Fiction
Sedap Malam [3]

5 Nov 2016

Bagian 3 (tamat)
Kisah sebelumnya:
Lulus kuliah, Nayu kembali ke desanya, Desa Sunyi, yang terkenal dengan praktik kawin siri yang dilakukan para wanita sebagai jalan keluar dari kemiskinan. Nayu yang mencari nafkah dengan bertani bunga sedap malam, tak luput dari desakan pamannya untuk segera menikah. Keputusan Nayu untuk menolak kawin siri mendapat dukungan Airlangga, staf LSM yang berkarya di desanya. 
 
Nayu tidak sedikit pun berniat untuk menyela cerita Ibu. Dengan sabar, ia menunggu ibunya melanjutkan cerita. 
            “Bapakmu menolaknya. Lima belas menit setelah kepulangannya dari rumah Pakde Lilo, Bapak mulai kesakitan. Ia kesulitan menelan makanan, juga minuman. Seperti ada pecahan kaca yang mengiris-iris tenggorokannya. Bapakmu hanya bisa berguling kesakitan di lantai. Kau tidak bisa membayangkan rasa takut yang Ibu rasakan. Malam itu, kau sedang menginap di panti asuhan Elis. Ibu berlari menuju rumah Kyai Maksum di ujung desa. Menyadari apa yang terjadi, beliau segera datang ke rumah untuk menolong Bapak.”
            Ibu menyeka air mata yang mengalir. Sementara, Nayu merasakan dadanya sakit oleh penderitaan Ibu.
            “Bapak ingat, ia minum segelas kopi di rumah Pakde Lilo. Tentu saja kami tidak mempunyai bukti. Tapi, kejadian itu sudah cukup untuk mengeraskan hati Ibu. Bukan sekali saja Ibu menyaksikan hal seperti itu. Dulu, kakekmu, meninggal dengan gejala yang sama. Setelah sebelumnya meminum kopi yang disuguhkan oleh lelaki yang gemar bermain ilmu hitam itu, ayah dari Pakde Lilo. Keputusan Ibu sudah bulat. Ibu ingin bapakmu pergi dari desa Sunyi, dengan membawamu juga. Selamanya. Ibu tidak sanggup membayangkan jika harus kehilangan orang yang Ibu cintai dengan cara serupa itu lagi. Ibu tidak akan sanggup....”
            Nayu menggenggam telapak tangan Ibu erat. Hatinya seperti tercabik-cabik. Sungguh berat beban Ibu harus menyimpan semua cerita ini sendirian. Tak heran, pikiran ini menggerogoti kekuatan tubuh Ibu dari dalam. Sedikit-demi sedikit, menyerap seluruh tenaga dan semangat hidupnya, hingga kering bagai batang pohon yang meranggas.
            “Kini, kau pulang kembali ke desa Sunyi. Merintis kebun sedap malammu. Kau lajang. Cantik. Dengan usahamu yang terus berkembang cepat. Ibu sungguh mengkhawatirkanmu, Nayu.”
            Mata Nayu bertemu dengan sorot khawatir milik Ibu. Jauh di dalam hati Nayu, ia pun merasa gelisah. Tidak untuk dirinya. Tapi untuk pria itu.
Entah dimulai sejak kapan, hati dan pikirannya penuh terisi oleh Airlangga. 
Ia tidak bisa menghapus bayang-bayang pria itu dari kepalanya. Ia menikmati debar yang menyenangkan setiap memikirkannya. Ia mengingat dan mengulang setiap kata pria itu di dalam kesendiriannya. Ia menghafal nada tawa pria itu. Juga garis-garis wajahnya, meski tak sempurna, karena ia terlalu malu untuk menatap lama wajah Airlangga. Seperti ada embun dingin yang membasuh hati Nayu, saat perempuan itu menyadari, ia mencintai Airlangga.
 
Rasa
Nayu duduk menunggu di gazebo. Aroma sedap malam memayunginya dengan ketenangan. Matahari pelan merambat naik. Tawa para perempuan pekerja susul menyusul terbawa angin pagi.
