Fiction
Tetangga Baru

15 Jan 2017


 
ANJALI. Begitu nama yang meluncur dari bibirnya, yang berpoles lipstik merah menyala. Seorang wanita muda yang di suatu sore mengetuk pintu rumahku.
            “Saya penghuni baru rumah depan, Mbak,” ia menyapa dengan ramah, menarik bibir beberapa senti ke samping. Memperlihatkan gigi putih bersih, kontras sekali dengan bibir merahnya. Dia mengangsurkan wadah berlogo sebuah toko kue terkenal.
            “Aduh, terima kasih, Mbak Anjali. Kok, repot-repot segala. Mari, silahkan masuk.” Aku menerima hantarannya dengan perasaan campur aduk.
Dia sungguh cantik. Mengenakan dress selutut yang dipadukan dengan syal etnik. Wajahnya mulus dengan hidung mancung mirip salah satu bintang Bollywood. Parfum beraroma kopi menggelitik indra penciuman. Sementara aku, hanya mengenakan baju rumah ala kadarnya, dan rambut lepek oleh keringat. Ya, memang tadi sebelum kedatangannya, aku baru saja menyelesaikan urusan dapur.
            “Terima kasih, Mbak. Lain kali saja. Saya masih harus ke tempat yang lain. Permisi, Mbak.” Dia mengangguk seraya tersenyum. Lalu melangkah pergi. Aroma kopi masih tertinggal, meski dia sudah hilang dari pandangan.
 
 
            RUMAH ITU sudah berpenghuni,” kataku saat mendapati suami menatap rumah depan melalui jendela ruang tamu. Rumah di depan rumahku memang sudah beberapa bulan kosong. Mungkin suamiku heran, kenapa tiba-tiba rumah itu semarak oleh lampu. Maklumlah dia memang baru beberapa hari di rumah. Sebelumnya dia ada tugas luar pulau. Dan aku pun belum sempat menceritakan perihal tetangga baru.         
            “Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia lantas kembali duduk menekuri buku bacaannya. Sementara aku, terus mengoceh, membahas wanita di rumah seberang. Meskipun dia hanya menimpali dengan gumaman tak jelas.
 
 
            DALAM BEBERAPA minggu saja, aku sudah akrab dengan Anjali. Bak sahabat lama. Pun kedua anakku. Kami bertukar cerita, berbelanja, bahkan memasak bersama. Seleranya hampir sama denganku. Dia seperti paham apa saja yang biasa dimakan keluargaku.
Kehadirannya memang seperti oase di tengah gurun pasir. Di tengah kesibukan mengurus dua anak, yang menyita hampir seluruh waktuku, mempunyai teman mengobrol yang dekat merupakan anugerah tersendiri. Walaupun itu hanya terjadi di akhir pekan. Sebab di hari biasa, dia sibuk bekerja. Berangkat pukul 8 pagi. Baru pulang menjelang waktu makan malam.
Hadiah-hadiah kecil pun tak pernah luput untuk kedua anakku, takkala berkunjung. Rupanya dia sangat menyukai anak-anak. Mungkin itulah yang membuat mereka cepat akrab. Saat bersama kami, dia tak tampak seperti wanita karier yang kaku. Dia dengan sabar bermain dan meladeni kedua anakku yang sedang aktif-aktifnya.
             
            KADANG-KADANG AKU merasa iri dengan wanita-wanita yang bekerja kantoran. Mereka tidak perlu merasakan kebosanan saat harus berdiam di rumah seharian. Tentu saja, bukan maksudku menghilangkan kehadiran anak-anak dengan celoteh lucu mereka. Tapi, ah... ada saatnya kebosanan tetap kebosanan. Dan saat aku mengungkapkan padanya, Anjali hanya tertawa renyah.
            “Bukankah menyenangkan? Aku justru ingin sepertimu, Mbak. Menjadi full time mother. Memasak untuk suami, menyaksikan tumbuh kembang anak, mengantar mereka sekolah. Hmm... sungguh menyenangkan, katanya sembari menerawang.
Dia memang punya segalanya. Wajah yang cantik, karier yang cemerlang, dan urusan dapur dia juga ahli. Terbukti beberapa kali dia membantuku memasak dan hasil masakannya tak kalah lezat dengan racikan chef restoran. Bersyukur aku bisa mengenalnya.
 
