Fiction
Terpilin Cinta di Negeri Merah [1]

15 Oct 2016


Bagian I
 
‘Bayi yang terlahir kembar tak boleh tinggal di rumah, harus diasingkan ke hutan, dijauhkan dari anggota keluarga dan penduduk desa.’
Mira berdiri gelisah di depan Trano Gasy, rumah tradisional Malagasy yang masih banyak ditemukan di perkampungan Ambodinonoka, distrik Mananjary. Dipandanginya bata pembentuk dinding-dinding rumah berwarna merah yag bersambung dengan beranda  berpagar kayu di lantai atas. Ada jendela-jendela besar menempel dan sebuah pintu kayu tertutup yang ingin sekali segera ia masuki. Rumah ini lumayan besar, tapi tampak tua dan ringkih.
Di halaman samping dua ekor sapi kurus terikat, memakan rumput kering yang ditumpuk di dekat kaki mereka. Sesekali melenguh parau. Di belakang sapi itu, pondok serupa lumbung tempat keluarga ini menyimpan hasil panen berupa padi berdiri miring. Tanah becek makin jorok dengan kotoran hewan ternak yang tercecer, meruapkan aroma yang mengaduk lambung. Rumah-rumah di sekitarnya juga terlihat apa adanya. Beberapa lainnya bahkan lebih memprihatinkan.
Seseorang menahan langkahnya tadi, ia diminta menunggu, hanya Honore yang dipersilakan masuk. Tentu parasnya tak bisa disembunyikan, Mira orang asing dan mereka tak terlalu suka dengannya. Secara wajah, harusnya parasnya tak terlalu berbeda dengan rakyat Malagasy dari suku Merina yang konon menurut sejarah memiliki nenek moyang yang datang dari Nusantara, dari Borneo tepatnya.
Namun, ia tak bisa berbahasa Malagasy, hanya berbicara dengan bahasa Prancis praktis yang adalah bahasa resmi kedua di negara ini. Lagi pula, penghuni desa ini mayoritasnya adalah suku Antambahoaka yang konon berasal dari ras Arab Antaimoro yang secara fisik berbeda dengan suku Merina. Jadi mereka tahu, Mira bukan dari kalangan mereka.
Di depan rumah itu, ia mendapati dirinya tak sendiri, beberapa anak kecil dengan wajah belepotan ingus campur debu melihatnya dengan rasa ingin tahu. Beberapa orang dewasa lainnya bergerombol di seberang jalan, berbisik dan sesekali mencuri pandang kepadanya dengan awas. Kabar kedatangannya ke desa kecil ini menimbulkan kontroversi.
Ia tak membenci sikap curiga mereka, malah rasa kasihan memenuhi pikirannya. Ia membayangkan bagaimana kalau ia tiba-tiba menjadi satu dari mereka? Alakazam! Ia memakai pakaian berwarna serupa dengan tanah yang ia injak, berjalan dengan kakinya yang tak beralas sambil menjunjung keranjang berisi sayuran di atas kepala. Lalu anak-anak yang  berperut membuncit karena dihuni banyak cacing dan kurang gizi mengikutinya tertatih. Lenguhan sapi dan deru berisik sebuah becak mesin yang lewat di jalan menyadarkannya dari khayalan sekejapnya itu. Mira merasa harus bersyukur akan dirinya, terlahir dan besar dalam kondisi yang jauh beruntung dari orang-orang ini.
Kedatangannya ke desa ini karena sebuah berita yang ia dengar dari Honore. Berita yang bagi mereka adalah hal yang biasa --meski tetap diceritakan dengan nada sedih-- mampu membuat Mira tercekat. Ia yang baru tahu hal-hal semacam ini menjadi marah dan tak bisa menahan diri.
“Mengapa mereka melakukan hal seperti itu?” Honore telah menjawab dengan suara pelan. Menceritakan kejadian yang sama, yang telah beberapa kali terjadi di sini. Semuanya atas satu alasan: adat istiadat.
“Ini tidak manusiawi, apa yang akan mereka lakukan benar-benar bodoh!” Mira segera meminta Honore menemaninya ke desa tersebut, ke rumah pemilik bayi.
