Fiction
Rahasia Terbesar Jo

15 Oct 2016

























 
KUPANDANGI SOSOKNYA yang tinggi kurus bercokol di pintu masuk ruang perawatan Ibu. Mataku melekat tajam ke wajahnya yang tertunduk. Kemarahanku tersirap seketika. Kuhampiri dia dan kudorong keluar ruangan, lalu pintu ruangan itu kututup pelan-pelan dari luar. Kini aku berdiri berhadap-hadapan dengan dia, adik laki-lakiku satu-satunya, tapi orang yang paling asing bagiku.
            “Masih berani kau datang ke sini?” tanyaku dengan nada tajam.
            “Bagaimana keadaan Ibu?”
            “Tidak perlu berpura-pura menanyakan Ibu. Mana cincinku?”
            Tiba-tiba saja Soni datang. Dengan setengah berlari, dia menghampiri kami. “Jonathan... kapan kau datang? Ke mana saja selama ini?”
            Aku mendelik dan segera menyahuti Soni, “Masih sempat kau tanya dia ke mana? Kenapa tidak kau tanyakan di mana cincin pernikahan kita yang dicurinya?”
            “Tahan emosimu, jangan sampai ibumu terbangun.”
            Kutarik napas panjang. “Tapi, pernikahan kita tinggal sebulan lagi, Son. Dari mana kita dapatkan uang untuk menggantinya?”
            “Aku bisa mengusahakannya. Kau tidak perlu risau, Ver.”
            “Kau sama seperti Ibu, selalu memihaknya. Jika tidak juga dikembalikannya cincin itu, akan kulaporkan dia ke pihak berwajib!” ancamku sebelum pergi, mengikuti ke mana langkah membawaku.
            Senak hatiku berdebat dengan Soni. Sama  senaknya jika aku berdebat dengan Ibu mengenai Jo, panggilan sehari-hari Jonathan. Sejauh apa pun Jo menyimpang, tetap mereka membelanya, layaknya dua malaikat berhati baik yang selalu menjaga Jo.
            Dulu Jo tidak seperti ini. Saat Ayah meninggal, barulah perangainya berubah. Kala itu aku masih berusia sembilan belas tahun dan Jo berusia tujuh belas tahun. Cara bicara Jo menjadi sangat ketus kepadaku dan Ibu.
Suatu hari, ibuku dipanggil oleh pembimbing akademis di universitas Jo berkuliah. Beliau mengatakan bahwa Jo tidak dapat menyelesaikan persyaratan minimum jumlah SKS (sistem kredit semester) di tiga semester pertama. Dan, jika ini berlanjut hingga semester keempat, maka Jo akan dikeluarkan.
            Jo melakukan pembelaan atas ucapan pembimbing akademisnya. Dia berkilah bahwa dia tak dapat menikmati kuliahnya. “Aku ingin pindah jurusan di universitas yang berbeda,” begitu katanya. Kularang Ibu untuk tidak menuruti permintaannya, tapi ucapanku tidak didengarkan Ibu. Jo tetap dipindahkan ke universitas lain.
            Dua tahun kemudian, apa yang kutakutkan terjadi. Lagi-lagi Ibu dipanggil oleh pihak universitas tempat Jo kuliah. Bayang-bayang drop out Jo menjadi tema pertemuan itu. Masih segar di ingatanku bagaimana sendunya wajah Ibu sepulangnya dari universitas. Namun, tidak banyak yang bisa kulakukan. Tiap kali kusarankan untuk memberi hukuman pada Jo, ibu selalu menolak.
            Tak lama berselang, Jo meminta pada ibu agar diberikan modal bagi usaha jualan sepatu yang ingin dirintisnya. Tak tanggung-tanggung, uang yang dimintanya bernilai ratusan juta. Aku marah sekali saat ibu kembali mengabulkan permintaannya.
            “Mau berapa banyak lagi harta kita yang habis karena Jo, Bu? Dia hanya memanfaatkan kebaikan Ibu saja.”
            “Kau tidak pantas berkata seperti itu, Vera. Ibu sudah cukup terpukul dengan kegagalan Jo di masa lalu. Kegagalannya adalah kegagalan Ibu juga. Kalau sekarang dia ingin berubah, apa salahnya jika Ibu dukung?”
            “Ibu bisa menjamin kalau kali ini dia benar-benar bisa berubah, bukan hanya omong kosong seperti yang lalu?”
            Tak ada jawaban, ibu diam terpaku.
“Apa pun yang aku katakan pasti tidak akan merubah keputusan Ibu. Terserah Ibu. Aku hanya ingin memperingatkan. Jangan sampai Ibu menyesal jika suatu saat Jo menjadi penjahat karena pola didik ibu yang seperti ini,” ujarku dengan lantang.
Sebulir air mata mengalir di pipi kiri ibu. Aku tertegun, tak tahu harus berbuat apa. Aku jadi merasa menyesal sekali telah berkata kasar pada ibu. Namun kutahan perasaan itu, kubulatkan hati untuk meninggalkan ibu sendirian di rumah. Aku harus tegas pada ibu supaya ibu juga bisa bertindak tegas pada Jo.
Tangisku tumpah di hadapan Soni, lelaki yang telah mengencaniku selama dua tahun. Kuceritakan pertengkaranku dengan Ibu. Kuceritakan betapa aku tidak habis pikir dengan sikap Ibu yang selalu memaafkan dan menuruti Jo.
“Aku yakin pasti ada alasan kuat di balik sikap Ibumu itu. Percayalah, Ibumu pasti tidak main-main mau berkorban sedemikian besar untuk Jo.”
“Tapi apa Son? Apa?”
“Entahlah, tapi aku sangat yakin kalau Ibumu bukan tipe orang yang gegabah dalam mengambil keputusan,” ujar Soni sambil membelai lembut rambutku.
 
