Fiction
Susun Tarah [2]

3 Sep 2016

Bagian 2
Kisah sebelumnya
Juniar, wanita muda dari keluarga ningrat di Bumi Betuah, kawasan yang terletak di Sumatera Selatan.  Di usianya yang relatif matang, Juniar jatuh hati pada Kurman, pria muda yang ramah penjual kain di pasar. Juniar pun mulai mencari tahu latar belakang Kurman.
 
Kemudian aku berlalu dan mencerna; hanya ada satu nama Kurman dalam memori ingatan yang sempat kukenal!
Kurman yang itukah?
Teman di madrasah ibtidaiyah dulu!?
Tidak mungkin! Waktu kecil dia sama sekali tidak tampan, tidak mempesona! Apa lagi ibunya, orang paling bakhil yang kukenal di kampung bumi betuah. Orang yang berkali-kali kusindir dan kukirimi tujuh tangkai mawar ungu setiap tanggal dua puluh tujuh untuk menusuk hati pelitnya yang berduri selama bertahun-tahun.
Dan aku mulai menyebar intel melayu; menyebar beberapa orang yang kupercaya untuk mendapatkan informasi akurat tentang pemuda tampan pedagang kain bernama Kurman. Aku berharap semoga dia Kurman yang lain, bukan Kurman anak bujang bungsu dari keluarga Adiguna yang sekarang sudah bangkrut.
Dulu tuan Adiguna beserta tiga anak lelakinya datang ke kampung ini sebagai mantri desa, waktu itu di kampungku belum ada puskesmas, hanya ada satu mantri desa. Selesai masa tugas, tuan Adiguna tak mau kembali ke Jawa, hanya ketiga anaknya yang dikirim ke Jawa untuk sekolah lepas madrasah ibtidaiyah. 
Sang mantri menetap di kampungku, bersama istrinya ia berdagang kain di pasar-pasar dan tetap mengobati warga bila ada yang sakit. Mereka cukup sukses dan berkecukupan meskipun tak punya sawah atau ladang kopi. Hingga tuan Adiguna meninggal dan nyonya Adiguna tak sepandai suaminya dalam dalam berdagang, juga tak bisa mengobati orang sakit, lalu puskesmas masuk desa. Dan nyonya Adiguna kehilangan pamor. Tapi aku tetap mengiriminya tujuh tangkai mawar ungu setiap bulan.
Salah satunya muridku di sekolah yang rumahnya di rurung dahat, satu rurung dengan Kurman kutanyai. “Kenapa nanya-nanya? Bu Niar naksir ya? Jangan deh bu, saingannya banyak, saya aja naksir sama dia bu,” jawab murid yang kutanyai.
“Habis orangnya saleh bu, pekerja keras, santun dan ganteng lagi! Beberapa orang tua yang berminat menjadikannya calon menantu sudah mendatangi rumah adat selaso jatuh kembar untuk melihat catatan adat buruknya. Rupanya dia tak punya satupun catatan buruk, hanya tertulis pernah sekali dilaporkan mencuri sandal terompah di surau dahat, itupun tak sengaja, salah ambil, tertukar dengan sandal Haji Syahril almarhum.”
Rupanya benar dia, Kurman Azlani nama lengkapnya, yang semasa kecil satu kelas denganku, heboh pencurian sandal terompah itu masih membekas dalam ingatanku. Sama ingatnya aku dengan catatan buruk kasus mawar ungu nyonya Adiguna; ibu dari Kurman Azlani. Orang yang kucatat untuk kuhindari jadi mertua.
Saat itu aku baru berumur sembilan tahun, lagi centil-centilnya dan selalu suka bunga mawar. Waktu itu setahuku bunga mawar hanya merah, betul-betul merah, semerah darah! Lalu aku mendapati ada juga mawar putih, mawar merah muda, mawar kuning, tapi mawar ungu? Dalam pikiran kanak-kanakku, mawar ungu itu mustahil, pasti orangnya salah lihat, tak mungkin orang pindahan dari Jawa yang bernama Keluarga Adiguna itu punya satu pot besar mawar ungu. Aku harus melihatnya. 