Nayu memejamkan mata. Ia sugguh mencintai kebunnya. Pada setiap helai daun yang gemerisik tertiup angin. Juga setiap kuntum sedap malam yang menguarkan aroma manis. Berada di tempat ini, api kehidupan menyala terang di hatinya. Namun, Nayu merasakan api itu meredup cepat kini.
Dalam balasan pesan singkatnya, Airlangga berjanji akan datang ke kebun pagi ini. Dibutuhkan waktu tiga jam perjalanan dari kota tempatnya tinggal menuju desa Sunyi. Sudah hampir dua bulan pria itu berada di desa Sunyi. Selama itu, ia dan rekan-rekannya menyewa sebuah rumah warga sebagai tempat tinggal. Dan setiap akhir pekan, ia pulang ke kotanya.
Nayu mencoba menata hatinya. Ia berusaha memikirkan dan menata kata-kata yang tepat untuk diucapkan kepada Airlangga nanti. Tetapi, semakin dipikirkan, Nayu merasa sedih. Selama ini, perbincangan mereka adalah perbincangan yang hangat, spontan, dan manis. Bersama pria itu, kata-katanya mengalir begitu saja tanpa beban. Dan Nayu sungguh menikmati kedekatan itu, dan selamanya ingin tetap begitu.
Kini, dengan bayangan Pakde Lilo yang mungkin akan menyakiti pria yang ia cintai, seperti ada yang mencengkeram dan meremas hatinya kuat. Dan ia tak sanggup berdiam diri. Ia memilih tegak berjuang. Melawan dan melindungi sebisa yang ia mampu.
Di tengah kegelisahan yang bermain-main di hati dan pikiran Nayu, Airlangga hadir di hadapan perempuan itu. Senyumnya meluruhkan rindu yang, entah mengapa, terasa menyakitkan.
“Aku kemari secepat yang aku bisa. Pesanmu... membuatku sangat khawatir. Ada apa, Nayu?”
“Pakde Lilo.... Apakah ia menghubungi Mas Angga? Mengajak bertemu, mungkin?”
Airlangga mengerutkan keningnya. “Sebetulnya, aku baru saja mau bertanya padamu. Ya, ia meneleponku kemarin. Ada yang ingin ia bicarakan denganku di rumahnya nanti malam. Ada apa memangnya?”
“Jangan!” Nayu memucat. “Jangan datang ke sana, Mas Angga! Ya Tuhan, tolong jangan pergi.”
Nayu hampir tidak bisa menahan tangisannya. Airlangga dapat melihat gelombang kepanikan menguasai perempuan di hadapannya.
“Nayu...” Airlangga memanggil lembut. Suaranya teduh menenangkan. “Tolong ceritakan, ada apa sebenarnya?”
Sambil menahan isakannya, Nayu menceritakan semuanya. Di tengah ketakutan yang mencengkeramnya, ia tidak lagi malu menatap wajah Airlangga. Ia sungguh mengkhawatirkan pria itu.
Wajah Airlangga berubah muram. Garis wajahnya mengeras.
“Katakan padaku, Nayu, kau tidak akan menerima tawaran nikah siri dari pamanmu itu, kan?”
Nayu terperangah. “Tentu saja tidak! Tak perlu mengkhawatirkanku, Mas Angga. Aku justru sangat takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu. Pakde Lilo bukan orang baik. Ibuku saksinya. Tolong, jangan makan atau minum apa pun yang ia berikan. Pakde Lilo bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Kau adalah ancaman untuknya. Akan lebih baik... bila kau pergi saja dari desa ini, Mas Angga.”
Saat mengucapkan kalimat terakhir, suara Nayu melirih dan ia merasakan tubuhnya melemas. Perempuan itu tahu apa artinya bila Airlangga pergi meninggalkan desa Sunyi. Mereka tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Dan bayangan akan hal tersebut melukai dirinya teramat dalam, ternyata.
