Fiction
Perempuan Ikan Bolu

28 Nov 2015


PADA MALAM-MALAM tertentu saya kerap bermimpi mengarungi laut. Ketika terjaga di pagi hari, keletihan merubung sekira sendi-sendi tubuh. Saat mencoba membenderangkan kesadaran, saya selalu tak berhasil mengingat apakah persisnya saya dalam mimpi itu. Kadang saya merasa ikan, kadang pula saya serupa nelayan.

    Pada malam-malam lain saya bermimpi menjadi tukang pos. Apa rasanya menjadi tukang pos? Kata Same’, setelah Tuhan dan malaikat, tukang pos adalah sosok ketiga yang tahu dengan segera ke mana kabar dialamatkan.
“Tapi kebanyakan tukang pos membawa kabar asin. Kabar duka, berbagai tagihan, dan jika kau beruntung, panggilan dari sekolah karena anakmu menganiaya anak lain.”

    Kami bertiga adalah perempuan yang ditinggal suami-suami kami. Tanpa anak. Saya selalu percaya ini kebetulan. Bukan takdir! Di sebuah kampung yang hangat oleh angin pesisir, saya, Tante Mardiah dan Tante Samriah—Mare’ dan Same’, hidup bergumul.
    Ambo’-ku  adalah saudara bungsu Mare’ dan Same’. Pada usia 16 aku menikah. Saat itu Ambo’ sekarat karena kanker prostat. Di akhir hidupnya, Ambo’ ingin melihatku bahagia. Mare’ tahu, sukacita yang pucuk seorang ambo’ pada putrinya adalah kehadiran seorang laki-laki yang dapat melindungi dan mengayomi.

    Mare’ mengajukan anak saudari karibnya yang telah dianggapnya anak. Bagi Mare’, perempuan adalah penawar racun di kepala laki-laki. Tetapi Mare’ salah, dan Same’ yang benar. Mare’ sejak mula menyangkaki. “Laki-laki itu kumbang. Akan pergi setelah mengisap madumu,” sengatnya.

Hingga tahun kedua aku belum dikaruniai anak. Suamiku resah. Pun kami kerap berbantah, terutama soal dirinya yang tak punya pekerjaan tetap. Biasanya pada puncak kesal, kucomelkan padanya, “Jangankan anak, kau bahkan tak bisa memberikanku uang bulanan.”
Hatta, ketika aku murka, kuteriakkan padanya, “Saya tak peduli dan tak akan tahu, ‘kan? Jika pun kau harus memberiku uang dari hasil berjudi! Setidaknya kau berusaha! Tidak cukupkah dirimu mandul memberiku anak?”

Suamiku bungkam dan berlalu. Sececah waktu bersilih, dia meninggalkan rumah, minggat dari kampung tanpa jejak. Lewat setengah tahun ada kabar dari karibnya jika dia bekerja di Malaysia. Kudengar pula desas-desus, dia telah berkeluarga.

Aku tak acuh. Aku ingin mendengar kabar langsung darinya. Apakah kau menikah dan memiliki anak? Lantas siapakah yang lebih kau pilih? Dia yang telah memberi keturunan atau saya yang kau beri luka dan pergi, namun masih berharap padamu? Kalaupun kau memilih kembali karena iba padaku yang kesepian, aku tak peduli. Kembali sajalah.
Mare’ yang bijak berujar, “Kata orang dulu, prahara dalam perkawinan itu persis bongkah-bongkah garam. Betapapun itu asin dan beku jutaan kali, laut sebagai sumbernya tak bakal kerontang, itu adalah genangan biru yang sebam, dalam, dan indah. Seperti seharusnya genangan cinta yang dalam dan hangat mendasari sebuah ikatan. Seyogianya itu tak burai hanya karena kalian pernah saling melukai.”

    “Bagaimana dengan perjodohan?” tanyaku.
    Same’ menyeletuk, “Kau tahu ada yang disebut dengan danau buatan, atau pengerukan pantai? Mungkin seperti itulah. Kau butuh usaha dan keajaiban untuk membuatnya indah dan dalam. Tapi tak ada yang benar-benar ajaib dalam urusan cinta. Segalanya bisa terjadi. Kurasa urusan cinta itu tidak bisa disederhanakan dengan apa pun.”


SUAMI SAME’ SEORANG PELAUT, 30 tahun lampau kapalnya kehilangan kontak di Selat Malaka. Bahteranya dikabarkan karam, namun puingnya tak pernah ditemukan. Pernah beberapa kali ia beroleh kabar suaminya terlihat di Singapura. Di Surabaya, seorang sepupu melihatnya bekerja di sebuah bengkel. Namun, kabar-kabar itu tak pernah terang, lalu meredup, dan dilupakan.

Di sela obrolannya sehari-hari di beranda rumah, Same’ selalu menyelipkan nostalgia tentang sang kapten: suaminya lulusan terbaik pada angkatan pertama di akademi pelayaran di kota kami. Sang suami pernah menyelamatkan langsung kapal yang diawakinya dari perompak Somalia. Atas keberaniannya itulah ia mendapat kenaikan pangkat menjadi kapten.

