil dan bau amis ini. Matamu yang indah itu pasti akan membulat bahagia mengajari mereka berhitung dan membaca. Menceritakan dongeng-dongeng peri dan hikayat tanah air dari koleksi buku-bukumu. Kau tentu akan lebih sabar mengatasi Syahrul, murid paling nakal di kelas ini.
Ah, Syahrul. Ketika pertama kali bertemu anak ini, aku seperti berhadapan dengan seorang teman dari masa kecilku, Jono. Mereka sama-sama anak paling nakal di kelas. Suka sekali mengganggu teman-teman yang bertubuh lebih kecil darinya. Syahrul, seperti juga Jono, memiliki tubuh yang jauh lebih besar dari teman-teman sekelasnya. Dia tidak pernah bisa duduk tenang selama pelajaran berlangsung. Selalu ada saja ulahnya yang membuat kegaduhan di kelas. Aku nyaris habis akal mengatasi kenakalannya. Tapi, tiba-tiba aku teringat Jono, tepatnya ketika Jono ditaklukkan Ibu Rosida, guru kami dulu.
Aku ingat, Ibu Rosida tidak pernah marah kepada kami, termasuk kepada Jono, sang jagoan. Suatu hari, Ibu Rosida meminta Jono duduk di sebelah kursinya, lalu beliau berkata, “Anak-anak, hari ini Jono Ibu angkat sebagai asisten guru. Tugas asisten adalah menjaga keamanan dan ketertiban kelas serta membantu Ibu menulis di papan tulis.”
Kami mengeluarkan suara-suara seperti lebah mendengung ketika Jono berjalan gagah ke depan kelas. Dengan senyum bangga dia duduk di sebelah Ibu Rosida yang kemudian menyuruhnya menyalin soal-soal matematika di papan tulis. Setelah itu, dia juga ikut menyalinnya di buku seperti kami. Dan pelajaran hari itu berlangsung tenang dan tertib.
Metode Ibu Rosida kupakai untuk mengatasi Syahrul. Dan berhasil! Sejak hari itu, kenakalan Syahrul berkurang banyak. Aku bisa bernapas lega. Satu masalah terpecahkan. Fiuuuuh!
Sejak tiga hari pertama menginjakkan kaki di Passau, aku menulis catatan harian. Hingga hari ini. Awalnya karena iseng dan tidak ada yang bisa kuajak ngobrol. Menelepon? Chatting? Oh oh oh… kosa kata itu tidak akan bisa kaujumpai di kamus Passau. Jangankan internet dan telepon, listrik pun belum mengalir sampai ke sini. Laptop, telepon seluler, dan gadget-gadget komunikasi lain, nyaris tak berguna di sini. Kalaupun ada fungsinya sebagai pajangan saja. Praktis, selama hampir setahun ini komunikasiku dengan dunia luar terputus. Hanya tiga kali aku menelepon Ibu waktu ke Majene. Selebihnya, kuhabiskan waktu di Passau dan Tamaluppu.
Tinggal di tempat terpencil sebenarnya bukan hal baru bagiku. Sebagai tukang ngebor minyak, aku sering bertugas ke pelosok yang jauh dari peradaban. Basecamp kami di Sanga-Sanga terletak di pedalaman. Aku juga pernah terapung-apung di anjungan minyak lepas pantai Laut Cina Selatan selama 2 bulan.
Namun, keterasingan di sebuah wilayah perusahaan minyak yang dilengkapi fasilitias serbamodern dengan terasing di desa terpencil tanpa listrik tentulah sangat berbeda. Dan ternyata mengendalikan 22 orang anak umur 10-12 tahun tidak lebih mudah daripada menemukan sumber minyak baru. 
Aku tinggal di rumah Pak Yani, guru di sekolah tempat aku mengajar. Dia orang yang menyenangkan. Para tetangga menyukainya karena dia ringan tangan dan gemar berkelakar.