Mungkin, ia akan kehilangan satu-satunya kesempatan untuk menjalani impiannya. Menikah dengan pria yang ia cintai dan (ia harapkan juga) mencintainya. Impian sederhana yang tampak semakin jauh dan tak nyata. Mungkin, takdirnya sebagai perempuan desa Sunyi terlalu kuat untuk ia hindari. Mungkin, selamanya ia akan tetap sendiri dan sunyi.
“Bagaimana mungkin aku tidak mengkhawatirkanmu, Nayu!” suara Airlangga mengeras. “Hampir dua bulan aku berada di sini. Mengenalmu. Memahami apa yang kau pikirkan dan rasakan. Kaulah yang paling aku...” Airlangga tidak melanjutkan ucapannya. Tubuhnya bergetar. Pria itu seperti susah payah menahan diri untuk berhenti berbicara.
Mereka bertatapan dalam hening. Mata Nayu berembun. Entah bagaimana, mereka sama-sama mengerti tentang apa yang berkelindan di hati masing-masing. Tepat di saat perempuan itu siap mengeluarkan isi hatinya, Airlangga berucap cepat.
“Aku tidak akan apa-apa, Nayu. Percayalah! Bukankah, kita memiliki Tuhan bersama kita?”
Nayu terentak. Perempuan itu seperti tersadarkan akan satu hal penting. Ya, bukankah ia memiliki Tuhan yang tak akan membiarkannya sendirian. Yang akan berlari menyambutnya di saat ia bahkan hanya melangkah pelan mendekat. Mengapa ia seakan lupa dan buta?
Berlatar matahari yang semakin meninggi, wajah Airlangga semakin kukuh memenuhi ruang hatinya.
*
            Lalu, semuanya seakan bergerak cepat. Skenario Tuhan dalam kehidupan masing-masing hamba-Nya berjalan pasti.
Pakde Lilo menghilang dari desa Sunyi.
            Airlangga bahkan belum sempat bertemu dengannya, ketika berita itu menyebar seperti sumbu yang terbakar api.
            “Rumah Pakde Lilo didatangi sekumpulan warga dari desa tetangga. Mereka menuntut Pakde Lilo menjalani sumpah pocong,” Ibu menjelaskan sore itu.
            Nayu menatap ibunya, menuntut penjelasan.
            “Seorang pria di desa tetangga, mencurigai istrinya berselingkuh. Ia meyakini anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya. Suami itu menantang istrinya untuk melakukan sumpah pocong. Istrinya akhirnya mengakui perbuatannya dengan... Pakde Lilo. Sementara, pamanmu melarikan diri entah ke mana.”
             
*
            Nayu sedang merenungi tumpukan ikatan sedap malam yang meninggi di gazebonya, ketika Airlangga datang. Setelah mengucapkan salam, pria itu tersenyum menatap Nayu.
            “Apa kabarmu, Nayu?”
            “Baik, seperti biasa, Mas Angga.”
            Perempuan itu membalas senyuman Airlangga. Hampir dua minggu mereka tidak bertemu. Dan Nayu baru menyadari, rindu di dadanya seperti hampir meledak saja. Masalah yang datang menghampirinya silih berganti, memaksanya melupakan perasaannya sendiri.
            “Ada pembeli dari kota yang mau datang?” Airlangga ikut memperhatikan tumpukan sedap malam di hadapannya.
            Nayu menggeleng lemah.
            “Penjualan sedang menurun drastis. Hanya ada pembeli eceran untuk dijual di pasar atau perumahan. Aku bahkan masih memikirkan, hendak kuapakan bunga-bunga ini.”
            “Ada apa?” Airlangga terperanjat. Wajahnya tidak lepas menatap Nayu yang memilih duduk di pinggiran gazebo.