Mawar ungu itu sungguh ada, hidup dan berbunga.
Ketika itu ada tiga tangkai, dua masih agak kuncup dan satu baru mekar. Aku meminta setangkai dengan sopan pada nyonya Adiguna untuk bibit, untuk kutanam dan kurawat baik-baik. Permintaanku di tolak. Aku mencoba membelinya, setangkai saja, tapi uangku tak di terima.
“Ini bunga langka,” ujarnya angkuh.
Beberapa anak gadis lain yang meminta juga tak diberinya. Mawar ungu itu sengaja benar dipajang di beranda atas depan rumahnya untuk dilihat oleh siapa saja yang melintas. Jika aku berangkat ke sekolah atau mengaji, aku ambil jalan memutar untuk melihat mawar ungu tersebut. Dan hatiku semakin suka, coba kupinta lagi, tak dikasih, coba kubeli lagi, tetap tak di terima. Aku jengkel, dan malam harinya aku tergoda, seperti Siti Hawa yang tergoda untuk memakan buah terlarang, akupun mengendap-endap pada jam dua pagi ke beranda atas rumah nyonya Adiguna dan memetik tiga tangkai mawar ungu.
Setelah subuh kampung bumi betuah rurung dahat gempar. Tiga tangkai mawar ungu hilang! Nyonya Adiguna melapor pada ketua adat. Lalu dukun cunding dipanggil. dukun yang memiliki ilmu pengetahuan yang lebih jauh lebih hebat dari komputer atau internet. Karena hebatnya ilmu itu, maka ilmunya disebut gaib dan tak sembarang orang bisa mempelajarinya.
Dukun cunding bukan peramal cinta murahan yang beriklan di televisi. Bukan! Dukun cunding adalah salah satu orang tua paling saleh di kampungku. Hanya akan menunjukkan ilmunya bila benar-benar perlu. Bila orang kehilangan harta benda pusaka keluarga atau kehilangan anak gadis yang dilarikan orang, maka dukun cunding akan membacakan semacam mantra di depan kuku ibu jari kanan. Hanya beberapa menit saja lamanya, lalu secara ajaib, wajah orang yang mencuri tersebut akan terpampang di kuku sang dukun cunding. Dan dukun cunding tak pernah salah tuduh!
Dukun cunding bukan komputer yang bisa error. Orang dari kota yang mau melihat kehebatan dukun cunding hanya akan dapat cibiran, kecuali orang kota itu mau tinggal di kampung bumi betuah selama bertahun-tahun lalu ia benar-benar kehilangan harta berharga atau kehilangan anak gadis, saat itulah dukun cunding akan memperlihatkan ilmunya. Jadi jangan berharap dukun cunding akan bersedia muncul di televisi swasta sebagai bintang tamu dalam acara reality show. Jangan harap!
Nyonya Adiguna memohon pada dukun cunding di rumah adat selaso jatuh kembar untuk menggunakan ilmunya, sebab menurut sang nyonya, tiga tangkai mawar ungu miliknya itu tak ternilai harganya; itulah harga sebuah sentimentil dan keangkuhan.
Dukun cunding menyanggupinya dengan satu persyaratan, nyonya Adiguna tidak boleh memberitau siapapun setelah melihat pencurinya dalam kuku. Nyonya Adiguna menyanggupi, maka tak pakai lama, dukun cunding membacakan mantra, dan beberapa detik setelah mantra selesai dirapalkan, wajah polos kekanakan sembilan tahun milikku mucul di kuku cunding, wajah dengan senyum manis berhias sekuntum mawar ungu terselip di telinga kiri.