“Mereka harus dihentikan!”
Honore awalnya ragu, tapi lalu tak punya pilihan selain menuruti kemauan Mira. Wanita itu memaksanya dengan kalimat-kalimat yang terdengar menyepelekan intelektual milik Honore. Meski ia sadar, ia tak ada apa-apanya secara intelektual dibanding Mira, hanya saja ia tak mau dianggap tak bisa berpikir sama sekali ataupun tak punya hati.
Honore menjadi sasaran kemarahan Mira. Sesekali lelaki Malagasy itu dengan lemah melakukan pembelaan diri bahwa hal itu adalah hal sakral yang telah dilakukan turun-temurun, sejak leluhur mereka dulu. Ajaran yang diajarkan agar selamat dalam hidup.
Mira membalasnya dengan begitu meledak-ledak, menyerapahi kelakuan mereka yang sangat primitif. Ego intelektualnya terus berdenyar-denyar. Beragam alasan dan dalil telah ia kumpulkan di dalam kepalanya yang akan ia pakai untuk menyerang keluarga bayi kembar yang akan mereka datangi. Namun nyatanya, mereka tak selemah itu untuk serangannya. Ia bahkan tak diizinkan masuk ke dalam rumah, diminta menunggu sementara mereka bermusyawarah.
 Di dalam rumah, Honore berusaha menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada keluarga pemilik rumah yang menatapnya dengan tatapan tajam dan tak suka. Terpatah-patah ia memberanikan diri. Tentu ia tak menyebutkan serapah nyinyir Mira dan semua tuduhan wanita itu kepada mereka. Dan butuh satu jam bagi mereka untuk mengizinkan Honore menjemput Mira melangkah ke dalam rumah.
Ketika Mira masuk dan menginjak lantai tanah ruangan itu, ia berjalan tegak dan lupa tersenyum. Anak-anak yang tadi di luar, ribut mengintip ingin tahu dari jendela-jendela kayu yang terbuka,  makin menghalangi angin dan sinar matahari yang ingin masuk. Seorang lelaki dewasa bertelanjang dada mengusir anak-anak itu dengan suara keras dan tampang galak.
Mereka yang di dalam ruangan itu mengamati dengan pandangan awas,  namun tak tampak menakutkan. Orang-orang ini adalah orang-orang yang pantas dikasihani daripada ditakuti. Honore menatapnya, seolah menanti kalimat-kalimat cerdasnya untuk dikeluarkan sekarang, langsung ke mereka, bukan kepada dirinya yang tak terlibat sama sekali dengan kejahatan ini.
Namun, Mira hanya diam, menelan ludahnya, tenggorokannya terasa tercekat. Ketika langsung berhadapan dengan mereka, tiba-tiba lidahnya kelu, ia terdiam lama, seolah bingung mengeluarkan kemarahannya dengan kalimat apa. Segala kalimat yang telah berada di ujung mulutnya, urung keluar. Mereka juga diam, mungkin telah cukup banyak berbicara dengan Honore tadi.
“Mereka bilang, tak ada pilihan lain selain melakukan adat leluhur. Mereka tak ingin mendapat tulah. Namun, jika kamu mau mengambil mereka, kamu harus membayar.”
Ah, kemiskinan memang identik dengan kejahatan. Mira melangkah lebih dalam ke dalam ruangan, lalu berhenti ketika menemukan sebuah ranjang dengan wanita muda yang tergeletak lemah di atasnya. Sangat muda, mungkin lima tahun lebih muda dibanding umur Mira. Tatapan wanita muda yang baru beberapa jam lalu melahirkan itu seolah menceritakan kepedihan dan ketidakberdayaan.
“Tolong bayi-bayi saya. Jangan biarkan mereka membunuh mereka.”
Nah, siapa bilang mereka tak punya perasaan dan dengan sukacita melakukan hal ini? Ada keterpaksaan yang berakar dari rasa takut. Wanita muda itu baru saja menjadi ibu. Dan mereka, atas nama adat istiadat, hendak memaksanya melakukan kekejaman terhadap darah dagingnya sendiri.