            “Hm... aku tak tahu. Tiba-tiba saja, dalam dua minggu terakhir, banyak testimoni tidak menyenangkan masuk ke website penjualan sedap malamku. Kebanyakan isinya keluhan dan, kadang, makian karena ketidakpuasan pembeli terhadap kualitas bunga, dan keterlambatan pengiriman. Kau tahu yang aneh? Aku bahkan tidak mengenali mereka! Mereka bukan pelangganku.”
            Airlangga mengerutkan keningnya dalam. “Sabotase?”
            “Mungkin. Para pekerjaku juga banyak mendengar kabar miring tentang usahaku ini. Berita tak benar yang terus berembus. Bahwa kebunku berdiri di atas tanah sengketa, dan aku tidak memiliki izin usaha. Bahkan, banyak hasutan dari orang bayaran tak dikenal, semacam preman, yang melarang membeli sedap malamku. Oh, Mas Angga, aku harus bagaimana?”  
            Nayu menggeleng-gelengkan kepala, lalu menunduk sedih. Jemarinya meremas-remas saputangan di pangkuannya.
            “Mengapa kau tidak cepat memberitahuku sebelumnya, Nayu?”
            Perempuan itu mendongakkan wajahnya.
            “Haruskah?” tanyanya diplomatis. “Aku hanyalah seorang asing untukmu, Mas Angga. Dan, aku tahu, sebentar lagi kau akan pergi meninggalkan desa Sunyi.”
            Airlangga mondar-mandir di hadapannya. Setelah beberapa saat, pria itu lalu berdiri tegak di hadapan Nayu.
            “Bagiku, kau bukanlah seorang asing, Nayu! Bagaimana mungkin seperti itu, sementara kau tak pernah ragu membantuku selama ini. Tidakkah kau bisa menduga, siapa yang melakukan itu semua?”
            “Beberapa hari yang lalu, Pak Browo menemuiku. Menanyakan lagi jawabanku atas tawarannya dulu. Katanya, mudah saja baginya untuk menghancurkan usahaku. Ia akan selalu mempunyai cara untuk melakukannya. Dan ia berharap aku bijaksana, hingga tidak perlu memaksanya berbuat hal itu.”
            “Sialan!” Airlangga berdesis sambil mengepalkan jemarinya. “Pria brengsek! Sungguh, ia pantas mendapatkan ucapan itu, Nayu.”
            Nayu mengatupkan wajahnya dengan dua telapak tangannya.
            “Kupikir, aku bisa berlari menghindari takdirku!”
            “Kau harus yakin, takdirmu bukan untuk menjalani kehidupan pernikahan siri, Nayu!”
            Nayu menentang mata Airlangga. Ada tekad di balik embun yang menutupi kornea matanya.
            “Aku mungkin akan berisiko mempermalukan diriku sendiri, Mas Angga. Tapi, akan aku ambil risiko itu.” Nayu menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. “Aku perempuan. Aku meyakini perasaanku. Yang, entah bagaimana, kuyakini juga kau rasakan. Kau telah memahami pikiranku. Impianku. Bahkan, mungkin juga, isi hatiku. Karenanya, aku ingin menawarkan sesuatu kepadamu. Bahkan, bila aku harus meninggalkan desa Sunyi, aku rela. Dengan  begitu, mungkin semua masalahku akan terurai. Tidak bisakah kau... mengisi takdirku? Berada di sisiku?”
            Aroma sedap malam mengambang di udara. Gemerisik rumpun sedap malam yang tertiup angin berangsur hening. Mereka saling menatap lama. Garis-garis ketegangan yang sebelumnya begitu nyata di wajah Airlangga, perlahan mengendur, berganti ekspresi luka.
            “Oh, Nayu, seandainya aku bisa!”
            Sesuatu yang tajam menyelinap di dalam hati Nayu. Menggores dalam, menimbulkan perih.
            “Tapi, aku tak mungkin mengingkari kata-kataku sendiri. Melakukan hal yang selama ini selalu kusarankan untuk kalian tinggalkan. Bagaimanapun juga kuingin....”
