Fiction
Susun Tarah [3]

3 Sep 2016


Bagian 3
Kisah sebelumnya
Juniar, wanita muda dari keluarga ningrat di Bumi Betuah, kawasan yang terletak di Sumatera Selatan.  Di usianya yang relatif matang, Juniar jatuh hati pada Kurman, pria muda yang ramah penjual kain di pasar. Juniar pun mulai mencari tahu latar belakang Kurman. Juniar pun tahu bahwa Kurman adalah putra Nyonya Adiguna, musuh bebuyutannya di masa kecil.
 
Selama beberapa hari belakangan ini aku berpikir; mungkinkah nyonya Adiguna belum memaafkanku?
Lalu hatiku menjawab; kau telah menyakiti perasannya dengan mengiriminya tiga tangkai mawar ungu setiap bulan selama tujuh tahun, kau pikir satu mangkuk beteri mandi bodohmu itu sudah cukup untuk menebusnya? Kau harus mengiriminya tiga mangkuk beteri mandi setiap bulan selama tujuh tahun pula, itu baru impas. Setelah itu pantas rasanya mengharap maaf dari Nyonya Adiguna!
Oh! tidak mungkin!
Tujuh tahun mengirimi beteri mandi? Aku sudah keburu keriput! Sekarang saja usiaku sudah dua puluh tujuh, kalau ditambah tujuh tahun lagi, aku nyaris tiga lima! Iya kalau si tampan Kurman mau menunggu selama itu, kalau ia keburu kawin dengan gadis lain? Kemana aku harus mengobati hatiku yang patah? Bahkan di zaman semodern ini, dari Sumatera hingga ke Jakarta, obat patah hati belum ada dijual ditoko-toko!
Aku curhat pada endung! Sebagai sesama wanita, kupikir endung akan mengerti, bukankah endung pernah jatuh cinta? Tidakkah endung dulu juga terpesona pada bapang? Pertemuan tak sengaja di pinggir sungai? Di lereng tebing? Pandangan kagum?
“Tidak!” jawab endung.
“Saat itu usia endung baru enam belas tahun dan bapangmu tujuh belas! Usia sebegitu sudah dianggap cukup dewasa pada zaman dulu. Bapangmu yang naksir endung duluan, sudah ditolak berkali-kali tetap saja mendekati. Bahkan almarhum kakekmu menolak bapangmu jika bertandang malam-malam. Bapangmu sempat jengkel dan pergi sambil mengusungi tangga. Waktu itu tangga rumah panggung penduduk masih terbuat dari bambu, mudah sekali diusung! Ketika subuh tiba dan kami sekeluarga hendak ke surau, kakekmu nyaris saja jatuh dari beranda, untung dia melihat kalau tangga sudah lenyap sebelum melangkahkan kaki ke udara pagi. Maka kami sekeluarga terkurung dalam rumah! Sebelum matahari muncul, sebelum kakekmu berteriak meminjam tangga tetangga, bapangmu datang mengusung tangga kita dan mengembalikannya ke tempat semula.”
“Lalu bagaimana endung bisa jatuh cinta pada bapang?”
“Ai, sederhana saja sebetulnya,” balas endung. “Suatu ketika, endung sekeluarga menginap di ladang kita di air liling untuk mulai menugal padi. Tapi petang harinya, mendadak kakek dan nenekmu ada urusan keluarga. Endung dan encikmu ditinggal berdua saja di dangau kecil di ladang itu, endung enam belas dan encikmu tiga belas tahun. Kami agak takut. Baru maghrib, pintu dan jendela dikancing rapat-rapat, dipasangi palang kayu. Kami membuat api di dapur meskipun tak ada yang dimasak, lalu berdua kami mengaji yasin untuk mengusir rasa takut. Selepas isya, kami tak dapat tidur, suara siamang malam atau derik jangkrik saja terdengar menakutkan. Bagaimana kalau ada hantu mendatangi kami, bagiamana kalau setan penunggu hutan menyambangi? Dan yang lebih menakutkan, bagaimana kalau ada penyamun? Mereka pasti akan senang sekali melihat dua perawan cantik tanpa pelindung di tengah ladang yang jauh dari mana-mana. Bahkan teriakan minta tolong sekeras apapun tak akan terdengar sampai ke kampung.