Suatu pagi, tetangga sebelah rumah kami melahirkan. Sepulang dari sekolah, aku dan Pak Yani mampir ke sana sekadar menjenguk dan memberi doa selamat kepada si bayi. Seorang bayi perempuan yang cantik tidur dalam sebuah ayunan dari sarung.
“Cantik bukan, Pak?” kata ibunya yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelah saya.
Ibu yang masih muda, mungkin usianya sekitar 27 tahun. Ini adalah anak keduanya. Anak pertamanya, laki-laki berumur 2,5 tahun, tidak kelihatan.
“Ya, cantik sekali,” sahutku.
Sesungguhnya aku tidak tahu persis definisi bayi yang cantik itu seperti apa. Bagiku, semua bayi tampak sama saja, baik lelaki maupun perempuan.
“Tolong kasih nama ya, Pak,” ujar sang ibu lagi.
 
Dari semula hanya kaget, aku jadi bingung. Sedikit panik malah. Melihat wajahku yang kebingungan, perempuan itu malah tertawa.
“Kasih nama buat dia, Pak. Yang bagus supaya dia pintar seperti Bapak.”
Dengan perasaan tak percaya, aku mengangguk cepat-cepat dan berjanji segera mencarikan nama yang baik untuk anaknya itu.
Sesampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan ‘bersemadi’ mencari ilham untuk nama si bayi. Duhai, ternyata menemukan nama yang bagus dan sesuai bukan urusan gampang. Sampai malam aku belum memperoleh satu pun nama yang tepat. Aku berharap tetanggaku itu sudah melupakannya esok hari.
Namun ternyata tidak. Pagi hari ketika aku akan berangkat mengajar, dia mencegatku dan kembali menagih janji. Aku gelagapan dan sekali lagi memberikan janji.
“Cepat ya, Pak. Nama itu harus sudah ada saat akikahan hari Minggu nanti,” ujarnya. Waduh, itu kan berarti lusa.
 “Pak Umar, Kakak tanya, jadinya siapa nama anaknya?” Sebuah suara perempuan mengejutkanku. Keringat berlelehan di punggunggku. Duh!
 “Ya, sebentar lagi, ya. Tunggu,” sahutku cemas lalu berjalan gegas ke kamarku.
Di kamar aku menulis nama-nama perempuan di buku agendaku. Kupadupadankan kata-kata dari berbagai bahasa: Sunda, Jawa, Arab, Melayu, Sansekerta, Inggris….
Annisa Solehah. Hm, sepertinya terlalu islami. Kucoret.
Kamelia. Kok kayak judul lagu Ebiet, ya?
Imelda Megawati. Halah, nggak bagus banget.
Nurani Fitri. Amelia Putri. Kartika Lestari.  Farah Farida. Anne Ainy…. Pusiiiiing!
Mawar Talita. Hamidah Fatmawati…
Tok tok tok tok… Pintu diketuk lagi.
Tiba-tiba ilham itu datang! Aku sudah mendapatkan nama yang pas untuk si orok.
 
Aku keluar kamar dengan seuntai senyum lega. Dengan tenang aku mengikuti acara syukuran itu. Ayah sang bayi memintaku ikut menggunting rambut sang bayi sekaligus mengumumkan namanya. Dengan bergetar kusebutlah nama itu: Fatimah Salsabila.
Nama itu untuk mengenangmu, Fatimah.
 
Aku tak mengira acara pemberian nama itu tak berhenti sampai di situ saja. Esok hari dan beberapa hari selanjutnya, datang lagi permintaan sejenis. Lucunya, ada juga yang minta nama anaknya diganti agar tidak lagi sakit-sakitan. Lama-kelamaan aku jadi mahir melakukannya. Kupikir tidak ada salahnya menyenangkan hati orang lain. Ini sebuah kehormatan bagiku. Mereka memercayakan pemberian nama anak mereka kepadaku, seorang asing dan baru di sini. Kadang-kadang kalau sedang buntu ide, kupakai saja nama temanku yang teringat.