 
            HARTA KELUARGAKU terus menerus terkuras oleh Jo. Setelah usaha jualan sepatunya bangkrut, dia tidak berhenti meminta ini dan itu pada ibu. Dia juga kerap tidak pulang ke rumah. Entah apa yang dia lakukan di luar sana. Jika ditanya, hanya dijawab sekenanya. Yang miris, dia bahkan beberapa kali mencuri barang-barang dari rumah, seperti perhiasanku dan ibu. Aku sangat ingin melaporkannya ke polisi, tapi ibu melarangku, pintu maafnya selalu terlalu terbuka untuk Jo.
            Lima tahun sejak kepergian ayah, ibu mulai sakit-sakitan. Padahal ibu adalah wanita yang sangat menjaga kesehatan. Batin Ibu pasti sangat sakit memikirkan Jo, anak yang selalu diharap-harapkan akan berubah namun tak kunjung menjadi baik.    Melihat Ibu tergeletak lemah berbulan-bulan, tak sanggup hatiku menyalahkannya. Walau kutahu, hal ini tidak akan terjadi jika ibu bisa bersikap tegas pada Jo sejak dulu. Aku terus bekerja dengan giat, berharap pundi-pundiku tetap terisi agar bisa membiayai pengobatan ibu. Bahkan di akhir pekan, aku juga bekerja sampingan sebagai guru privat beberapa anak SMP. Bagiku, ibu adalah segalanya. Aku tidak peduli kalau tak ada waktu lagi untuk memanjakan diri. Hiburan serta dukungan dari Soni sudah cukup melipur laraku.
            Syukurlah penyakit Ibu berangsur-angsur sembuh. Momen-momen aku merawat ibu rupanya telah mengubah pendiriannya. Karena tidak ingin melihat putrinya letih bekerja dan merawatnya lagi, ibu memutuskan untuk berhenti memanjakan Jo. Sekuat tenaga ibu berusaha tidak khawatir bila Jo lama tidak pulang ke rumah apabila permintaanya tidak dituruti.
            Aku senang dengan perubahan sikap ibu. Pasti menyakitkan baginya. Tapi aku yakin itu hanya di awal saja, lama kelamaan ibu akan terbiasa. Semua demi kebaikan Jo. Dia sudah berumur dua puluh dua tahun, bukan anak kecil lagi. Orang seusianya sudah harus belajar menerima kenyataan bahwa hidup ini tidak semudah yang dipikirkan. Tak bisa selamanya dia menggantungkan nasib pada ibu.
            Soni dan aku menetapkan hati untuk menikah. Pertemuan keluarga sudah dilaksanakan. Kesepakatan mengenai tanggal pernikahan juga telah ditetapkan. Lantas kami mulai disibukkan dengan berbagai persiapan pernikahan.
            Cukup lama Jo tidak bertingkah, mungkin sekitar enam bulan. Dia memang masih sering tidak pulang ke rumah, tapi tidak lagi mencuri barang-barang di rumah. Aku bersyukur. Setidaknya beban persiapan pernikahanku tidak terganggu olehnya. Namun rupanya hal ini tidak berlangsung lama. Sebulan menjelang hari pernikahanku, Jo mencuri cincin pernikahanku dan Soni yang memang sengaja ditaruh di rumahku karena sifat Soni yang pelupa.
            Sebenarnya aku sudah sangat berhati-hati menyimpan cincin itu. Namun entah bagaimana, Jo mengetahui tempat aku menyembunyikannya. Aku tak langsung menyadari hilangnya cincin itu. Sampai suatu hari, saat Jo sudah tiga minggu tidak pulang ke rumah dan tidak bisa kuhubungi, segera kuperiksa koper di atas lemari pakaianku. Cincin itu tak ada lagi di dalamnya, hilang bersama dengan kotaknya. Padahal koper itu memakai kunci kombinasi angka dan hanya aku sendiri yang mengetahui kombinasinya.
            Aku sangat terpukul dengan kejadian itu. Ibu lebih terpukul lagi. Ibu pingsan karena terlalu syok. Segera kubawa ibu ke rumah sakit. Rupanya tekanan darah ibu meningkat tajam. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa penyakit Ibu disebabkan oleh stres. Tak dapat lagi kubendung amarahku pada Jo. Aku berjanji akan menyeretnya ke penjara jika dia tidak bisa mengembalikan cincin pernikahanku. Akan kucari dia ke mana pun.
 