Ketika itulah, saat endung dan encikmu menggigil ketakutan, lamat-lamat kami mendengar suara gitar tunggal, suara orang menyanyi rejung antan delapan, lalu suara ramai bujang bercengkrama!
Jangan-jangan itu rombongan perampok yang menyamar? Tanya encikmu. Hus! Mana ada perampok bawa gitar sambil bernyanyi, balas endung. Rupanya yang datang itu adalah bapang bersama empat teman bujangnya, mereka menamai diri geng balicade. Mereka membuat api unggun di halaman dangau, menggelar tikar, memanggang ubi, bernyanyi dan berpuisi merayu endung. Oh! itu malam paling romantis yang pernah ada di bumi betuah! Encikmu membuka pintu, menemui mereka dan meminjamkan bantal dan selimut, lalu mengucapkan terima kasih karena sudah datang menemani. Bapangmu bertanya, maukah encikmu punya kakak ipar seperti bapangmu? Encikmu menjawab mau!
Pagi-pagi buta kakek dan nenekmu datang ke ladang dan heran melihat ada lima bujang tertidur di halaman. Mereka diintrogasi, tapi encikmu lantang menjadi saksi bahwa kelima bujang itu bahkan tak menaiki anak tangga dangau, hanya menemani di halaman. Endung dan encikmu disumpah, dan bapang bersama teman-teman gengnya dihukum membantu menugal padi seharian.
Melihat perjuangan bapangmu itulah akhirnya endung mulai membuka hati. Tujuh pekan setelah menugal, bapangmu bersama keluarga besarnya datang naikkah rasan untuk melamar. Dan endung tak punya alasan untuk menolak, sebab apalagi yang didamba dari seorang lelaki selain perlindungan dan kasih sayang? Lepas dari itu, bapangmu anak keturunan baik-baik, taat sembahyang lima waktu, rajin mengaji ke surau, hanya ada satu catatan adat buruk, pernah mencuri tangga rumah selama satu malam. Itupun ia lakukan karena cinta, itu alasannya!
Lalu bagaimana denganku? Haruskah aku belajar main gitar dan menyanyi rejung antan delapan di pasar Jum’at untuk merayu Kurman? Haruskah aku membuat api unggun di halaman rumah nyonya Adiguna lalu merayunya agar memberi maaf?
 
***
 
Bab 3; Ketika Doa Saling Terkait
“Kau pasti tidak menuruti nasehat saya dengan sungguh-sungguh.” tuduh Bu Fatonah telak sekali. “Kau pasti merasa telah jadi orang masa kini yang sangat modern sehingga menganggap remeh dan mengabaikan kekuatan doa!”
“Ibunya menolak beteri mandiku.”
“Karena ditolak itulah makanya doamu harus semakin banyak? Jam berapa kau bangun tadi pagi? Saya bertaruh bahwa kau tidak bangun jam dua pagi seperti yang saya sarankan, kau tidak sembahyang tahajud dan tak berdoa sungguh-sungguh dengan air mata pengharapan!”
“Memangnya harus sampai begitu?”
“Lha? Kau mengharapkan dia apa tidak? Kalau kau mau meminta jodoh pada Tuhan tapi kau tak meminta dengan doa dan air mata, bisa-bisa kau kalah saing dengan gadis lain yang juga mendambanya, sebab bisa jadi gadis lain lebih khusuk dalam berdoa. Sementara kau terlalu sombong untuk meminta pada Tuhan.”
Baiklah!
Aku akan mulai berdoa lagi dengan hati yang lebih bersih!
Berdoa dengan sepenuh hati, sepenuh harap, sepenuh cinta!?
