Fiction
Simfoni Kesedihan [2]

5 May 2016


Bagian 1 2 3  4


Kisah Sebelumnya <<<<<

Sefadia Krani

Akhir-akhir ini, terkadang malam panjang terlewati tanpa aku bisa memejamkan mata sedikit pun. Aku masih berharap pada Debussy, dengan tetap memutarnya pelan-pelan. Walau aku tahu, belakangan ini kemujarabannya untuk menenteramkan hatiku seperti sirna. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Hanya ia yang kusuka. Sialnya, sekarang itu malah memunculkan bayang Barra begitu kuatnya.

Walau matahari belum benar-benar muncul, aku memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur. Kubuat secangkir kopi, lalu  kubiarkan diriku diam di atas kursi. Sejenak kubiarkan uap menguap perlahan menelisip di hidungku. Tanpa sadar, kulihat bayangan diriku di pantulan meja kaca di depanku.

Dulu Barra selalu berada di sana. Duduk di seberang kursi ini. Ia yang selalu membuat kopi dan aku lebih memilih  minum teh. Di situ, kami berbincang dalam jeda-jeda hening. Kupikir jarak di antara kami membuat kata-kata lebih   terseleksi dengan sendirinya. Mungkin, kata-kata yang tak penting memang tak perlu diucapkan, karena ia akan menguap dengan sendirinya. Seperti uap kopi.

Satu yang selalu kusayangkan, jarak itu juga yang membuat kami jarang bergenggaman tangan. Aku sebenarnya berharap Barra yang mengambil inisiatif mendekatiku. Tapi ia tak pernah melakukannya. Sekali-dua kali aku yang melakukannya. Kupikir itulah yang masih  memberi kekuatanku sampai hari ini. 

Tapi kini, kekuatan itu seperti mulai lenyap. Aku mulai merasa keheningan sangatlah menakutkan. Tak ada siapa  pun yang perlu ditatap. Tak ada siapa pun yang perlu diajak bicara. Tiada siapa pun yang harus kugenggam. Tak ada siapa pun pula yang harus dikuatkan. Aku sendiri sekarang. Benar-benar sendiri.

Ini membuatku kembali teringat  pada  foto  lama itu, seiring partitur yang kemarin  coba kumainkan, dan pertanyaan-pertanyaan yang sama terlintas. Aku tiba-tiba seperti telah berada di ruang piano di sekolah itu lagi, di mana  Qurie juga kulihat di sana.
Ya, sejak kedatangannya dulu, diam-diam aku memang sudah memperhatikannya. Kami berkenalan di hari itu. Semula aku memang hanya memperhatikannya dari jauh. Ia  yang kemudian  mulai  mendekatiku  dan mengajakku berteman. Hari itu juga aku merasa dekat dengannya. Dan aku merasa ia juga menyambut dengan baik. Ia membiarkanku berada di kamarnya sampai kapan pun aku mau. Sejak itulah, aku jadi kerap datang ke kamarnya. Ini mungkin karena memang tak ada remaja seumurku di sekitar sini. Toh, para murid lainnya lebih memilih asrama yang agak jauh dari sekolah, agar harganya lebih terjangkau.

Dan entah kenapa, lama-lama aku menyukai kamarnya. Setidaknya dari kamarku sendiri. Padahal kamar ini  begitu sempit dan hanya ada lemari, dipan dan meja kecil saja. Benar-benar jauh bila dibanding kamarku yang luas dan dipenuhi macam-macam, bahkan sebuah lemari boneka besar pun ada.
Di kamar Qurie, hanya ada satu yang sedikit menggelikan. Ia memasang selembar foto  dirinya dan ibunya. Tapi  tentu aku  tak mau berkomentar apa-apa tentang itu. Bila ia sampai memasangnya, pastilah ibunya orang yang baik. Tentu setidaknya tidak seperti Mama.

Di satu perbincangan kami di kamarnya yang sempit, Qurie pernah bercerita bahwa ia ingin sekali menjadi alunan nada. Kala ia mengungkapkannya, ia sampai memejamkan matanya dan menggerakkan tubuhnya seperti menari. Aku tak menanggapi apa-apa atas ucapannya.

