Fiction
Serpihan Rien

30 Dec 2016


Rien menambahkan remasan sepuluh kuntum melati segar pada cacahan daun teh oolong di cangkirnya. Air mendidih yang dituangnya membuat aroma melati menguar. Kepulan asap tipis membubung, seolah menari di atas permukaan teh yang pekat. Rien mengangkat cangkirnya hati-hati, lalu menghidu uap teh melatinya dalam-dalam.
Di mejanya, bunga-bunga masih terbungkus kertas: krisan, aster dan anyelir. Perhatiannya tertuju pada secarik kertas dengan tulisan Ambar, asistennya yang lincah. Huruf-hurufnya tersusun rapi kecil-kecil: ‘Untuk Oma. Semoga lekas sembuh.
Pesanan bunga sepagi ini cukup membuatnya antusias. Mungkin nanti bisa ditambahkan mawar, pikir Rien.
Rien meletakkan cangkirnya tanpa suara. Efek tenang dari teh melatinya menjadi terganggu ketika Ambar tiba-tiba muncul dari balik partisi dan berjalan tergopoh ke mejanya.
Rien menggerutu dalam hati.
“Orang yang pesan itu minta bunga lily putih dimasukkan dalam rangkaian, Mbak.”
Rien membaca gerak bibir Ambar. Raut mukanya menunjukkan ketidaksetujuannya.
“Orangnya masih ada?”
Ambar menunjuk ke pintu. Rien lalu bangkit, berjalan keluar, dan mendapati laki-laki muda berpenampilan rapi duduk di sofa tamu.
Rien melirik secarik kertas dalam genggamannya. Ferdi namanya. Rien menaksir usianya tak lebih dari  tiga tujuh atau tiga delapan. Kelimis dengan jambul di ujung kepalanya.
Rien mengambil tempat duduk di hadapan laki-laki itu, lalu memaksakan senyumnya.
“Bunganya untuk orang sakit, ‘kan?”
Laki-laki di depannya terperangah, menatapnya lebih lama, lalu mengangguk. Bibirnya bergerak-gerak, namun Rien tak bisa mendengar jawabannya. Kepala Rien bergerak mendekat.
Orang itu mengulangi kata-katanya, kali ini lebih keras.
“Bisa saya bawa sekarang? Atau sore ini?”
“Bisa,” Rien berusaha mengatur  napasnya. Kadang-kadang ia merasa kesulitan berhadapan dengan orang baru. Laki-laki pula. Menerangkan makna bunga tak selalu semudah yang dipikirkannya.
“Tapi bunga lily tidak cocok untuk orang sakit.”
“Nenek saya suka bunga lily.” Alis laki-laki di hadapannya terangkat satu. “Lily putih.”
Lagi-lagi Rien menarik napas. Ternyata lebih mudah merangkai bunga daripada harus berhadapan dengan orang.
Lily putih artinya suci, murni. Ungkapan simpati. Lebih cocok untuk rangkaian bunga pernikahan atau rangkaian bunga duka.”
“Kalau begitu, bisa tolong buatkan rangkaian yang cocok?”
Rien menyanggupi. Dimintanya Ambar membawa bunga-bunga dan perlengkapan merangkai dari atas mejanya.
Di depan Ferdi, Rien memotong serong pangkal batang bunga-bunga bergerombol berwarna ungu. Disusunnya pada sebuah gerabah rotan berbadan rendah.
“Itu bunga apa, Mbak?”
“Krisan,” gumam Rien. “Keinginan dan harapan untuk sembuh.”
Tangan Rien terus bergerak, mengambil sejumput bunga lain berwarna pastel. Rien merapikan sebentar kelopaknya yang halus meruncing dan memisahkan beberapa kelopak yang belum sempurna.
“Yang ini aster. Maknanya kesabaran.”
Rangkaian bunga membentuk piramida. Rien melengkapinya dengan pita merah, setelah menambahkan batang-batang bunga berwarna putih kemerahan dan menyelipkan satu mawar putih di tengah.
“Mawar. Anyelir. Kasih sayang, kesehatan dan energi.”
Sebuah kartu ucapan disisipkan di antara batang-batang krisan yang jangkung. Rien bergerak mundur, memastikan rangkaian bunganya benar-benar membawa pesan menyenangkan bagi si sakit.
Tangan Rien menepuk-nepuk puas, lalu diangkatnya rangkaian itu dengan hati-hati.
“Semoga oma Anda lekas sembuh.”
Rien melepaskan diri dari mata Ferdi yang memandangnya lekat. Memaksakan senyum yang terasa hambar, lalu membiarkan Ferdi berlalu membawa rangkaian bunganya.
 