“Apakah bunga mawarnya mau diambil?” tanya dukun cunding. Nyonya Adiguna bilang tak perlu, sebab dia sudah menduga bahwa akulah pelakunya, dan dugannya benar.
“Nanti siang, ketua adat akan datang ke rumah anak itu, dia uyun Ratu di kampung ini, tapi ketua akan tetap mendendanya dan mencatat adat buruk anak itu dalam kitab sopan-santun. Hukum tidak pandang bulu. Dan kalau ibu menyebarkan aib ini, hidup ibu akan termakan karma, ibu paham?” ujar dukun cunding menasehati.
Siangnya rumahku didatangi ketua adat. Bapang, endung dan keempat cebuk-ku murka sekali padaku. Bagaimana mungkin gadis kecil yang manis bisa mencuri benda remeh seperti tiga tangkai mawar? Kalau mencuri kalung emas mungkin wajar dan layak didenda. Bapang memasuki kamarku dan mendapati tiga tangkai mawar ungu itu kuletakkan di dalam gelas antik berisi air supaya tetap segar. Barang bukti itu membuat bapang tak dapat mungkir bahwa gadis kecilnya sudah mencuri.
Aku diintrogasi oleh ketua adat, perbuatanku dicatat, tapi aku tak sepenuhnya salah, aku dicatat pernah mencuri tiga tangkai mawar ungu di tanggal dua puluh tujuh, dan nyonya Adiguna dicatat sebagai calon mertua yang sangat pelit dan tidak berperasaan. Aku berani bertaruh, tak akan ada gadis kampung bumi betuah yang mau jadi menantunya dan tak akan ada orang tua gadis yang mau jadi besannya.
Meskipun aku sudah datang untuk meminta maaf dan membayar denda ke rumah adat, Nyonya Adiguna diam-diam tetap menyebarkan berita itu, orang sekampung tahu kalau aku mencuri tiga tangkai mawar. Bapang sampai bepergian ke taman kota propinsi di Palembang untuk membeli bibit bunga mawar ungu.
Lalu beranda rumah kami di hiasi empat puluh pot bibit mawar ungu. Kini seakan jadi taman ungu, dan aku berkata semua orang di kampungku, siapapun boleh memetik bunga mawar ungu di beranda bila menginginkannya, tak perlu meminta, tak usah membeli apa lagi sampai mencurinya jam dua malam, tak perlu! Silahkan ambil! Selama beberapa tahun kemudian di setiap rumah anak gadis kampungku memiliki pot bunga mawar ungu yang langka, sangat langka sehingga nyaris semua orang punya. Dan aku mengirimi nyonya Adiguna tiga tangkai setiap bulan. Selama tujuh tahun!
 
***
Bab 2; Semangkuk Beteri Mandi
Ini saatnya berdamai dan menanggalkan ego!
Ahad pagi aku membuat beteri mandi; makanan manis perlambang kekeluargaan di kampungku. Terbuat dari irisan pisang tanduk, ubi jalar, perenggi, dan beluluk kolang-kaling, direbus bersama air gula aren bersantan kelapa tua, tambahkan sejumput garam, bubuk vanili, beberapa potong kecil kayumanis, tiga ruas jahe memar dan sehelai daun pandan muda. Di Jawa ada makanan yang serupa dengan beteri mandi, mereka menamainya kolak, dimakan musim ramadhan untuk berbuka puasa. Di kampungku, beteri mandi tak kenal musim. Kalau suka kau boleh membuatnya kapan saja dan hari apa saja.
Masukkan beteri mandi lezat buatanmu ke dalam mangkuk porselin besar tanggung yang cekung selagi hangat, tutup dan segera antarkan pada orang yang ingin kau ajak bersahabat atau berdamai. Pakailah baju putih dan tersenyumlah semanis beteri mandi dalam mangkukmu yang hangat. Niscaya hati orang yang menerimanya akan luluh, mendadak jatuh sayang padamu, itu petuah leluhurku; Puyang Raden Kasian, ratusan tahun lalu. Petuah yang pernah kuanggap antik minta ampun dan enak untuk ditertawakan.