Tapi lama-kelamaan aku mulai menganggap serius ucapannya. Hanya beberapa kali ia mencoba piano di ruang piano yang kuncinya diam-diam kubawakan dari rumah, aku segera sadar kalau ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sungguh, aku sudah kerap melihat seseorang bermain piano. Tapi aku belum pernah melihat seseorang dengan jari-jari yang masih sama seperti jari-jariku, dapat memainkan lagi-lagu yang kupikir sangatlah rumit. Tapi, jari-jari Qurie seperti mampu menari di atas tuts-tuts piano. Begitu mudahnya ia meraih tuts-tuts yang seharusnya ada di luar jangkauannya.
Hampir   tiap sore atau malam hari, aku menyaksikan sendiri ia memainkan piano. Jujur saja, ini membuatku sangat malu. Kadang-kadang aku berpikir,  Tuhan tak adil padaku. Terlebih bila mengingat siapa diriku dan siapa diri Qurie yang sama sekali tak memiliki garis keturunan pemusik sedikit pun.
Hari-hari di sekolah, perlahan menjadi milik Qurie.

***
Qurie Qurindra
Kini  tiap malam, Sefa selalu datang ke kamarku. Biasanya ia datang sambil membawa makanan, kue-kue ataupun minuman ringan. Terkadang saking banyaknya, ia sampai harus menjadikan roknya sebagai keranjang. Kejadian ini nyaris terjadi  tiap hari. Biasanya sejak waktu sekolah berakhir di sore hari, ia akan seharian di sini. Terutama bila mamanya tengah pergi di luar kota.

Tak hanya itu, Sefa juga selalu membawa kunci ruangan piano. Tampaknya mamanya sengaja memberikan kunci itu, agar ia dapat berlatih di mana pun juga.
Maka itulah,  tiap hari setelah waktu sekolah berakhir, kami akan datang ke ruang piano. Aku tentu saja sangat senang. Di masa-masa awal di sekolah ini, pelajaran-pelajaran tentang teori memang sangat banyak. Beberapanya bahkan terlalu bertele-tele dengan mengajarkan sejarah musik puluhan tahun lalu. Jadi kesempatan bermain piano seperti ini benar-benar tak bisa kusia-siakan. Toh, bermain piano adalah alasanku berada di sini.
Biasanya Sefa hanya akan memperhatikanku saja dari kursi sebelah. Kadang saking senangnya, aku sering melupakan kehadirannya. Namun saat teringat, aku selalu memintanya bergantian denganku. Namun, ia selalu menggeleng.

Awalnya kupikir ia hanya memberi kesempatan saja untukku bermain piano sepuasnya. Aku tahu di rumahnya ada sebuah piano terbaik yang bisa dipakainya  tiap saat. Namun, ketika sampai berkali-kali ia masih juga menolaknya, aku baru merasa curiga.
Aku menarik tangannya. Kali ini sedikit dengan paksaan. Hingga ia akhirnya mau juga duduk di sebelahku, dengan wajah yang sedikit tampak tak lepas.

“Ayolah! Aku ingin sekali mendengarkan permainanmu.”
Tapi Sefa hanya menggeleng. “Aku... tak sepandai dirimu....”
“Kata ibuku dulu, untuk bermain piano, siapa pun tak harus lebih pandai. Ia hanya perlu kegembiraan.”
Sefa diam, tak lagi membantah. Namun, pada akhirnya ia menarik napas panjang, dan mulai mengangkat tangannya. Saat itulah baru kusadari, ada bekas-bekas luka di punggung tangannya. “Apa ini?” aku menyentuh tangannya. Tapi Sefa tak berucap apa-apa. Ia langsung menarik tangannya. “Bukan apa-apa.”
“Itu seperti bekas...,” aku tak melanjutkan ucapanku. Tapi Sefa tak menggubrisku. Jari-jarinya sudah bergerak di atas tuts-tus piano. Ia langsung memainkan beberapa variasi Chopin Waltz, yang selama ini biasa dimainkan seseorang saat berlatih piano pertama kali.
Aku tak lagi bertanya-tanya tentang punggung tangannya. Namun, sejak itulah semuanya seperti mulai jelas bagiku, mengapa Sefa selalu memilih menghabiskan hari-harinya bersamaku di sini, daripada di rumahnya yang mewah. Aku juga mulai dapat menyimpulkan, seperti apa hubungan dengan mamanya. Aku yakin, apa yang kulihat hari itu di punggung tangannya merupakan bekas luka yang tak lagi bisa hilang. Bekas luka yang didapat dari pukulan penggaris saat telapak tangan tengah menelungkup.