Membunuh satu dari dua atau kedua-duanya dari bayi merah yang baru lahir. Siapa yang awalnya punya ide sekejam itu? Faddy, tabu, pembawa sial? Mana ada anugerah Tuhan yang membawa keburukan? Selimut gelap kebodohan masih begitu tebal di kampung ini.
“Saya menginginkan anak itu,” ujar Mira, dengan suara yang jelas namun bergetar.
“Saya akan bayar jika kalian memang meminta.”
Kalimat terakhirnya membuahkan reaksi yang ia harapkan. Dengungan komentar memenuhi ruangan. Mereka berdiskusi bising dengan bahasa yang tak ia pahami keseluruhannya. Beberapa laki-laki bergumam kembali, beberapa mengangguk dengan raut serius. Kembar memang sebaiknya dijauhkan dari keluarga mereka. Bukan hanya salah satu, namun keduanya. Begitu ide mereka.
“Saya ingin keduanya,” tambahnya lagi.
Kalimat terakhir Mira membuat wanita lemah itu memaksa dirinya untuk duduk tegak, mencari kedua matanya. Ia menggeleng, lemah dan putus asa. Tatapannya tak hanya kepada Mira, tapi juga kepada semua yang ada di ruangan.
“Tidak. Hanya satu. Tolong, kasihani saya. Bagaimana bisa saya dipaksa pisah dengan keduanya? Hati saya hancur.” Wanita muda itu berbicara mengabaikan tatapan karib keluarganya yang terasa menekan. Ia lelah dengan perdebatan mereka. Namun, ia akan menyesal seumur hidup, jika tak berkeras kali ini.
“Tidak Nirina, kau harus melepas kedua-duanya. Kau mau mendapat kesialan dengan membiarkan salah  satunya menghirup udara di rumah ini? Meracuni kehidupan kita dengan kesialan seumur hidup?”
Maka, ibu muda bernama Nirina itu menangis, melolongkan jeritannya sambil menepuk-nepuk dada.
“Jika memang bayi kembar tak boleh hidup, lalu kenapa Tuhan  menitipkan mereka di rahimku untuk dilahirkan?”
Hati Mira mencelos mendengarnya.
Bayi kembar adalah tabu di regio Mananjary negara Madagaskar, yang terletak di Afrika bagian selatan ini. Yang biasa mereka lakukan ketika mengetahui seorang ibu melahirkan kembar adalah mengambil kedua bayi tersebut, meletakkannya di atas tanah dan melepas kawanan sapi. Siapa di antara bayi itu yang mampu bertahan setelah terinjak-injak kaki kawanan sapi, dialah yang berhak hidup. Jika mati, berarti itu nasibnya. Jika keduanya terinjak dan tak bertahan, itu artinya keduanya lebih baik tak hidup. Dan selalu  kemungkinan untuk hidup akan sangat kecil.
Selain dengan cara tersebut, ada juga yang meletakkan kedua bayi kembar itu di hutan, membiarkan alam yang menentukan takdir kehidupan mereka. Orang-orang ini begitu takut untuk meninggalkan hal-hal yang telah diajarkan secara turun-temurun. Khawatir hal buruk akan menimpa mereka dan keluarga. Cemas kalau roh para leluhur di suatu tempat sedang mengamati dan tak rida dengan kelakuan mereka hingga mengirimkan bencana.
“Biarkan aku melihat mereka, bayi-bayi itu.”
“Ikut saya, Nyonya!”
Seorang wanita tua dengan selendang tersampir di pundaknya, mengajaknya menaiki tangga kayu yang ditopang di sudut ruangan menuju lantai atas. Wanita tua yang menyebutkan dirinya sebagai nenek para bayi mengantar Mira ke dalam kamar pengap yang hanya terisi sebuah dipan kayu. Di atas dipan itu kedua bayi bergerak-gerak perlahan dalam balutan kain tua. Tangisan lemah terdengar ketika mereka mendekat. Tangisan yang tak ia dengar sedari tadi karena begitu lemahnya.