 
            Drrrttt...drrrttt...
            Ponselku bergetar setelah beberapa lama aku menenangkan diri di salah satu sudut taman rumah sakit.
            “Ya?”
            “Kau di mana, Ver?” tanya Soni di seberang.
            “Di taman rumah sakit.”
            “Cepatlah kembali ke sini.”
            “Ibu sudah bangun? Dia tahu kalau Jo datang? Ibu baik-baik saja?”
            “Iya, Ibumu baik-baik saja. Cepatlah ke sini.”
            “Baik.”
            Kuakhiri pembicaraan dengan Soni lalu bergegas ke kamar perawatan Ibu. Aku sungguh penasaran apakah ibu benar baik-baik saja seperti yang dikatakan Soni. Sesampainya di kamar perawatan ibu, kulihat tas pakaian Ibu dan semua peralatan yang kami bawa dari rumah telah tersusun rapi di meja. Jo duduk di antara ibu dan Soni.
            “Dokter sudah memperbolehkan Ibu pulang, seperti yang dokter katakan kemarin. Dan aku sudah mengurus semua administrasi rumah sakit,” ujar Soni sambil mengangkat beberapa lembar kertas yang sedari tadi digenggamnya.
            Aku diam saja. Hatiku masih panas melihat wajah Jo. Tapi aku juga tidak mau membuat kegaduhan di depan Ibu. Aku membantu memapah Ibu ke luar ruangan. Soni dan Jo membawa semua perlengkapan Ibu.
 