***
Sefadia Krani
Sampai beberapa hari ke depan, ingatan-ingatanku tentang Qurie terus datang di malam-malamku. Rasanya  tiap kali aku mengingat Barra, selalu saja sosok Qurie ikut muncul menyeruak. Aku tentu memahami kenapa ini bisa terjadi. Bagaimanapun, sebelum Barra datang di kehidupan kami, kami berdua adalah sepasang sahabat. Kami nyaris tak terpisahkan.

Qurie bagaimanapun sosok yang istimewa. Bakatnya langsung menyita perhatian semua  murid lainnya di sekolah ini. Aku senang ia mendapatkan itu semua. Kupikir ia layak mendapatkannya. Terlebih beberapa bulan berselang sejak kepindahannya ke sini, ibunya meninggal karena sakit parah. Sejak itu, ia seperti tak bisa ke mana-mana lagi. Kota ini, dan kamar kecilnya, sudah menjadi tempat satu-satunya.

Aku juga mulai kerap tidur di kamarnya. Kami seakan menjadi penguasa sekolah ini. Aku bisa mendapatkan kunci semua kelas, sehingga kami bisa mencoba semua alat musik yang ada di sini. Namun, itu hanya menjadi kesenangan sesaat saja. Selalu, pada akhirnya kami akan kembali pada ruang piano.

Kuakui hanya beberapa bulan berselang, kemampuan Qurie menanjak bagai roket. Ia tak terlalu tertarik untuk mempelajari apa-apa lagi. Ia hanya ingin bermain piano. Jujur saja, selama ini Qurie banyak membantuku. Tiap ujian akan berlangsung, dan aku mulai tampak cemas, Qurie selalu tahu apa yang tengah kupikirkan. Ia akan segera membimbingku ke ruang piano, dan mengajakku bermain bersama. Aku sadar itu adalah caranya mengajariku.

Tapi, piano bukanlah seperti pelajaran teori yang dapat dipelajari begitu saja. Ada talenta di situ. Aku mungkin bisa berkerja keras dengan menghafal semua partitur yang ada. Tapi, begitu konsentrasiku lengah sedikit saja, semuanya akan menjadi berantakan. Ini tak kulihat ada pada Qurie. Ia seperti telah menyatu dengan pianonya. Jari-jarinya seakan bermata, sehingga ia tak akan pernah salah menekan tuts-tutsnya. Seperti ucapannya dulu, di hari-hari awal ketika ia datang, ia memang telah mewujud menjadi alunan nada.

Di semester-semester berikutnya Qurie  makin bersinar. Ia terus menjadi wakil sekolah dalam perlombaan-perlombaan piano. Ia juga kerap diajak oleh beberapa guru untuk mendukung pertunjukan mereka. Hanya dalam empat tahun berselang di sekolah ini, semua seperti berubah. Ia bukan lagi tampak seperti gadis kecil yang baru datang ke kota ini. Sedang aku? Aku diam-diam masih melihat semuanya dengan perasaan sepi. Tanpa beranjak ke mana-mana.

Tak ada yang tahu, termasuk Qurie, bila semua yang terjadi padaku  makin buruk saja. Mama akhirnya mendengar juga tentang Qurie. Selama ini, kesibukannya memang tak membuatnya tahu perkembangan apa yang terjadi di sekolahnya secara detail. Sehingga ia cukup terkejut ketika mengetahui bahwa Qurie yang bersinar akhir-akhir ini adalah murid yang mendapatkan beasiswa di sekolahnya, sekaligus mendapatkan izin untuk tinggal di kamar belakang sekolahnya.

Aku merasa sejak itulah Mama sebenarnya mulai mengawasi Qurie. Tak ada satu orang pun yang tahu, kalau kejadian itu berefek sangat dalam padaku. Suatu malam, Mama bahkan pernah memasuki kamarku. Waktu itu, ia baru saja pulang dari menonton sebuah festival yang juga diikuti Qurie.
“Aku membayangkan, kau yang seharusnya ada di sana!” ujarnya, di ambang pintu. Aku hanya menarik selimutku.