            Mulut Nayu terbuka, namun ia tak mampu mengeluarkan suara. Perlahan, perempuan itu mencoba mencerna ucapan Airlangga, dan tiba-tiba saja ia mengerti. Tubuhnya gigil oleh luka yang terasa semakin dalam di hatinya.
            Suara kendaraan roda empat yang berhenti di pinggir jalan mengalihkan pandangan keduanya. Seorang perempuan berjilbab hijau dengan rok bunga yang manis, turun dari mobil. Setelah menyalakan alarm mobilnya, ia berjalan memasuki area kebun. Sedikit menoleh ke kanan dan kiri, perempuan itu tersenyum cerah saat mendapati Airlangga yang berdiri di dekat gazebo melambaikan tangan kepadanya.
            “Itu Riris. Istriku. Ia datang untuk menjemputku. Ia ingin sekali melihat kebun sedap malam ini dan bertemu denganmu, Nayu....”
            Kali ini, matahari yang semakin meninggi, sungguh terasa membakar kulit Nayu.
*
Hari yang Baru
            Ibu berdiri di samping sepeda motor Nayu. Tangannya memegang sebuah kantong plastik berisi kotak karton untuk diserahkan kepada Nayu.
            “Hati-hati membawanya. Ini bolu pisang kesukaan Elis. Sampaikan salam Ibu untuknya.”
            Nayu tersenyum sambil mengaitkan kantong plastik itu di setang sepeda motor Nayu.
            “Beruntungnya Elis! Padahal Ibu sudah lama sekali tidak membuatkan kue sarang semut kesukaanku!”
            Ibu hanya menepuk pipi Nayu sambil tersenyum. Betapa bahagianya Nayu melihat wajah Ibu yang merona segar. Perempuan itu selalu berharap Ibu tetap sehat, dan mereka bisa menjalani hidup dengan bahagia.
            Setelah Ibu masuk kembali ke dalam rumah, Nayu baru menjalankan motornya menuju rumah Elis. Di sana, Elis sudah menunggu dan langsung menyambutnya dengan senyum cerah. Tangannya masih memegang sapu lidi yang digunakannya untuk menyapu daun-daun pohon jambu biji yang gugur. Ia menghampiri Nayu dengan langkah lambat karena beban perutnya yang besar.
            “Kau akan pergi ke kebunmu?” sapa Elis sambil mengelus perutnya perlahan.
            “Iya, bumil! Ada seseorang yang ingin bertemu denganku di sana. Ia sudah membuat janji denganku semalam. Doakan, ini akan menjadi pembuka jalanku yang baru,” ujar Nayu sambil menyerahkan kantong plastik berisi kotak bolu pisang kepada Elis. Sepupunya itu menerimanya dengan wajah senang.
 “Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Nayu. Kau pantas mendapatkannya, setelah kerja kerasmu selama ini.”
            Nayu tersenyum sambil ikut mengelus perut Elis lembut. Satu lagi takdir yang harus dijalani Elis. Menjadi ibu, sekaligus ayah, untuk anaknya kelak. Suaminya meninggalkannya di saat usia pernikahan mereka baru tiga bulan. Pria itu kembali ke negara asalnya, dan menceraikan Elis. Tanpa tahu Elis telah mengandung anaknya. Tanpa meninggalkan apa pun sebagai jalan penghubung, kecuali janin di rahim perempuan itu.
            “Kau tidak tertarik membantuku di kebun?” Nayu menatap Elis serius.
            Elis menggeleng. “Tidak, Nayu. Sejak awal aku sudah berniat meneruskan usaha warungku di rumah. Dan kau tahu, Bu Haji Rifda menyukai lukisan bordirku! Banyak pelanggannya yang memesan khusus bahan dengan lukisanku darinya. Kupikir, akhirnya aku menemukan satu jalan terang yang paling tepat untukku. Aku akan menekuni pekerjaan melukis bordir, Nayu.” 
            Mata Nayu berembun. Perempuan itu begitu bersyukur hingga suaranya serak.