Melihat keduanya, mata Mira menjadi panas. Merasakan desiran detak jantung yang aneh. Ia menyentuh tangan-tangan mungil itu, lalu menangis, tak lagi bisa menahan air mata untuk luruh. Ia belum lagi menjadi ibu, namun perasaan kasih serupa ini harusnya dimiliki semua manusia. Tangan Mira terjulur menggapai tubuh mereka yang terlihat gelisah. Ia menyentuh kulit mereka yang berwarna gelap, lalu bergerak membelai rambut hitam tebal yang bergulung-gulung. Keduanya sangat seragam. Kembar itu mungkin tahu nasib buruk yang sedang menari-nari di udara rumah ini.
“Aku wanita tua yang tak bisa melakukan apa-apa. Kuharap mereka akan memaafkanku. Bawa mereka pergi jauh dari orang-orang kampung ini.”
“Perutnya kempis. Ia tak disusui?”
Wanita tua itu tak menjawab, malah berusaha memalingkan wajah. Menepis rasa bersalah yang menjalari hatinya. Mereka berencana membuang kedua bayi itu, untuk apa disusui?
Mira memanggil Honore untuk membantunya dengan kedua bayi. Mereka tak boleh berlama-lama, Mira mengkhawatirkan kondisi kedua bayi yang jelas tampak  makin lemah. Terburu ia turun dan mengeluarkan uang di dalam tasnya. Ia serahkan uang itu pada sang ibu, yang tak terlihat senang namun gamang. Seorang lelaki yang sedari tadi hanya diam, mendekati wanita itu, membawa uang-uang itu dalam genggamannya. Ada pancaran licik dari wajah itu, namun bukan lagi urusan Mira. Ah! Lihatlah, bayi kembar ini memberikan kalian rezeki, bukan petaka.
Wanita muda itu, menyentuh bayi yang akan   dipisahkan darinya untuk terakhir kali dengan air mata yang menetes, Menciumnya lama, sadar kalau ia tak punya hak apa pun atas mereka. Mira segera mengajak Honore berlalu dari rumah itu. Kedua bayi itu lalu ia letakkan di atas kursi belakang dengan sangat hati-hati.
“Kita kembali ke ibu kota,” pintanya jelas. Ia abaikan semua wajah yang menatapnya. Kedua kembar ini akan menjadi cerita bibir masyarakat desa. Namun, Mira tahu, kedua kembar ini tak perlu kembali kemari. Ketika mereka dewasa dan menjadi sosok yang kuat dan mandiri, mereka berhak menyalahkan semua warga desa ini yang telah begitu tega. Mereka berhak membenci seluruh kampung ini seumur hidup.
“Yang kau lakukan tadi itu gila. Mira, kau telah membawaku pada masalah. Kau tak tahu saja mereka akan menghajarku tadi.”
“Kau baik-baik saja, Honore. Bayi inilah yang mengkhawatirkan.”
“Aku akan menelepon ke sekretariat Aira, memberi tahu tentang kepulangan kita.”
Mira mengangguk, jelas mereka butuh bantuan Aira; Enfance et Avenir, yayasan tempat mereka bekerja. Yang mereka lakukan hari ini bisa saja dikaitkan dengan program kerja dan visi misi Aira, hanya saja ini terlalu spontan, mendadak dan sangat personal.
“Seharusnya kita minta pendapat Claudia terlebih dahulu.”
“Tak ada waktu untuk itu.”
Mira lalu bersenandung lirih seiring roda mobil yang terus menggelinding membelah jalanan yang menikung melintasi perbukitan. Tak lupa ia mampir di sebuah kios, membeli susu untuk sang bayi dan beberapa perlengkapan yang dibutuhkan: pakaian bayi, kain, susu, botol dot, popok, juga tisu. Kembar itu miliknya, menjadi putri-putrinya kini. Kedua bayi itu terasa  makin lemah di pangkuannya, tak banyak bergerak dan menangis, terus memejamkan mata, tertidur.
Tidurlah dalam buaian, buat tubuhmu kuat.
Lawan dunia dengan kepalmu.
Akan ada hari kau menjadi begitu kuat
Dan mereka akan melihatnya, buat mereka gentar dan ketir.
 