“Kau sudah memiliki semuanya, termasuk darahku.“  Kali ini, suara Mama nyaris berteriak, namun aku tetap diam.
“Tapi aku tentu tak menyalahkanmu,” lanjut Mama. “Dalam hal ini, aku yang salah, karena sudah memilih laki-laki yang salah.”

Lalu Mama meninggalkanku. Meninggalkan satu lagi luka dalam hatiku.
Aku sadar, aku memang tak beranjak ke mana-mana. Dalam  tiap pemilihan siswa untuk perlombaan ataupun festival, aku tak pernah terpilih, walau ada 10 orang pianis yang dicari sekalipun. Ini sebenarnya menyakitkan. Tapi, aku sudah berusaha sekuat tenaga. Qurie bahkan  tiap malam sudah menemaniku berlatih ekstra. Tapi, semua seperti sia-sia.
Tanpa sadar aku kembali menyentuh foto lama di depanku. Saat ini, tanpa terasa malam sudah begitu larut. Kupikir sudah waktunya untuk tidur. Kali ini aku harus memaksa diriku terlelap, karena sudah beberapa hari ini aku nyaris tak tidur. Aku pun beranjak untuk mematikan televisi yang sedari tadi menyala pelan. Namun, saat tanganku baru akan menekan tombol off pada remote, mataku melihat wajah Mama di layar televisi. Itu tentu tak mengurungkan niatku menggerakkan jariku, hanya sepersekian detik dari gerakan itu, telingaku seperti mendengar sesuatu yang membuatku urung menggerakkan jariku.
Aku mendekat, sembari mengeraskan volume. Di layar televisi kulihat Mama sedang memainkan piano dalam sebuah konser amal di ibu kota. Ia membawakan sebuah simfoni yang tak lagi asing di telingaku. Simfoni yang ada dalam partitur yang penuh dengan coretan-coretan itu!

***
Qurie Qurindra
Di tahun keempat, aku berhasil lulus dari sekolah ini. Seharusnya aku pergi dari sekolah ini, namun beberapa guru kemudian memintaku untuk menjadi asisten mereka. Kebetulan tahun ini, pendaftar anak-anak jauh lebih banyak dari tahun kemarin, sehingga dibutuhkan guru tambahan untuk itu. Aku tentu saja menerimanya dengan gembira.
Toh, aku tak lagi bisa pulang ke mana-mana. Sejak semester pertama tinggal di sini, aku memang tak lagi bisa pulang. Ibu sudah pergi untuk selamanya, dan tak ada lagi saudara dekat yang kukenal dengan baik. Jadi, hanya di sinilah aku bisa tinggal.
Apalagi, walau sudah selesai, selalu saja ada hal baru yang kudapat di sini. Madame Inge adalah  pemain piano yang baik. Ia juga komposer yang piawai, sehingga aku kerap diikutkan dalam pertunjukan-pertunjukannya. Selain itu, mereka juga mendorongku untuk mengikuti festival-festival di kota-kota lain.
Sampai kemudian laki-laki itu datang.

Awalnya aku tak pernah tahu ia merupakan salah satu murid di sini. Sekolah ini memang terdiri dari berbagai lapisan. Memang ada murid-murid formal yang juga mengikuti kurikulum nasional. Murid-murid di sini, biasanya memiliki umur yang sama dengan murid-murid sekolah lainnya. Namun, ada juga murid-murid yang mengikuti kurikulum tidak formal. Jumlahnya bahkan lebih banyak dari yang formal.
Karena aku mengurusi murid anak-anak sepantaran SD, aku tak pernah cukup mengenal murid-murid di luar itu. Sehingga aku cukup terkejut saat ia tiba-tiba datang mendekatiku. Waktu itu hari sudah sore, dan aku sedang berlatih sendiri di ruang piano. Akhir-akhir ini aku memang sedang getol menciptakan sendiri alunan nada-nadaku.
Saat ia datang, langkah kakinya langsung membuatku menoleh dan menghentikan gerakanku.