Sementara masyarakat desa lebih bisa menerima kehadiranku, kenyataan yang agak berbeda justru kudapati di sekolah. Pak Idris, kepala sekolah, adalah orang yang paling kentara tidak menyukai kehadiranku. Hal itu tampak bukan saja dari sikapnya tetapi juga dari perlakuannya kepadaku.
Pada awal kedatanganku, dia menugaskan aku untuk mengajar olahraga. Padahal dia tahu, di sini aku akan mengajar matematika, IPA, dan bahasa Indonesia. Hm, kalau perintah ini kuturuti, jalan cerita akan berubah dan “karier” baruku terancam gagal total. Aku harus melakukan negosiasi dengan sang penguasa ini.
Sebagai pendatang baru dan seorang yang jauh lebih muda dari si penguasa, aku harus memakai strategi yang cantik demi memenangi perundingan. Aku menghadap dan bicara baik-baik dengannya. Kujelaskan alasanku bahwa aku tidak siap mengajar olahraga. Akhirnya, setelah setengah jam, dia melunak. Diberinya aku dua pilihan: guru olahraga untuk semua kelas atau wali kelas 4. Jelas saja kupilih yang kedua.
Kelas 4 hanya memiliki murid sebanyak 22 orang. Kalau saja semuanya lelaki, cukup untuk membentuk satu tim sepak bola, bukan? Sebelas orang pemain inti dan 11 orang cadangan. Murid lelakinya ada 15 orang dan sisanya perempuan. Delapan orang dari mereka tinggal di Tamaluppu, termasuk Rizki, my genius student. Jarak Tamaluppu-Passau ditempuh anak-anak itu dengan berjalan kaki selama 45 menit. Jika hari hujan, mereka tidak bisa berangkat ke sekolah karena jalan setapak yang setiap hari mereka lalui berubah menjadi sungai dan air terjun. Anak-anak itu berangkat ke sekolah masing-masing berbekal sebilah bambu runcing untuk dipakai sebagai senjata menghadapi kawanan babi hutan yang kerap mereka jumpai di perjalanan.
Di Tamaluppu ada juga sekolah dasar dan seperti di Passau, di sana pun kekurangan guru sehingga kegiatan belajar-mengajar sering terhenti. Hal itu menimbulkan sebuah gagasan di kepalaku untuk mengajar ekstra di Tamaluppu dua kali seminggu khusus untuk kelas 5 dan 6. Semacam les sore hari di sebuah langgar kecil yang dipakai mengaji pada malam hari. Di sana sudah tersedia 6 buah lekar dan selembar papan tulis kecil.
Ketika rencanaku itu terlaksana, peserta les cuma 6 orang, 4 lelaki dan 2 perempuan. Kami belajar selepas asar. Saat itulah untuk pertama kalinya aku melihat Rizki. Dari balik jendela, anak itu mengintip malu-malu ke dalam kelas. Waktu kudekati, dia lari dan sembunyi. Tetapi tak lama kemudian, dia kembali lagi mengintai dari balik daun jendela yang terbuka. Dia kembali kabur saat aku berjalan ke arahnya.
Hal itu berlanjut pada les berikutnya. Si pengintip datang lagi. Kali ini kudiamkan saja. Dari peserta les aku tahu namanya Rizki. Dia murid kelas 4 tapi sudah 3 bulan tidak sekolah. Teman-temannya bilang, Rizki anak yang pandai. Hmm.
Sore itu aku memberi les matematika. Lima buah soal kutulis di papan tulis. Saat murid-muridku sedang tekun mengerjakan soal itu, tiba-tiba segumpal kertas dilemparkan ke dalam kelas. Waktu kehampiri, pelakunya sudah lari menjauh. Rizki.
Kupungut bola kertas itu. Kubuka perlahan-lahan. Isinya membuatku tertegun. Di kertas kumal itu tertera coretan-coretan cakar ayam kelima soal matematika yang tertulis di papan beserta jawabannya. Empat soal dijawabnya dengan benar! Wow!