*****
 
Hari telah sempurna gelap ketika mereka sampai di Antananarivo. Honore menyarankan agar langsung ke rumah sakit, Mira setuju. Dan itu adalah keputusan yang tepat. Dokter yang mereka temui mengatakan betapa buruknya kondisi kedua bayi. Diamnya bayi bukanlah hal yang baik. Keduanya mengalami kekurangan cairan. Pada beberapa bagian tubuh tampak kuning karena kadar bilirubi dalam darah yang meninggi.
Tanda vital yang mulai melemah adalah sesuatu yang memerlukan tindakan cepat. Dokter dan perawat mulai memasang segala peralatan medis. Jarum yang rasanya terlalu besar menusuk pembuluh darah mereka yang sangat kecil hingga menimbulkan memar ungu yang samar karena warna kulit legam keduanya. Masker yang tersambung dengan tabung oksigen menutupi seluruh wajah, peralatan dengan kabel-kabel monitor yang ditempel di dada, cahaya lampu yang dibiarkan terus hidup untuk menyinari keduanya dari bawah tabung, karbon hitam yang dipakaikan serupa kacamata menutupi mata. Semuanya membuat Mira  makin gundah.
“Apakah semua peralatan itu memang perlu?” tanyanya kepada perawat yang gesit melakukan semua itu.
“Kita coba lakukan yang terbaik bagi keduanya,” ujar perawat itu sambil meminta Mira dan Honore menunggu di luar.
“Ya, Tuhan, mereka sedang berjuang untuk hidup. Kita baru saja mendapatkan mereka. Bagaimana kalau mereka pergi, tak hendak tinggal?”
Honore tak menjawab, karena ia pun belum pernah melihat kondisi buruk serupa itu. Ia gelisah karena tahu keluarganya sudah menunggu di rumah, dan ia tak seharusnya melakukan hal di luar tugasnya seperti ini.
Malam telah naik hingga menjadi dini hari. Beberapa menit lagi hari berganti. Tapi, ia juga tak bisa membiarkan Mira melakukan semua hal sendirian. Ingin ia mengajak rekannya itu kembali ke Aira sementara waktu sambil memikirkan langkah selanjutnya.
Bagi Honore, tugasnya sudah sampai di sini. Bayi kembar itu lebih baik diserahkan kepada Aira, yayasan yang memang memusatkan tugas dan pengabdian pada anak-anak telantar dan butuh bantuan di Madagaskar. Tentu mereka secara kelembagaan lebih tahu bagaimana mengurus kedua kembar itu. Namun, Mira sepertinya punya pemikiran sendiri. Ingin mengambil untuknya sendiri, bukan untuk hidup di asrama milik Aira.
“Kita masih harus merawat dan memantau kondisi mereka di ruang intensif. Keduanya memiliki masalah pada paru-parunya yang susah berkembang, pencernaan yang belum sempurna terbentuk, juga jantungnya yang lemah,” wanita dokter yang usianya mungkin tak jauh berbeda dengan Mira akhirnya memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Untuk berapa lama?” tanya Mira
“Tergantung respons mereka terhadap semua pengobatan dan terapi.” Wajah dokter itu kusut, jelas karena mengantuk. Ia dipersilakan masuk ke ruang itu kembali. Ia mendekati tabung kaca. Monitor di samping tabung kaca terus berkedip dengan angka-angka yang tak terlalu dipahami Mira. Dan, ketika mata salah satunya terbuka, menatap padanya dengan kaki dan tangan yang bergerak,   harapan dan semangat Mira bangkit. Ia tahu mereka cukup kuat untuk berjuang, meraih kehidupan.