Aku bertekad membuat beteri mandi lagi; rutin! Setiap hari Jum’at akan kuantar semangkuk beteri mandi dalam mangkuk sekali pakai yang tak perlu dikembalikan, jadi Nyonya Adiguna tak punya alasan untuk mengembalikannya. Kalau tetap dikembalikan berarti aku harus lebih gigih lagi dalam berdoa!
Hari Ju’mat petang ini aku kembali membawakan beteri mandi ke rumah Nyonya Adiguna, kusengaja tak menuruti ajakan masuk, hanya memberikan beteri mandi dan langsung pulang. Pamit secara halus, bilang ada tugas dapur yang menunggu.
“Mangkuknya bagaimana?” tanya nyonya rumah.
“Itu mangkuk untuk sekali pakai,” jawabku, nyaris tak menengok lagi, hingga terdengar suara Kurman menyapa.
“Sebegitu tergesa-gesa, tak ingin berbincang dengan saya?”
“Hus! Jangan menggoda anak gadis orang,” sela ibunya. “Nanti kalau benar tergoda bagaimana? Bisa panjang urusannya! Sudah berapa anak gadis kampung bumi betuah ini kau buat patah hati, jangan terbiasa memberi harapan palsu.”
Aku menoleh, tersenyum manis sambil memajamkan mata. “Mari ibu, pareeeng.”
Wajah Kurman dan nyonya Adiguna mendadak berubah aneh. Mereka pasti bingung dari mana  aku tahu kata pareng barusan. Itu kata untuk berpamintan dalam Jawa halus. Mereka pasti mendadak teringat pada puteri solo yang konon lemah-lembut. Tapi tak urung aku mencerna kembali kata-kata nyonya Adiguna, sudah berapa banyak gadis kampung bumi betuah yang dibuat patah hati oleh anak bujangnya?
Semoga aku tak ikut dibikin patah hati, aku harus lekas-lekas berdoa!
“Kau juga sudah sering kali menolak lamaran orang,” jawab bu Fatonah di sekolah keesokan harinya. “Wajar kalau sekarang dapat yang sering membuat gadis patah hati, itu salah satu tanda sekufu.”
“Berikan satu nasehat untukku yang tidak berhubungan dengan doa atau cinta,” pintaku. “Berikan satu nasehat pendek yang dapat kugunakan dalam setiap sendi kehidupan.”
“Tak kan lari gunung dikejar,” jawab Bu Fatonah. “Itu nasehat kehidupan menyangkut jodoh, rezeki, pangkat, bahkan kematian.”
Tak kan lari gunung dikejar?
Kenapa aku bisa lupa pada nasehat sesederhana itu selama ini!? Bukankah itu nasehat peribahasa Indonesia yang telah diajarkan sejak sekolah dasar? Kemana saja aku selama ini?
 
***
 
Andai hati dapat diselami, bila jiwa mampu terbaca, seribu kata hilang makna, sebab di tiap-tiap nyawa ada rahasia; harap dan dendam hanya berjarak selapis tipis dalam balutan doa. Ibarat menakar air lautan atau mengukur tinggi gunung, tetaplah tak sesulit mengetahui isi hati manusia.
Juniar Wulandari tidak tahu jika Nyonya Adiguna sebenarnya menderita. Di balik keangkuhan itu ada segumpal hati yang rapuh dan penuh was-was. Masa lalunya yang direndahkan sebagai babu di rumah majikannya yang kaya, lalu ada duda sederhana setengah baya tanpa anak yang melamarnya. Dari pernikahan dengan duda itu ia dikaruniai tiga anak lelaki, duda itu seorang mantri kesehatan yang baru lulus jadi pegawai negeri dan akhirnya ditugaskan ke padalaman pulau Sumatera. Dia mau ikut ke manapun suaminya berada. Tak ada barang berharga yang ia bawa dari Jawa selain ketiga anaknya yang masih kecil-kecil dan satu pot bibit mawar ungu yang dirawatnya dengan cinta.