“Mainkan sekali lagi lagu itu,” ia meminta.
Aku tentu saja tak langsung menurutinya. “Siapa kau?” aku sedikit heran. “Bukankah murid-murid seharusnya sudah pulang?
“Ya, seharusnya memang sudah,” jawabnya. ”Hanya saja Madame Inge ingin bicara denganku, jadi... sampai sekarang aku baru bisa keluar dari ruangannya.”
Aku terdiam. Kalau Madame Inge sampai menemui seseorang di saat jam sekolah berakhir, biasanya murid yang bersangkutan pastilah ada dalam masalah.
“Hmmm, aku terlalu banyak membolos,” ia menjawab dugaanku, seakan mampu membaca pikiranku.

“Oya, aku Barra. Aku murid kelas biola,” ia mendekat dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan ragu. Di sekolah ini, murid kelas biola cukup banyak. Kelas formalnya saja yang kutahu ada 3 kelas. Itu belum termasuk yang tidak formal dan privat.

 “Aku suka sekali permainanmu tadi. Lagu apa itu? Aku sepertinya baru mendengarnya kali ini? Apakah itu ciptaanmu?”
Aku mengangguk saja menjawab rentetan pertanyaannya.
“Oya, apa kau juga murid di sini? Atau... guru? Kupikir tak ada murid yang mau berlatih di waktu seperti ini?”
“Aku bukan keduanya. Aku hanya membantu beberapa guru di sini.”
“Aaaah asisten....” Ia berlagak memberi penghormatan dengan meletakkan telapak tangannya di dada. “Kalau begitu aku harus memanggilmu... hmmm, Madame Asisten.” Ia tersenyum. “Jadi sekarang, bisakah Madame Asisten memainkan lagu tadi sekali lagi?”
Aku hanya tersenyum. Tapi kali ini, aku menuruti permintaannya.

***
Aku sudah menciptakan beberapa lagu. Sebagian besar memang hanya instrumen piano yang sederhana. Hanya dua atau tiga saja yang kupikir cukup panjang dan rumit. Kupikir yang ini kelak bisa menjadi simfoni yang indah, karena sudah kubayangkan suara-suara alat musik lainnya di situ.
Dari semuanya, hanya satu yang paling kusuka dan selalu kumainkan. Aku belum memberinya judul, hanya saja itu adalah alunan nada yang coba kurangkai pertama kali. Sejak dulu, aku selalu bepikir untuk memberinya judul. Namun, tak ada kata yang bisa kesematkan di situ.

Sempat terpikir olehku untuk memberi judul Simfoni Sefadia. Karena dulu saat pertama kali aku menciptakannya, aku memang tengah memikirkan Sefa yang selalu bersedih. Tapi aku merasa tak enak menyebutkan judul itu di depannya. Kupikir inspirasi tak perlu disebutkan, apalagi kalau menyangkut kesedihan seseorang. Jadi, aku berpikir untuk menggantinya. Namun, memilih judul ternyata merupakan perkara yang lebih rumit.
Pernah suatu kali, saat kami sedang ada di ruang piano, aku hampir menanyakan itu pada Sefa, tapi aku mengurungkan niat. Saat itu ia sedang duduk di sebelah kiri dan aku duduk di sebelah kanan. Aku memancingnya untuk memainkan sebuah lagu bersama. Ia memainkan nada-nada rendah dan aku memainkan nada-nada tinggi. Saat itu aku langsung bereksperimen, memainkan beberapa lagu anak-anak yang kuvariasi sedemikian rupa. Sefa kemudian membalasnya dengan lagu anak-anak lainnya. Jari-jari kami bergerak sambung-menyambung, seperti bersahut-sahutan.
“Kau lihat?”  aku menatapnya. “Kita bagai satu orang saja? Sefadia Qurie... Ya, Sefadia Qurie….”
“Qurie Sefadia...,” Sefa mencoba meralatnya. Tapi aku tak menggubrisnya. Kupikir aku lebih senang dengan nama yang pertama. Sefa pun tak lagi memprotes. “Hmmm, kupikir akan  makin menyenangkan bila ada pemain biola di antara kita.”
Entah kenapa, tanpa Sefa tahu, selepas senyumku menanggapi ucapannya, yang terlintas olehku adalah sosok laki-laki yang datang di ruang piano beberapa hari lalu. Barra....