 
            KAMI TIDAK LANGSUNG PULANG. Ibu meminta Soni untuk mengarahkan laju mobilnya ke tempat pemakaman ayah. Namun baru beberapa meter memasuki pemakaman itu, ibu menghentikan langkahnya.
            “Ibu, kenapa berhenti? Ibu lemas?” tanyaku sambil terus memapah ibu.
            “Tidak, Ibu berhenti karena kita sudah sampai,” jawab ibu sambil menunjuk sebuah makam. Di atas makam itu terpampang sebuah nisan berukirkan nama Levina Saraswati, dengan tanggal meninggal yang sama dengan tanggal kelahiran Jo.
            Ibu menarik napas panjang. “Ini makam Ibu kandungmu, Jo...,” kata ibu lirih.
            Aku terkejut bukan main. Apa maksud Ibu?
            “Ibu tahu kau benci pada Ibu karena kau sudah tahu kebenaran tentang dirimu. Maafkan Ibu... Ibu memang telah berdosa menjadi madu Ibumu. Di hari dia akan melahirkanmu, ibumu mengetahui perselingkuhan antara ibu dan ayah kalian. Batinnya tidak cukup kuat menanggung kesedihan, dia meninggal sesaat setelah melahirkanmu. Itu adalah dosa terbesar yang pernah Ibu lakukan. Oleh karena itu, ibu selalu menuruti semua permintaanmu karena ibu menganggap harus membalas dosa ibu. Tapi dengan mencuri cincin pernikahan Vera, kau sudah keterlaluan, Jo. Ibumu pasti sedih melihatmu seperti ini.”
            Jantungku berdegup kencang mendengar ucapan Ibu. “Jadi maksud Ibu...aku dan Jo...”
            “Ya, kau dan Jo saudara satu ayah namun beda ibu,” ujar Ibu memotong pertanyaanku yang tersendat. “Maafkan Ibu karena telah merahasiakan hal ini kepada kalian. Maafkan Ibu... Ibu sangat berdosa....” Tangis Ibu mulai berderai.
            Mataku terasa panas, tenggorokanku pun rasanya seperti tercekik. Kulirik Jo yang tengah menatap nanar makam ibu kandungnya. Hatiku terenyuh, iba melihatnya. Aku memang tidak ingat semua yang diceritakan Ibu karena usiaku dan Jo hanya terpaut dua tahun. Namun aku bisa merasakan betapa sakitnya Jo menahan kesedihan seorang diri, menahan kebencian akan masa lalunya pada Ibu dan juga mungkin padaku, anak hasil perselingkuhan ayah dan ibu. Tanpa pikir panjang, kupeluk Jo dengan erat. Tangis kami meledak.
            “Maafkan aku, Jo. Maafkan aku karena telah membiarkanmu sendirian menahan sakit hati. Maafkan semua kata-kataku.”
            Jo terus menangis tersedak-sedak di bahuku. Dia tampak seperti Jo kecil yang dulu sering mengadu dan menangis padaku jika ada orang yang menyakitinya. Ah, tiba-tiba saja aku merindukan masa kecil kami yang kompak dan harmonis.
            “Aku yang seharusnya minta maaf,” ujar Jo sambil melepaskan pelukanku dan menghampiri Ibu. Kedua tangannya dirangkulkan mengelilingi bahu Ibu. “Maafkan aku, Bu. Aku sudah menyusahkan Ibu. Awalnya aku memang ingin membalas dendam pada Ibu dan Vera. Aku ingin membuat hidup kalian tidak nyaman. Namun semakin kusakiti kalian, aku semakin merasa sakit. Maafkan Jo...”
            Senyuman kecil merekah di kedua sudut bibirku. Sepertinya aku sudah menemukan kembali adikku, Jo. Rahasia yang disimpannya selama ini, tidak lagi ditanggungnya seorang diri. Ibu dan aku akan memulihkan hatinya bersama-sama. (f)

***

Helen Rumiris


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?