“Siapa nama mereka? Aku perlu menuliskan data pasien.” Perawat wanita yang sedari tadi berada di ruangan itu menanti jawaban. Sekarang nama seakan tak terlalu penting bagi Mira. Padahal dulu, bertahun-tahun ketika ia berbaring sangat dekat dengan kerinduannya yang bergelora akan sebuah keluarga yang akan ia miliki, ia memikirkan nama-nama yang akan diberikan jika ia punya anak. Laki-laki juga perempuan. Hanya sekarang ia tak tahu apakah nama-nama yang dulu ia pikir akan cocok. Namun, ada satu nama, yang selalu ada di memori otaknya.
“Addie Kusuma.” Dari kata Adela berarti ceria atau humoris dan Kusuma adalah nama keluarga Mira yang tetap ingin ia pakaikan sebagai identitas hubungan mereka.
“Dan saudaranya haruslah bernama Abbie Kusuma, kembar biasanya memiliki nama yang mirip, bukan?” Semoga nama itu akan menjadi karakter keduanya  kelak ketika tumbuh dewasa. Tak apa riwayat asal hidup keduanya menyedihkan, namun suatu hari nanti mereka akan ceria, menghadapi hidup dengan kegembiraan.
Honore mengajak Mira untuk mau diantar pulang ke rumah, beristirahat malam itu dan menyerahkan perawatan kembar kepada petugas medis ketika jam terus bergerak menjauhi angka satu. Ia menurut karena badannya memang terasa sangat lelah. Sampai di rumah ia tak lagi sanggup untuk membersihkan tubuhnya dan tertidur setelah mengganti baju dengan daster batik yang dibawanya dari Indonesia.
Aroma Addie dan Abbie masih melekat di hidungnya. Malam itu ia bermimpi sangat aneh dan rumit, mimpi yang jika terbangun membuat tubuh   makin lelah. Namun, hanya potongan-potongan samar yang sulit ia ingat ketika terbangun.
Dering telepon keras membangunkannya tepat pukul tujuh pagi. Kepala Mira terasa sangat berat. Namun Claudia, atasannya, menelepon, membuat ia teringat tugas-tugasnya yang menanti.
“Apa yang kau lakukan? Kau bertugas ke Mananjary selama lima hari dan kau pulang membawa bayi?”
“Bayi kembar yang akan mati!“ tegasnya.    
“Kau harus ke kantor, kami menunggu laporanmu. Perkara anak itu, kita bisa mengurus mereka menjadi anak asuh di Aira.”
“Aku berpikir untuk mengadopsi mereka. Itu bisa diurus, ‘kan?”
“Kenapa kau mendadak ingin punya anak? Kau aneh Mira. Kamu bekerja secara profesional. Datanglah dulu ke sekretariat, kita bicarakan bersama!” 
Kalimat itu jelas bernada perintah. Padahal, ia berencana pagi-pagi sekali akan kembali ke rumah sakit namun sepertinya Claudia tak memberinya pilihan. Jadi, ia menelepon perawat jaga dan setelah mendapat jawaban memuaskan tentang kondisi Addie dan Abbie, ia berangkat ke kantor. Sambil berpikir apakah ia harus mengambil cuti dari Aira? Bagaimana cara membawa mereka pulang ke Indonesia bersamanya?