Kini aku melaksanakan petuah antik itu dan berharap nyonya Adiguna tak bakhil untuk membolehkan aku berbincang-bincang barang sebentar dengan anak bujang bungsunya yang tampan di beranda depan rumahnya berteman satu pot besar bunga mawar ungu. Semoga beteri mandi buatanku mendatangkan kisah yang manis untuk kuceritakan pada anak cucuku kelak. Untuk itu aku harus berdoa.
“Kalau demikian adanya, tunggu apa lagi? Memohonlah pada Tuhan agar menjadikan Kurman sebagai imam shalatmu,” usul bu Fatonah ketika aku curhat tentang seorang pemuda yang akhirnya membuat diriku terkesima; pemuda pedagang kain bernama Kurman yang ibunya sempat kumusuhi hanya karena tiga tangkai mawar. “Berdoa yang sungguh-sungguh dan lakukanlah pendekatan secara anggun serta santun. Temui nyonya Adiguna, minta maaf dengan tulus dan mulailah memperlakukannya laksana ibu mertua.”
Oh! demi leluhurku dan segala macam teori ilmu yang kupelajari dari TK hingga ke Universitas Sriwijaya, berdamai dengan orang yang sempat kau benci tidaklah mudah. Lihat betapa canggung aku menaiki tangga rumah nyonya Adiguna, terakhir kali menaikinya saat aku mengendap-endap jam dua malam sekitar belasan tahun silam untuk mencuri mawar. Kini aku menaikinya lagi, bukan jam dua malam, tapi jam empat petang, dengan tujuan yang sebenarnya sama; mencuri hatinya dan berharap dapat pula hati anak bujangnya yang mempesona, hanya dengan bermodalkan semangkuk beteri mandi hangat.
Tidak! Tidak! Aku bukan hendak mencuri hati, bukan!
Aku datang untuk menyambung tali silaturahmi yang sempat tertunda, itu terdengar lebih santun. Aku datang untuk mengalahkan egoku sendiri, untuk menarik kembali kutukanku dan menelan sendiri kutukan itu; kutukan yang kukatakan bahwa tak akan ada gadis kampung bumi betuah yang mau jadi menantunya. Kini aku sedang berusaha mendaftarkan diri secara halus untuk diambil jadi menantu. Sungguh ini sangat tidak mudah bagiku. Betul-betul tak mudah! Jadi tolong jangan tertawakan aku dengan semangkuk beteri mandi yang kini beranjak dingin di tanganku.
Tok! Tok! Tok!
“Asalamualaikum,” sapaku dengan suara pecah. “Ada orang di rumah?”
Terdengar seseorang menjawab salam, suara lelaki! Astaga! Itu suara Kurman! Aku masih ingat suara itu di pasar Jum’at beberapa bulan silam. Suara dan sang pemilik suara itu telah berhasil membuktikan teori ibu kepala sekolah; membuatku tak nyenyak tidur dan tak nikmat makan. Oh! kalian boleh mencibir, tapi sekali saja kalian pernah jatuh cinta pada pandangan pertama dan mempunyai peluang untuk mendapatkannya, aku berani bertaruh bahwa kalian akan berjuang lebih keras dari pada aku demi mengobati selera makan dan lelapnya tidur.
Pintu terbuka!
Kurman berdiri tepat di bingkai pintu! Hanya bersarung! Menutup pusar hingga lutut! Memperlihatkan bidang dada yang nyaman untuk berlabuh!
Aku nyaris saja terjengkang, untung beteri mandiku tidak tumpah! Kini aku tahu kenapa Raden Kasian menyarankan untuk menggunakan mangkuk cekung.
Dada lelaki bukan aurat, jadi aku memandanginya.