 
ADA MAS DONI DI DEPAN. Mata Mas Doni yang memelototi  tiap laki-laki yang masuk ke toko dan berinteraksi dengannya membuat Rien tak nyaman.
Rien memilih menyendiri di gudang, menyibukkan diri dengan ember-ember berisi potongan bunga mawar beraneka warna, anggrek dan lily yang baru datang.
Ia memeriksa dengan teliti tiap batang bunga sebelum membungkusnya dengan kertas khusus dan memasukkannya ke dalam lemari pendingin. Sesekali ia memeriksa catatan pesanan, memisahkan ember-ember berisi anggrek dan mawar putih untuk memenuhi pesanan salah satu wedding organizer rekanan Kuntum Florist miliknya sore ini.
Sambil bekerja, Rien mengulum melati.
Gerakan kasar di pintu gudang mengejutkannya. Kepala Mas Doni menyembul, menampakkan wajah yang masam.
“Ada orang cari kamu.”
Rien tak perlu membaca gerak bibir Mas Doni, suaranya sudah menggelegar. Malas-malasan Rien mengangkat kepalanya. “Siapa?”
Customer-lah. Siapa lagi.”
Rien merengut. “Kan Mas Doni bisa tanya namanya.”
“Ferdi.”
Rien terperangah. Orang yang kemarin?
“Bilang aku tak ada.”
“Jangan permainkan pelanggan,” Mas Doni menatapnya gusar. “Sepertinya dia mau komplain. Kamu bikin kesalahan apa lagi, sih?”
Komplain? Rien tak percaya. Ia bangkit, merapikan ujung roknya yang sedikit kusut dan berlipat. Langkahnya bergegas ke luar gudang.
“Hei!”
Teriakan Mas Doni menahannya. Rien memutar tubuhnya sedikit.
“Jangan kecentilan.”  Mas Doni memandangnya tajam.
Rien ingin protes, ujung bibirnya meruncing. Cuma merapikan rok bukan berarti ia centil. Tapi, Rien tak ingin berdebat. Tanpa menoleh lagi ia meninggalkan Doni.
Di depan, Ferdi sudah menunggunya. Jambul rambutnya tampak lebih kelimis daripada kemarin. Setelan kaus berwarna pastel dan denim membuatnya tampak lebih muda.
Buru-buru Rien membuang napas dan merutuki dirinya sendiri yang mengagumi penampilan Ferdi diam-diam.
Ferdi hanya memesan rangkaian bunga ulang tahun untuk kakak perempuannya. Sesuatu yang seharusnya bisa ditangani Mas Doni atau Ambar. Ditegurnya Ambar setelah mobil Ferdi menghilang di tikungan.
“Tadi sudah saya layani, Mbak,” Ambar membela diri. “Pak Ferdi itu yang maunya ketemu sama Mbak.”
Leher Rien terasa kaku. Ia bukan perempuan kemarin sore yang tidak bisa mengenali keanehan sikap Ferdi. Teh melatinya yang mulai dingin, dihabiskannya dalam tiga tegukan.
“Kalau lihat gayanya, kelihatannya dia naksir Mbak Rien, deh.”
Rien tersedak. Ditinggalkannya Ambar tanpa bersuara.
 