Segera kusimpan kertas itu di saku celanaku. Dengan berdebar aku menanti sang pengintip kembali. Aku yakin dia pasti kembali. Benar saja. Anak itu datang lagi. Kepalanya yang mungil muncul di ambang jendela. Malu-malu. Aku pura-pura tidak melihatnya dan menulis sesuatu di selembar kertas. Kertas itu kemudian kuremas membentuk bola seperti kertas yang dilemparkan Rizki. Lalu, pelan-pelan aku berjalan ke jendela.
Seperti biasa, si pengintip segera melesat kabur dan sembunyi di suatu tempat tak jauh dari langgar. Kulemparkan bola kertas yang kubuat tadi ke luar jendela dan berjalan kembali ke kursiku. Aku yakin anak itu melihatnya dan akan segera memungutnya.
Tebakanku lagi-lagi benar. Dengan mengendap-endap si pengintai mendekat kembali dan cepat-cepat memungut bola kertas itu. Kusaksikan semua itu dari jendela dengan mengintip juga. Rizki membawa kertas itu ke persembunyiannya. Diam-diam aku tersenyum sendiri.
Tak sampai 10 menit kemudian, sebuah bola kertas kembali dikirimkan ke dalam kelas. Aku mengambil dan membukanya. Bukan main! Tiga soal matematika untuk kelas 6 yang kutulis di bola kertas tadi dijawab dengan benar oleh Rizki. Perhatianku jadi terpecah antara murid-murid yang di kelas dan seorang “murid” di luar. Rizki, bocah yang tak sekolah. Dalam hati aku bertekat untuk membawa anak itu ke kelasku di Passau.
Kuselesaikan les sore itu hingga tuntas satu jam kemudian. Aku keluar paling akhir. Ketika akan menutup jendela aku terkejut mendapati si pengintip meringkuk di bawahnya. Tertidur. Tangan kanannya menggenggam kertas dan pulpen.
Aku segera menghampiri bocah itu. Kugoyang pelan-pelan tubuhnya yang dekil. Dia bangun dengan tergeragap, berusaha lari. Tetapi kali ini upayanya sia-sia. Kupegang lembut tangannya yang kurus. Kutatap dia lekat-lekat tepat di matanya yang cerdas itu dan kubantu berdiri. Dia menolak ketika kuajak pulang bersama. Secepat kijang dia melesat. Tak menoleh lagi.
Kuusap kepalanya lalu aku berjongkok di hadapannya. Kukatakan padanya, “Pergilah ke sekolah di Passau. Aku guru di sana. Akan kuberi tahu kau rahasia-rahasia ilmu pengetahuan yang ingin kauketahui. Senuanya. Pergilah ke sekolah.”
Dan keesokan harinya, si genius cilik itu sudah ada di kelasku.
 
Untuk mengakrabkan diri dengan anak-anak didikku, aku sering mengajak mereka bersenang-senang bersama. Main bola, menangkap belut, memancing, berkemah, mendongeng, menyanyi, dan membaca puisi! Sesaat aku membayangkan diriku sebagai John Keating di film Dead Poets Society. Film favorit Fatimah. Entah sudah berapa kali dia menonton film itu dan setiap kali usai menonton dia selalu berkata, “Kalau kelak aku jadi guru, aku akan mengajar seperti John Keating.” Lalu dia akan naik ke kursi dan berseru dengan gaya teaterikal, “Carpe, carpe diem, seize the day, boys. Make your life extraordinary!”
 
            Begitulah, perasaan cintaku kepada bocah-bocah dekil dan bau itu terus tumbuh. Aku bukan saja guru bagi mereka tetapi juga sahabat, kakak, dan ayah. Mereka menganggapku mampu melakukan segala hal. Dari berhitung, membaca, mendongeng, memancing, mengaji, hingga mengobati. Ada satu kejadian yang tak akan kulupakan sehubungan dengan “mengobati” ini.