“Aku ikut senang, Elis. Sungguh! Aku tahu, pekerjaan itu sangat cocok untukmu. Kau mencintai gambar sejak dulu.”
Begitulah takdir kehidupan. Mereka saling menatap sambil tersenyum. Getir, namun tetap menyimpan harapan.
Dalam perjalanannya menuju kebun, Nayu memikirkan hidupnya selama enam bulan terakhir. Sepeninggal Airlangga, ia berusaha bangkit. Tidak membiarkan dirinya larut dalam kesedihan. (Hanya Tuhan yang tahu seberapa sulit dan keras usaha yang dikerahkannya untuk menyelamatkan hidupnya. Juga luka hatinya.)
Nayu bergerak ke kota-kota terdekat, mencari dan menghubungi mereka yang memiliki usaha salon dan wedding organizer. Ia membawa contoh sedap malamnya, dan menawarkan kerja sama dengan mereka dengan harga yang bersaing. Ia juga membuat website baru untuk usaha sedap malamnya. Selain itu, ia menghubungi teman-teman sekolahnya dulu, yang banyak bermukim di Surabaya dan Malang. Perempuan itu mencoba lagi dari awal membuka jaringan baru. Hingga perlahan, usaha sedap malamnya mulai menggeliat kembali.
Kabar miring yang sebelumnya menyebar cepat, juga menghilang terbawa angin desa Sunyi yang kering. Satu per satu, pelanggan dari desa tetangga di kota dan kabupaten kembali menghubungi Nayu. Mungkin, sama seperti Nayu, mereka sudah telanjur jatuh cinta pada sedap malam perempuan itu.
Dan, berita terakhir yang Nayu dengar tentang Pak Browo, ia dimutasikan ke daerah yang jauh. Dua orang perempuan datang ke kantornya, menuntut pertanggungjawabannya atas janin di rahim mereka. Terkadang, ucapan Airlangga kembali terngiang di telinga perempuan itu.
Bukankah, kita memiliki Tuhan bersama kita?
Di saat seperti ini, ingatan tentang Airlangga adalah ingatan yang manis. Serupa secangkir teh hangat yang ia nikmati di beranda saat pagi hari. Perlahan, Nayu mulai bisa berdamai dengan masa lalu. Menjadikan bayang-bayang Airlangga tetap tersimpan di ruang hatinya yang terkunci. Yang sesekali ia tengok, hanya untuk mengenang manisnya rasa yang pernah menguasai hatinya. Sementara, ia telah bertekad, luka cukuplah dikenang dengan senyuman. Bukan penyesalan.
Pagi ini, ketika Nayu sudah berada di kebun dan menatap barisan rumpun sedap malamnya, ia tersenyum lega. Mungkin, dalam hidupnya, ia pernah kehilangan banyak hal. Orang tua yang utuh, pengakuan garis keturunan yang sah, dan juga cinta.  Tapi, mungkin, sesungguhnya ia tidak pernah kehilangan apa-apa. Karena Tuhan melimpahinya dengan banyak cinta yang lain.
Seorang pekerja menghampirinya, memberitahu bahwa Sang Tamu sudah datang sejak pagi dan menunggu perempuan itu sambil berjalan-jalan di kebun. Nayu mengerutkan kening, merasa sedikit aneh.
Perempuan itu berjalan masuk ke dalam rumpun sedap malam yang tinggi. Nayu menggerutu dalam hati, memikirkan tamunya bisa berada di mana saja, di setiap sisi kebun yang luas itu. Dengan cepat dikirimnya pesan, mengabarkan dirinya telah sampai. Jam di ponselnya menunjukkan kalau ia sama sekali belum terlambat. Masih ada waktu 15 menit sebelum janji pertemuan mereka.
“Maaf, Anda Nayu?”
Seorang pria tiba-tiba keluar dari jalan setapak yang membelah rumpun sedap malam di samping kanan Nayu.
Nayu menatap pria itu waspada. Matanya dengan cepat mengamati, sekaligus menilai, pria di hadapannya.