Di kampung bumi betuah tempat suaminya bertugas, sudah disediakan rumah dinas, rumah panggung kayu meranti dengan beranda panjang tempat berangin-angin. Di kampung itu ia dan suaminya disambut baik dan sangat dihargai, dan dia mendadak merasa seperti nyonya, sebab semua orang memanggilnya Nyonya Adiguna dan menganggap bahwa dia juga sama terpelajarnya dengan sang suami yang jadi mantri kesehatan desa.Orang-orang bumi betuah tak ada yang tahu bila ia bernama Maruti dan hanya keluaran sekolah rakyat kelas dua.
Seorang gadis kecil ningrat bernama Juniar Wulandari yang mencuri bunga mawar ungunya itu mengingatkan dia pada masa remaja di Jawa sebagai babu yang seringkali disepelekan, karena itu dia menuntut, dia sekarang bukan babu lagi, bukan orang rendahan, dia seorang nyonya. Tak boleh lagi ada siapapun yang merendahkannya, tidak juga anak ningrat dari kampung bumi betuah, tidak! Semua orang punya hak yang sama untuk hidup terhormat di bumi ini. Dan kehormatan itu harus diperjuangkan, kalau tidak? bisa diinjak-injak!
Demi kehormatan itu pula ia dan suaminya mengirim ketiga puteranya untuk sekolah di Jawa, di Jogjakarta, tinggal di rumah nenek mereka di Gunung Kidul. Untuk menambah penghasilan dan membiayai pendidikan anak-anak, ia dan suaminya mulai berdagang kain dan pakaian di pasar-pasar; hari Senin di pasar Pulau Beringin, hari Selasa ke pasar Muara, hari Rabu di pasar Hulu, hari Kamis di pasar Sindang, hari Jum;at di pasar Betuah, hari Sabtu di pasar Danau dan hari Minggu di pasar Tanjung.
Sebenarnya, ketika Juniar Wulandari kecil bersama bapang dan endungnya bersama-sama datang ke rumah adat selaso jatuh kembar untuk meminta maaf dan membayar denda, Nyonya Adiguna sempat membatin, alangkah bahagianya bila ia punya anak gadis kecil secantik dan semanis Niar. Nyonya Adiguna juga membatin, jika pencurian tiga tangkai mawar ungu itu dilakukan oleh anak ningrat di Jawa ketika ia masih di Jawa, dia tidak yakin anak dan orang tuanya mau meminta maaf secara tulus disaksikan tetua adat, dan tidak mungkin lagi mau mengirimi bunga mawar ungu setiap bulan selama tujuh tahun, tidak mungkin!
Diam-diam Nyonya Adiguna memantau perkembangan Juniar, setiap kali berpapasan entah di jalan, di pasar, di suarau atau di sungai kampung, Juniar selalu menyapa memanggilnya, “Nyonya Adiguna…” ujarnya sambil tersenyum manis dan sedikit menundukkan kepala, kemudian berlalu tanpa menunggu jawaban.
Dan mengenai penyebaran berita tiga tangkai mawar itu, Nyonya Adiguna tidak tahu-menahu, dia tidak menyebar berita, dijaganya rahasia itu rapat-rapat sebagaimana yang diminta oleh dukun cunding, dia begitu bingung ketika orang-orang kampung sudah membicarakannya di pasar-pasar. Rupanya mantri Adiguna yang keceplosan tak sengaja bicara kepada seorang pasien wanita saat memeriksa kesehatannya karena mengeluh sakit kepala berat. Dalam keadaan sakit pasien itu bertanya, benarkah mawar ungunya hilang?
Mantri Adiguna menjawab ringan. “Ah, itu kelakuan anak kecil, dia hanya penasaran apakah itu bunga mawar asli atau mawar palsu, seandainya saya dan istri punya anak perempuan semanis anak itu, sudah lama saya dan istri ingin punya anak seperti Juniar, anak kepala dusun betuah rurung lembak.”