 
KALAU BUKAN karena permintaan Niken, Rien tak mau mengantar pesanan bunga ini. Tiga standing vas rangkaian bunga beserta satu papan ucapan selamat dipesan Niken untuk ulang tahun bosnya.
“Jangan lama-lama,” sungut Mas Doni. “Jaga diri, Rien. Tak semua yang tampak baik itu benar-benar baik.”
Uh. Pesan Mas Doni terdengar aneh. Mas Doni memang terlalu posesif. Rien hanya mengangkat bahu, lalu meminta Pak Maman lebih cepat menjalankan mobil pick up.
Rien terperanjat mendapati Ferdi ikut menyambutnya di tengah aula gedung kantor tempat Niken bekerja. Matanya lalu menuntut jawaban pada Niken yang tersenyum lebar.
“Ferdi kemarin rekomendasiin florist kamu, lho, Rien. Kupikir siapa, enggak tahunya punya teman sendiri.” Niken membawanya ke luar aula. “Ferdi bilang, kamu ahli bahasa bunga.”
Kata-kata Mas Doni tadi memenuhi kepalanya. Rien gelisah, ribuan kupu-kupu seperti mengerubuti perutnya. Kepalanya penuh dengan berbagai dugaan dan pertanyaan.
“Kamu masih ‘sendiri’  kan, Rien?”
Pertanyaan Niken mengusiknya. Ia tak siap.
“Ferdi masih bujang, lho.” Mata Niken bersinar. “Kayaknya dia naksir kamu.”
Rien memaksakan senyumnya, “Kamu alih profesi jadi makcomblang, Ken?”
Niken hanya terbahak.
Menit-menit berikutnya menjadi siksaan bagi Rien, menghindari pandangan Ferdi dan membuat jarak yang cukup agar Ferdi tak bisa mendekat. Rasanya lega sekali ketika mobil Pak Maman bergerak menjauhi gedung itu.
 
RIEN MENGGIGIL, lalu mengulum melatinya. Kata Ibu dulu, aroma melati bisa menenangkan hati. Namun terkadang bagi Rien, aroma melati bercampur air mata malah akan membangkitkan kepedihan. Dan saat ini, ia tak bisa menahan air matanya.
“Maafkan Bapak, Rien.”
Waktu itu Ibu mengusap kepalanya. Sesekali Ibu memijat pergelangan tangannya yang sedikit bengkak entah terkena apa. Hidung Ibu berair. Rien tahu, Ibu juga ‘sakit’.
“Bapak cuma khilaf, Rien.”
Ada air mata di senyum Ibu. Rien menahan isaknya, mencoba meraba luka hati Ibu yang pastinya lebih dalam.
Jangan bodoh, Rien! LARI!
Teriakan dan gedoran Mas Doni dari balik pintu seolah masih menyakiti telinganya. Rien hanya bisa menjerit ketika Mas Doni berhasil mendobrak pintu dan menghantam tengkuk Bapak hingga tersungkur.
“Dia tetap bapakmu, Nak.”
Ibu menyeduhkan teh melati untuknya. Hangat dan membius. Melatinya masih segar, dari pohon melati yang sengaja ditanam Ibu di samping rumah.
Jasad Bapak sudah dikubur. Beruntung Mas Doni tak ditangkap atau dipenjara. Darah di ujung pelipis dan telinga Rien akibat benturan di pinggir ranjang sudah mengering, tapi kepalanya masih terasa berat. Sesuatu yang ganjil masih terasa membebani pangkal pahanya.
Tangan Ibu menggenggam kembang-kembang melati. Dengan hati-hati Ibu melepaskan tangkainya satu-satu, dijejalinya satu demi satu ke mulut Rien. Tangan Ibu gemetar.
“Wangi melati akan mengobati jiwamu, Nak… Maafkan Bapak.”
Lalu dalam pelukan Ibu, Rien menumpahkan tangisnya.
 
 
ISI SMS NIKEN barusan dibacanya berulang-ulang.
‘Ferdi kan enggak salah apa-apa, Rien. Kenapa kamu menjauhinya?’
Rien mengembuskan napasnya kuat-kuat, lalu menggeleng. Tidak ada yang salah dengan Ferdi. Rien hanya takut. Tak semua orang bisa mengerti keadaannya.
Rien memasukkan lagi kepingan melati ke dalam mulutnya. Mengulumnya kuat-kuat. Hingga menyerpih, seperti luka hatinya. (f)
 
***

Neida Camelia

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:

http://www.femina.co.id/fiction/
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?