Pria itu tinggi, muda, dengan kacamata yang menggantung di hidungnya. Wajahnya terlihat serius, tanpa senyum.
“Ya, saya Nayu. Dan Anda...”
“Fari,” pria itu memotong cepat. “Saya yang menghubungi Anda semalam.”
Nayu gelisah. Betapa formalnya pria itu, membuatnya merasa kaku dan sedikit tidak nyaman.
“Berapa Anda jual sedap malam Anda per tangkainya?” pria itu menatap Nayu serius.
“Saat ini?” Nayu balas bertanya. “Dua ribu rupiah.”
“Mahal! Saya bisa mendapatkan harga Rp1000 di desa sebelah.”
Nayu mengedikkan bahu. “Sekarang menjelang bulan suci. Harga cenderung naik. Mendekati hari raya, saya biasa menjual Rp3000 per tangkainya. Dan Anda bisa membandingkan sendiri kualitas sedap malam saya dengan yang lain.”
Pria itu mengerutkan kening, sambil menyentuh tangkai sedap malam di dekatnya.
“Anda bisa membeli bunga saya seharga Rp500 di hari-hari biasa,” ujar Nayu tenang. Matanya masih mengamati pria itu, sambil mereka-reka, akankah ia menjadi pembeli potensial untuk seterusnya.
“Maaf Mas Fari, Anda datang dari Malang?”
Pria itu mengangguk lambat-lambat.
“Kalau boleh saya tahu, dari mana Anda mendapatkan alamat kebun saya ini? Website-kah?”
“Bukan. Seorang teman.”
Nayu mengangguk maklum. Sedikit sulit menebak apa yang pria itu pikirkan.
“Anda tahu, bunga sedap malam yang nama latinnya Polianthes tuberosa berasal dari Meksiko, dan di luar negeri ia dijuluki dangerous pleasure?”
Kepala Nayu terentak mendengar kata-kata pria itu. Tanpa sadar, perempuan itu menggigit bibir bawahnya.
“Saya mempunyai usaha toko bunga potong dan bunga hias di Malang. Beberapa bulan yang lalu, seorang teman lama merekomendasikan nama Anda sebagai pengusaha bunga sedap malam terbaik di Pasuruan. Saya tidak tahu apa alasannya menambahkan embel-embel ‘terbaik’ itu. Tapi, ia bercerita, sedap malam Anda telah meracuninya. Membuatnya melupakan kehidupannya di kota besar, dan jatuh cinta pada kehidupan desa kecil yang kering. Saya berkata padanya, kalau sedap malam Anda mampu meracuni saya juga, saya akan menjadikan Anda pemasok tunggal sedap malam untuk toko saya. Saya membutuhkan sekitar tujuh ribu batang sedap malam setiap bulannya. Apa Anda sanggup memenuhinya?”
Nayu gemetar menahan perasaannya. Jadi pria itu teman Airlangga. Dan Airlangga yang mengirimnya ke sini. Untuk sementara, perempuan itu tidak tahu harus berkata apa.
“Apakah saat ini Anda sedang teracuni, Mas Fari?” tanya Nayu akhirnya.
Pria di hadapannya seperti menahan tawa, dan ia berhasil melakukannya tepat pada waktunya. 
“Saya belum yakin. Mungkin saja.”
Nayu menarik sebatang sedap malam di dekatnya, lalu menyerahkannya kepada pria itu. Satu sudut kecil hatinya ingin memastikan sesuatu.
“Tolong tanyakan kepada istri Anda, apakah ia menyukai sedap malam saya. Biasanya penilaian seorang perempuan lebih obyektif.”
Pria itu mengambil sedap malam dari tangan Nayu.
“Maaf, tapi saya lajang.”
“Kekasih Anda, mungkin?”
Wajah pria itu memerah. “Belum ada,” ia menjawab singkat.
Udara dipenuhi dengan aroma sedap malam yang manis. Nayu lalu tersenyum, sedikit malu. (f)

***

Yulina Trihaningsih
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?