 
            MBAK DIAN…. Bu Ida mencolek bahuku. Aku mengalihkan perhatian dari ponselku.
“Iya, Bu?”
“Tetanggamu itu ternyata wanita simpanan, ya?” Bu Ida berbisik di telingaku. Namun, bagiku itu bukan bisikan karena beberapa ibu yang sedang  menunggui anak-anak, menoleh ke arah kami.
            “Maksud Bu Ida...?”
            “Ya  itu, tetangga depanmu, si Anjali. Lagi heboh banget, masa enggak tahu?” Bu Ida memandangku tidak percaya.
            “Banyak penghuni kompleks yang lihat dia diantar jemput sama laki-laki. Ketemuannya di luar gerbang. Sembunyi-sembunyi lagi, seperti maling. Eh, memang maling, ya... maling suami orang.” Bu Ida terkekeh.
            Dengan wajah heran campur tidak percaya, aku hanya menjawab singkat. “Oh, begitu.”
            “Satpam depan bilang, dia sempat lihat sekilas laki-laki yang sering berangkat kerja bareng. Hanya sekali, sih. Tapi dia merasa wajahnya sedikit familiar. Tapi dia lupa-lupa ingat. Jangan-jangan wanita itu simpanan pejabat, ya? Duh, cantik-cantik, kok, gitu, ya, Mbak? Memangnya enggak bisa dapat yang gres?” Bu Ida mencibir usai bercerita.
            Karena bingung tidak tahu harus menjawab apa, aku memilih tersenyum. Kuharap itu cukup untuk menghentikan ocehan Bu Ida. Aku sama sekali tidak percaya dengan semua cerita itu. Bagiku Anjali bukan wanita seperti itu. Dia berpendidikan. Mana mungkin seperti itu?
            AKHIR-AKHIR INI memang, aku jarang bertemu Anjali. Tidak seperti dulu,  tiap hari Minggu dia berkunjung ke rumah. Tapi, beberapa kali dia sempat mampir untuk sekadar mengantarkan kue atau hadiah untuk anak-anak. Mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Meskipun ada sedikit kehilangan sahabat yang biasa bertukar cerita.
            Ternyata lama tidak bertemu, memang ada perubahan. Wajahnya kini tambah semringah. Apalagi dipadu dengan lipstik merah terang. Membuatnya terlihat segar dan lebih muda. Badannya kini lebih berisi. Dia jauh lebih seksi. Kulihat pakaian yang dikenakan berwarna cerah. Dengan syal etnik masih setia melingkari leher jenjangnya.
            “Kalau melihat penampilanmu sekarang, orang akan mengira kau pengantin baru.” Aku menggodanya suatu kali saat bertemu.
            Dia hanya tergelak. “Warna kemenangan.”
            Aku yang sedang menyesap kopi, menatapnya sekilas. “Kemenangan apa?”
            Dia hanya mengibaskan tangan. Menyuruhku melupakannya.
            Sejak pertemuan itu, Anjali  makin sulit untuk ditemui. Dia berangkat kerja saat aku sedang sibuk dengan urusan dapur. Seperti tidak ada waktu yang tersisa antara aku dan dia. Apalagi sekarang suamiku pun lebih sering pulang larut. Membuatku makin kesepian. Ah, mendadak aku merindukan ngobrol dengan Anjali.
Hari itu, aku sengaja keluar pagi-pagi. Menunggu dia muncul, dan mungkin mengajaknya ngobrol sebentar. Tapi, taksi pesanan sudah lebih dulu terparkir di depan rumahnya. Begitu keluar rumah, dia langsung buru-buru menuju taksi. Aku sempat memanggilnya. Dia hanya membalas dengan senyum dan lambaian tangan. Untuk kemudian dia hilang di balik pintu taksi. Aku sebenarnya kecewa. Sikapnya berubah, seperti menghindariku. Apa yang salah denganku?
 
            SIANG ITU, aku mengantar Jasmin, bungsuku, ke rumah sakit. Badannya panas. Meski sudah dikompres dan kuberi parasetamol, suhu badannya belum turun juga. Sembari menunggu antrean, aku mengajaknya ke taman. Tak jauh dari ruang tunggu.
            Saat itulah, indra penciumanku menyesap aroma kopi yang kukenal. Mataku menangkap bayang seseorang di ujung taman. Aku kenal sekali dengan syal etnik yang melingkar di lehernya. Tak salah lagi. Badannya memang lebih berisi. Dan perut itu sudah tak rata lagi. Wajahnya memancarkan kebahagiaan. Dia mengusap-usap perutnya. Ternyata benar, dia hamil.
Tapi, bukan itu yang membuatku terpaku seperti patung es. Sosok yang menggandengnya mesra. Aku tidak mungkin keliru. Karena dia lelaki yang sama yang menemaniku  tiap malam. (f)
 
***

Fajriatun Hidayati

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?