“Hai! Juniar Wulandari!? Angin apa yang membuatmu kemari?” sapa Kurman. “Ibuuu! Lekas lihat! Siapa tamu agung yang datang ke gubug kita!”
Aku masih mematung memandangi sebentuk keindahan di depan mataku, bagai pahatan dari Yunani; indah, atletis, tampan alami, terlihat kalau dia baru saja tidur-tiduran, acakan rambutnya tak bisa menipu mataku.
Tahu-tahu calon ibu mertua sudah berada di belakang anaknya!
“Niar!? Oh! selamat datang Nak, mari silahkan masuk.” Sambut nyonya Adiguna lebih hangat dari bateri mandi.
Aku berjalan melewati bingkai pintu, berpapasan dengan Kurman yang tidak mengenakan baju hanya berjarak beberapa mili, nyaris bersentuhan, tercium aroma tubunya yang maskulin, rasanya ingin pingsan saja.
“Masuk ke kamarmu sana!” Nyonya Adiguna mengusir anak bujangnya. “Tamu wanita diterima oleh wanita, begitu adat di kampung ini.”
Aku dipersilahan duduk. Ditanya kabar. Diminta menyampaikan salamnya untuk bapang dan endungku di rumah. Aku mengangguk. Lalu ada jeda yang cukup panjang. Aku teringat beteri mandiku.
“Begini ibu, saya tidak akan lama, maaf telah mengganggu, tadi saya membuat sepanci beteri mandi dan mendadak teringat pada ibu, sudah lama sekali saya tak menaiki tangga rumah ibu untuk bersilaturahmi, bahkan hari raya saja saya tak sempat berkunjung, karena itu hari ini saya berniat sungguh-sungguh untuk membangun kembali hubungan keluarga kita yang sempat renggang. Selaku yang lebih muda saya merasa telah begitu bersalah pada ibu, maafkan saya. Bersediakah ibu memaafkan saya?”
“Oh! Nak, mari sini,” jawab Nyonya Adiguna sambil mengulurkan kedua tangan dan memelukku. Betapa bahagianya bila Kurman saja yang mewakilinya memelukku dan bukan ibunya. Mungkin aku bisa langsung jatuh tertidur dan tak bangun-bangun lagi selamanya. Nyonya Adiguna berbau minyak kayu putih, katanya dia baru masuk angin, habis dikerok satu jam lalu. Nyonya Adiguna melepas pelukan dan membawa mangkuk beteri mandiku ke dapur.
Kurman mucul menggantikan ibunya, kini ia telah memakai baju takwa biru berbordir merah hati. “Sentimentil sekali kedengarannya, membicarakan apa?” tanya Kurman sambil duduk di depanku.
“Urusan wanita,” jawabku seadanya.
Nyonya Adiguna kembali lagi dan menyerahkan mangkuk. “Terima kasih banyak, sudah ibu cicipi, rasanya enak sekali,” puji sang calon mertua. “Tapi ibu tak bisa membalas apa-apa, jadi kembali mangkuk utuh dengan isinya, hati-hati jangan sampai tumpah.”
Kembali utuh? Apa maksudnya?
Setelah aku pulang dan membuka mangkuk porselin cekung itu, rupanya beteri mandiku masih utuh, tak diambil! Pertanda apa pula ini? Apakah niat baikku tak bersambut dengan lega? Bertepuk sebelah tangan? Apakah nyonya Adiguna masih menaruh dendam padaku? Dendam selama itu untuk seorang gadis kecil sembilan tahun hingga dua puluh tujuh tahun? Pantaskah? Ya Tuhan, hati manusia benar-benar tak dapat diukur! Apa arti sambutan dan pelukan hangat yang ia berikan? Kenapa beteri mandiku dikembalikan?
Aku terduduk lemas! Apa yang harus kulakukan? (Bersambung)

Baca juga: Susun Tarah [3]

***
 
Pago Hardian
Pemenang I Sayembara Cerber Femina 2015/2016


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?