Jelas ia butuh bantuan. Satu nama hadir dalam kepalanya ketika menyetir, Tiana. Ia bimbang, apakah ia benar-benar butuh bantuan tantenya itu? Tiana mungkin saja tahu bagaimana menghadapi situasi serupa ini. Namun, ia menahan diri dan egonya, lalu menggeleng. Aku bisa mengatasi ini. Tak butuh bantuannya.
Aira, enfance et avenir yang berarti anak-anak dan masa depan terletak di Antananarivo, ibukota Madagaskar. Kompleks itu luas dengan bangunan-bangunan batu. Ada gereja tua yang besar di halaman depan, bangunan sekolah berlantai tiga yang terbuka untuk umum, juga bangunan asrama dengan kamar berderet membentuk huruf L di halaman belakang bagi anak-anak yang menginap.

Anak-anak itu adalah anak yang tak lagi memiliki orang tua, atau orang tua mereka terlalu miskin untuk membesarkan mereka. Semua kebutuhan mereka ditanggung oleh para donatur tetap yang berasal dari berbagai negara. Aira menerima relawan, tapi  mereka datang dan pergi sesuai waktu pengabdian yang disepakati. Ada juga pengurus tetap yang bertugas rutin dalam struktur lembaga. Mira tak tahu sampai kapan ia akan bertahan di sini. Ia seakan terpacak lama enggan meninggalkan Madagaskar, karenanya ia telah menawarkan diri menjadi pengurus tetap. (Bersambung)

Baca juga:
Terpilin Cinta di Negeri Merah [2]

 
***

Haya Nufus
Pemenang 3 Sayembara Mengarang Cerber 2016


Harus Merombak Outline
“Menulis fiksi membuat saya bebas berimajinasi dan mengungkapkan apa yang saya pikir, menyisipkan pendapat, nilai-nilai sosial budaya, kritikan, dan kepedulian global secara halus,” kata Haya Nufus. Ide cerita Terpilin Cinta Di Negeri Merah muncul begitu ia mendengar kisah tentang bayi-bayi kembar di Mananjary, Madagaskar, yang dianggap tabu dan harus dijauhkan dari rumah, masih terjadi hingga kini. “Padahal, sudah ada penyuluhan dari LSM internasional, tapi masyarakat setempat masih takut melanggar tradisi leluhur,” imbuh Haya, yang tinggal di Madagaskar, yang terletak di Samudra Hindia dan sebelah Selatan Afrika, selama 3,5 tahun.

Setelah ide dikantongi, Haya membuat outline, membagi beberapa konflik, juga menciptakan tokoh-tokohnya. “Saya sempat berpikir lama bagaimana mencari cara untuk mendekatkan cerita ini kepada pembaca femina di Indonesia,” katanya. Akhirnya, ia pun memutuskan membuat tokoh menjadi warga Indonesia dan pada bagian tertentu mengambil setting di Jakarta. Karena perubahan itu, Haya yang datang langsung ke lokasi yang ada dalam cerita ini, harus mengubah outline dan merombak banyak bagian.

Mulai menyukai dunia tulis-menulis sejak masih remaja SMP, awalnya Haya menulis puisi, naskah pidato, dan buku harian. Baru setelah kuliah, ia menulis cerpen dan novel. “Saya juga gemar membaca novel karena sangat menikmati kalimat-kalimat panjang dalam rangkaian cerita yang ditulis oleh para novelis,” ujarnya. Ia mengaku, rubrik fiksi femina adalah salah satu favoritnya. “Saya sering membaca ulang fiksi di femina untuk mempelajari teknik penulisan fiksi, terutama cerita pendek,” ujarnya, sambil berharap sayembara fiksi ini terus ada sebagai ajang untuk menguji kemampuan menulis dan nyali. (f)


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?