***
Kupikir belum ada yang tahu, kalau laki-laki itu, Barra, selalu menungguku di ruang piano selepas murid-murid lain pulang.
Sejak pertemuan pertama kami hari itu, dia datang dengan membawa biolanya. Ia memainkan beberapa lagu di depanku. Aku menyimpulkan, ia pemain biola yang bagus. Apalagi saat ia dengan mudah bisa mengisi nada-nada piano yang kumainkan.
“Kau tahu,” ujarku, “belakangan ini aku mulai berpikir memberi judul lagu-lagu ciptaanku.”
“Harusnya kau sudah melakukannya.”
“Tapi aku tak pandai memilih kata-kata.”
“Itu karena kau malas membaca.”
Aku tak memprotesnya. “Menurutmu lagu ini sebaiknya diberi judul apa?”
Barra terdiam sejenak, “Lagu dan penciptanya punya hubungan personal. Biasanya hanya penciptanyalah yang bisa memberinya judul.”
“Sudah sejak dulu kupikirkan, tapi tetap tak bisa.”
“Kupikir lagumu ini bernuansa sedih. Ketukannya terlalu lambat, dan jeda-jedanya terasa lama. Ini kesedihan. Tapi kadang di beberapa bagian, kau membuat manuver dengan menaikkan nada-nada minormu. Ini membuat nada-nada yang kau citakan terasa rapuh. Namun bagiku, di situlah titik terpentingnya.”
Aku mencoba mencerna ucapan Barra.
“Intinya simfoni yang kau buat ini sangat menghanyutkan,” tambah Barra. “Sebagai pendengar, aku seperti dipaksa untuk merasakan kesedihan yang ingin kau ungkapkan. Jadi, menurutku, simfoni ini cocok sekali diberi judul: Simfoni Kesedihan.”
“Simfoni Kesedihan?” tanpa sadar aku mengejanya. Ah, kata itu tentu sudah terpikir olehku. Tapi kenapa ketika dilafalkan Barra semua nampak jadi terasa berbeda?

***
Sefadia Krani
Malam ini juga aku merasa harus datang ke sana.
Kota kecil tempat semua kenangan masa kecil dan remaja kulewati. Aku tak ingat sudah berapa tahun tepatnya aku tak lagi mendatanginya. Mungkin beberapa bulan sebelum  pernikahanku? Itu artinya mungkin delapan tahun lalu?
Sementara kota yang kutinggali sekarang memang jauh dari kota itu. Aku sengaja memilihnya, dan Barra hanya setuju saja. Namun walau sejauh apa pun aku pergi, aku tak pernah benar-benar lepas dari kota itu, termasuk lepas dari sosok mama. Bagaimana pun sosok mama seperti ada di mana-mana. Televisi-televisi, koran-koran atau pun majalah-majalah. Semuanya seperti masih mengawasiku.

Maka esok harinya, kuberanikan diri membawa mobil ke kota lamaku. Aku tahu, ini suatu yang nekat. Terakhir kali aku datang, Barra menemaniku. Jadi aku hanya duduk diam di sampingnya, menghanyutkan diri sepanjang perjalanan.
Perjalanan panjang waktu itu kuingat sebagai perjalanan paling senyap di antara kami. Tak banyak perbincangan yang terjadi. Kami seperti sibuk dengan pikiran masing-masing, atau Barra sengaja membiarkan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Kali ini, kejadian serupa itu seperti terulang. Aku menjalani perjalanan ini tanpa satu kata pun yang terucap.

Pada akhirnya aku tiba juga di Sekolah Musik Kristalia Krani. Walau nyaris delapan tahun tak mendatanginya, gedung sekolah itu masih seperti dulu. Telaga buatan dan pohon-pohon tinggi masih terlihat mengelilingi gedung, dan rumah besar tempatku tumbuh. Namun anehnya, aku sepertinya tak merasakan perasaan rindu saat melihatnya. Aku hanya merasakan gedung itu mulai tampak pudar, sehingga terasa tua. Ditambah pohon-pohon besar yang ada di sekelilingnya juga tak lagi terasa hijau. Warnanya tak jauh berbeda seperti gedung itu: kusam.  Cerita Selanjutnya >>>>
 
***
Yudhi Herwibowo

 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?