            Pada suatu sore, aku dikejutkan oleh Bahtiar, muridku, yang tiba-tiba saja muncul di jendela sambil berteriak mengabarkan bahwa Aryono, ketua kelas, kakinya terpotong dan berdarah banyak. Aku bergegas meraih kotak P3K dan berlari ke rumah Aryono yang berjarak 6 rumah dari rumahku.
            Sampai di sana, dengan cepat kubebat luka di kaki Aryono sebagai tindakan pertolongan pertama. Anak ini harus dibawa ke Puskesmas. Lukanya harus dijahit. Tetapi sore begini tentu Puskesmas sudah tutup. Maka dengan meminjam motor, kubawa Aryono ke rumah dokter yang tak jauh dari Puskesmas, ditemani Bahtiar.
            Kami tiba dalam tempo lima belas menit. Aryono langsung ditangani oleh dokter itu. Perempuan. Cantik. Aku belum pernah melihatnya. Kalau saja aku tahu ada makhluk secantik ini di sini, sudah sejak awal kusambangi.
            “Terima kasih, Dok,” ujarku kepada dokter cantik itu setelah ia usai menjahit luka di kaki Aryono. Kuulurkan tangan dan memperkenalkan diri. “Saya Umar, wali kelas Aryono.”
            Dokter itu tersenyum.
 “Saya Karina. Baru seminggu dinas di sini. PTT,” katanya.
Oh, pantas aku tidak pernah berjumpa dengannya. Ternyata baru seminggu.  Karina. Nama yang indah. Sesuai pemiliknya.
            Sejak itu, aku tak bisa melupakannya. Celakanya, demi alasan etika, aku tak bisa sering-sering mendatangi rumahnya. Rumah dinasnya tepatnya. Apalagi dia selalu disibukkan oleh pasien-pasiennya. Di tengah keterpencilan ini, kehadirannya bagai oase yang menyejukkan. Dia menjadi tumpuan harapan masyarakat Passau dan Tamaluppu yang lama tidak memiliki dokter. Dokter terakhir bertugas 3 tahun yang lalu. Setelah itu, Puskesmas ini hanya ditangani seorang mantri dan seorang bidan ditambah seorang perawat.
            Namun, bukankah selalu ada jalan jika ada kemauan? Dengan berbagai cara aku berupaya menjumpainya. Aku tahu, dia pun menyukai kehadiranku. Kami saling mengagumi. Perlahan-lahan, kami menyadari bahwa telah tumbuh sebuah perasaan yang istimewa di antara kami tanpa mampu dicegah. Dan hubungan kami rupanya tak luput dari pengamatan orang-orang di sini. Gosip pun merebak. Pak Guru Umar pacaran dengan Bu Dokter Karina. Ahai! Kutanggapi saja gossip-gosip itu dengan senyuman karena sesungguhnya aku tidak ingin menyangkal, walaupun itu berarti aku telah melanggar salah satu “aturan” Indonesia Mengajar: jangan jatuh cinta! Apa boleh buat, aku tak mampu mencegah perasaan ini.
            Dan minggu depan tugasku selesai. Sungguh berat membayangkan suatu hari aku akan pergi dari sini, meninggalkan murid-muridku yang kini sudah kelas 5. Dan meninggalkan Karina. Memikirkan hal itu hatiku sedih. Terbayang wajah Rizki, Aryono, Bahtiar, Syahrul.
            Mengenang semua itu membuat dadaku sesak. Apa yang harus kukatakan pada mereka saat perpisahan nanti? Apakah aku akan sanggup mengucapkan kalimat selamat tinggal kepada bocah-bocah yang telah mengajarkan aku tentang banyak hal itu? Sejatinya, merekalah guru yang mengajarkan kesabaran, perjuangan, kerja keras, kebersahajaan, dan cinta. Sementara aku hanyalah seorang murid bebal yang mencoba belajar dewasa lewat sekolah kehidupan.*** (Terinspirasi buku Indonesia Mengajar)        
         
***
Endah Sulwesi


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?