Pasien sakit itu juga bukan orang yang suka menyebar berita, tapi keesokan hari ia menasehati anak-anaknya untuk tidak mencuri, seberapapun inginnya jangan sampai mencuri seperti Juniar, kalau tak boleh diminta dan tak boleh dibeli, belajarlah untuk menahan diri; itulah yang disebut sabar, dan Tuhan menyukai orang-orang yang sabar.
Tanpa sepengetahuan ibunya, anak pasien sakit kepala itulah yang pertama-tama bercerita pada sesama temannya bermain. Dan berita itu menyebar, dari anak ke ibunya dan dari ibu ke anak-anaknya! Karena pelaku utamanya adalah Juniar yang masih keturunan langsung dari Raden Kasian dari generasi ke tiga belas yang terkenal tau cara bersopan santun adat istana, maka cerita tersebut menarik untuk dibicarakan di mana-mana.
Nyonya Adiguna tidak tahu jika Raden Kasian sudah berwasiat pada semua anak dan cucu-cucunya bahwa mereka manusia biasa, bukan keluarga kerajaan, bukan berdarah biru, sama seperti anak-anak dan cucu-cucu dayang-dayang dan prajurit yang ikut tinggal bersama mereka. Raden Kasian adalah anak salah satu selir raja Sriwijaya waktu itu, dia bertugas sebagai telik sandi dan dimandatkan untuk memata-matai kerajaan Perlak di Aceh, kerajaan Islam pertama di Nusantara yang kemudian berubah dan berkembang menjadi kerajaan Samudera pasai.
Tapi Raden kasian bukannya jadi mata-mata, malah jatuh hati pada agama dan kepercayaan orang-orang kerajaan Perlak. Lalu diam-diam Raden Kasian menjadi mualaf dan meninggalkan dewa-dewa yang selama ini jadi Tuhannya. Hanya ada satu Tuhan yang masuk akalnya untuk disembah, yaitu Tuhan yang tidak memandang manusia berdasarkan keturunan dan kasta-kasta, maka menikahlah Raden Kasian dengan gadis bersuku semende yang telah lebih dulu memeluk agama tauhid. Karena itulah Raden kasian kemudian diusir dari istana Sriwijaya, dicopot gelar kebangsawananya dan dipisahkan dari ibunya yang masih menyembah dewa.
Tak lama setelah itu, Sriwijaya di serang oleh pasukan Majapahit dan Sriwijaya menuai kekalahan yang teramat sangat pahit. Dari dalam hutan pelariannya, Raden Kasian hanya bisa berdoa untuk ibu dan ayahnya yang terpenggal oleh musuh. Pelajaran itu sudah lebih dari cukup untuk berhenti membanggakan darah biru yang sebenarnya tak pernah ada, sebab hakikatnya semua darah manusia itu sama merah dan tulangnya sama putih.
Namun tujuh dayang dan tujuh prajurit yang menemani Raden Kasian dalam pelarian tetap menghormati layaknya seorang pangeran. Dua anak Raden Kasian, yang bernama Ratu Besemah dan Pembarap mantan dinikahkan dengan salah satu dayang dan salah satu dari tujuh prajurit yang paling saleh. Garis keturunan anak perempuan dinamakan Uyun Ratu, garis keturunan anak lelaki dinamakan Uyun Pembarap dan garis keturunan dayang serta prajurit dinamakan Uyun Jelanggun.
Kini seluruh anak keturunan Raden Kasian yang tersebar di bumi Tuhan, termasuk saya yang menuliskan kisah ini, tak pernah menyebut-nyebut darah biru atau garis kebangsawanan di hadapan siapapun yang kami ajak bicara. Itu adalah sejarah masa lalu yang sudah tutup buku. Kalau mau terhormat, maka hiduplah dengan cara menghormati orang lain. Itulah ajaran puyang awak, istri Raden kasian, leluhurku, yang makamnya ada di aik rambutan, di hulu sungai kampung bumi betuah. Kampung yang dirindukan siapapun yang pernah tinggal di sana. Hanya orang bertuah yang dapat menetap di sana hingga tutup usia.
Kampung bumi betuah yang terbagi atas empat rurung atau empat pedukuhan, ada rurung dahat, rurung ulu, rurung tengah dan rurung lembak. Setiap rurung dipimpin oleh satu kadus, dan setiap kadus membawahi beberapa dasa wisma. Rumah Juniar dan sederet rumah tetanganya memakai nama dasa wisma mawar.
Ketika tuan Adguna meninggal dunia dan sempat berpesan untuk dimakamkan di kampung bumi betuah saja, nyonya Adiguna bertekad untuk tetap tinggal hingga akhir hayat dan dimakamkan di samping kubur suami tercinta yang telah mengangkat derajat hidupnya.
Untunglah saat tuan Adiguna wafat, ketiga anak lelakinya sudah dewasa, dua anak yang pertama malah sudah menikah dan jadi pegawai negeri di Jawa. Tapi anak bungsunya tak mau jadi pegawai seperti kakak-kakaknya, si bungsu lebih suka berdagang, maka sang ibu memintanya untuk pulang ke kampung betuah, berdagang saja di sini sambil menemani ibu dihari tua, pelanggan ibu dan almarhum ayahmu sudah banyak, syukur kalau dapat jodoh salah satu gadis dari kampung bumi betuah. Sebab gadis kampung ini agak susah kalau dinikahi oleh pemuda pendatang, takut diajak merantau dan tak kembali lagi.
Semula Kurman Azlani Adiguna belum mau pulang ke Sumatera, sama seperti kedua kakaknya; Karman Azlani Adiguna dan Karmin Azlani Adiguna. Mereka hanya menengok ibunya setahun sekali setiap musim liburan sekolah. Tapi sang ibu kemudian berkata pada anak bungsunya yang masih bujangan. “Kalau mau melihat ibumu sedho dengan perasaan damai dan bahagia, kembalilah dan tinggal di kampung bumi betuah. Ibu akan mendoakan sepenuh hati semoga usahamu di sini maju berkembang dalam berkah, ibu juga akan mendoakan semoga kau dapat jodoh gadis bumi betuah yang cantik dan saleha.”
Mendengar seorang ibu berkata begitu dengan penuh harap, hati Kurman yang bersih dan saleh tak dapat lagi menolak, bukankah surga di bawah telapak kaki ibu?
Baktinya kepada sang ibu itulah yang membuat Kurman terlihat lebih tampan dari yang sebenarnya. Hingga suatu hari Kurman bertanya pada sang ibu. “Di kampung bumi betuah ini ada banyak gadis, dari yang masih belasan tahun hingga yang menjelang tiga puluh. Di antara gadis-gadis yang ibu kenal, jika boleh menyebut satu nama, siapa yang ibu harapkan jadi menantu? Siapa yang ibu sebut namanya dalam doa untuk dipintakan pada Tuhan sebagai istri saya?”
Nyonya Adiguna tersenyum.“Namanya Juniar,” jawabnya sambil menerawang jauh.
“Juniar?! Apa tidak salah?! Apa tidak terlalu tua? Umurnya sama dengan saya, tidakkah lebih baik cari yang masih belia? Mangga muda yang ranum-ranum? Sepertinya si Juniar itu agak egois dan keras kepala, di madrasah dulu kami sempat bertengkar beberapa kali, saya mengejeknya pencuri mawar, dia mengejek saya pencuri sandal.”
“Karena itulah ibu mendoakan semoga kalian berjodoh.”
“Supaya ibu bisa sering mendengar pertengkaran antara kami?”
“Bukan! Supaya ibu bisa membuat kalian akur dan…”
“Dan apa?”
“Dan membuatkan cucu yang banyak untuk ibu mengisi hari tua. Nanti kalau sudah punya cucu, ibu mau berhenti berdagang di pasar-pasar, ibu mau fokus momong cucu-cucu, mau mendongeng Ande-ande lumut, Rara Jonggrang atau Aryo Penangsang.”
Kurman protes.“Itu dongeng untuk orang dewasa, anak kecil itu cocoknya didongengi Pangeran Palasara yang memelihara anak burung di atas kepalanya.”
Lalu ibu dan anak itu tertawa!
“Tapi kata orang-orang, Juniar itu masih keturunan bangsawan lho, masih berdarah biru, kayak keturunan keraton di Jogja, kira-kira orang tuanya mau tidak ya menerima lamaran kita?” ujar sang ibu.
“Kalau dia tidak mau, masih ada seribu gadis yang antre untuk jadi calon menantu ibu,” jawab sang anak. “Lagi pula, kalau hanya menaklukkan si Juniar itu urusan keciiillll.”
“Hallah! Kok le kemaki temen! Wong nggantengmu ora sepiro! Sama bapakmu zaman muda saja masih gantengan bapakmu.”
Ngapusi, di rumah si Mbah di Jogja ada fotonya bapak zaman masih muda, ngganteng-nya cuma mirip El-manik gitu, kalau saya kan gantengnya mirip Barry Prima.”
Anak dan ibu itu kembali tertawa renyah!
“Coba kamu kirimi si Juniar surat,” usul sang ibu.
Baktinya kepada sang ibu itulah yang membuat Kurman terlihat lebih tampan dari yang sebenarnya. Hingga suatu hari Kurman bertanya pada sang ibu. “Di kampung bumi betuah ini ada banyak gadis, dari yang masih belasan tahun hingga yang menjelang tiga puluh. Di antara gadis-gadis yang ibu kenal, jika boleh menyebut satu nama, siapa yang ibu harapkan jadi menantu? Siapa yang ibu sebut namanya dalam doa untuk dipintakan pada Tuhan sebagai istri saya?”
Nyonya Adiguna tersenyum.“Namanya Juniar,” Jawabnya sambil menerawang jauh.
“Juniar?! Apa tidak salah?! Apa tidak terlalu tua? Umurnya sama dengan saya, tidakkah lebih baik cari yang masih belia? Mangga muda yang ranum-ranum? Sepertinya si Juniar itu agak egois dan keras kepala, di madrasah dulu kami sempat bertengkar beberapa kali, saya mengejeknya pencuri mawar, dia mengejek saya pencuri sandal.”
“Karena itulah ibu mendoakan semoga kalian berjodoh.”
“Supaya ibu bisa sering mendengar pertengkaran antara kami?”
“Bukan! Supaya ibu bisa membuat kalian akur dan…”
“Dan apa?”
“Dan membuatkan cucu yang banyak untuk ibu mengisi hari tua. Nanti kalau sudah punya cucu, ibu mau berhenti berdagang di pasar-pasar, ibu mau fokus momong cucu-cucu, mau mendongeng Ande-ande lumut, Rara jonggrang atau Aryo penangsang.”
Kurman protes.“Itu dongeng untuk orang dewasa, anak kecil itu cocoknya didongengi Pangeran Palasara yang memelihara anak burung di atas kepalanya.”
Lalu ibu dan anak itu tertawa!
“Tapi kata orang-orang, Juniar itu masih keturunan bangsawan lho, masih berdarah biru, kayak keturunan keraton di Jogja, kira-kira orang tuanya mau tidak ya menerima lamaran kita?” ujar sang ibu.
“Kalau dia tidak mau, masih ada seribu gadis yang antri untuk jadi calon menantu ibu.” Jawab sang anak. “Lagi pula, kalau hanya menaklukkan si Juniar itu urusan keciiillll.”
“Hallah! Kok le kemaki temen! Wong nggantengmu ora sepiro! Sama bapakmu zaman muda saja masih gantengan bapakmu.”
Ngapusi, di rumah si Mbah di Jogja ada fotonya bapak zaman masih muda, nggantengnya cuma mirip El-manik gitu, kalau saya kan gantengnya mirip Barry prima.”
Anak dan ibu itu kembali tertawa renyah!
“Coba kamu kirimi si Juniar surat,” usul sang ibu. (Bersambung)

Baca juga: Susun Tarah [4]

***

Pago Hardian
Pemenang I Sayembara Cerber Femina 2016


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?