“Banyak yang bilang pelaut itu mata keranjang. Mungkin tidak semua. Tapi pamanmu begitu. Kurasa,  tiap dia berlabuh, maka sebegitu pula perempuan yang disinggahinya. Dia tampan, ada uang, apa lagi?” celotehnya.
“Ada ungkapan yang bilang, kau hanya memiliki suamimu saat dia di rumah. Saat keluar dari rumah, suamimu bukan milikmu lagi. Itu sebenarnya adalah muslihat yang diciptakan laki-laki. Licik, ‘kan?”
    Mare’ adalah gambaran terbalik dari adiknya. Dia menantikan suaminya dengan sabar di bilik dapur. Kendati tak pernah mengungkap, dialah yang kerap menerbitkan harapan, bahwa  tiap penantian adalah ibadah. Menunggu adalah doa.

    “Ketika kau menunggu, batinmu menyusun lembar-lembar harapan. Betapapun kau tak melafaz dan merapal permohonan, saya percaya alam mendengarnya. Kau tahu kan, alam adalah telinga Tuhan, saksi bagi-Nya. Tuhan tak akan tega melihat hamba-Nya didera derita oleh penantian panjang. Dia pemurah, betapapun mungkin kau sering lupa pada-Nya.”
    “Itu semacam hukum alam,” kataku berkelit.
    “Ya, dan itu sebagian dari hukum Tuhan. Kau tahu kan alam adalah telinga-Nya.”


SUAMI MARE’ ADALAH PEJUANG rakyat zaman pemusnahan PKI dan anteknya di tahun ‘60-an. Mare’ berumur 15 tahun saat menikah dan suaminya seorang pengurus organisasi yang belakangan dilarang itu. Belum genap sepekan menikah, sejumlah utusan pemerintah datang ke kampung mencari mempelai pria. Suami Mare’ melarikan diri ke hutan. Dia tak kembali selang beberapa waktu.

Mare’ menyusul ke relung hutan mencari suaminya. Namun nihil. Mungkin suaminya masuk ke dalam hutan yang lebih dalam, gelap, dan liar. Berhari-hari Mare’ pergi sendiri ke dalam hutan, menempuh belukar yang berbeda saat masuk. Tiap kali menyusur, ia menjejak lebih jauh, lebih dalam. Hingga ia merasa tiap jengkal hutan di tepi desa itu telah dilangkahinya.
    “Kalau kau mencari sesuatu, tentu saja kau harus bersabar agar dapat menemukannya.”
Sekali sepekan, aku menemaninya mencari kayu bakar di hutan tempat suaminya pergi dan tak kembali. Kami punya kompor minyak dan kompor gas di rumah. Namun kami tak begitu peduli kalau Mare’ masih memerlukan kayu bakar.
Bagaimanakah kenangan itu persisnya? Ia seperti obatkah? Menawar, meracuni, atau melukai?


 TIAP MINGGU PAGI, aku dan Same’ pergi ke pelabuhan menunggui nelayan yang datang membawa hasil tangkapan. Kami membeli berpuluh ikan bolu .
    Amis, odor, engas, lepek, guruh pantai, dan kicauan nelayan membuatku selalu merindukan sosoknya. Selalu begitu. Kami tahu laut adalah hamparan harapan, dari ujung langit sana ada yang kami harapkan tiba kian kemari.

Ikan-ikan bolu itu kami belah dua dan digarami. Berikutnya kami meringkainya.
Ketika hari limbang, aku  dan Same’ menyelia jemuran ikan itu dari sergap hujan yang dadak dan lihai kucing yang makin mahir memanjat peringkaian. Padahal peringkaian sudah kami buat secuar mungkin.

    Tiap menunggu, Same’ selalu bersama radio mini berbentuk Menara Eiffel, buah tangan sang kapten. Ia seharian menongkrong di stasiun radio milik pemerintah dan menyimak lebih banyak berita sepanjang hari. Lebih banyak kerisik daripada siaran.
    Same’ menambah berisik keadaan dengan protesnya terhadap berbagai hal. Kali ini, ia memprotes teknologi internet dan permainan yang ada di dalamnya.

    “Tidak ada untungnya sama sekali. Mereka  makin jarang berkumpul dengan keluarga dan teman karena terus berada di depan komputer, katanya menyapa teman di komputer. Mana ada orang bertemu di komputer? Kalau mau, ya, ketemu langsung, silaturahmi!”
    Dia hanya perlu dibiarkan mencomel. Kini dia beralih mengungkit surel yang perlahan menyingkirkan dominasi tukang pos.
Same’ dan radio terus menggericau!
Aku teringat satu hal dan bertanya, “Jadi kini siapa orang ketiga yang paling tahu kabar dalam surel itu?”
    “Pertanyaannya bukan siapa, tapi apa... dan, apa yang ketiga itu adalah mesin. Robot. Saya yakin suatu ketika tanpa kita sadari, kita ternyata dipimpin oleh robot.”
    Aku beranjak menuju penjemuran, tak memedulikan. Ia sosok tua yang sok tahu. Dari tempatku membolak-balikkan ikan, dia masih terus mengoceh. Aku terharu. Mestilah dia terkenang dengan surat dan tanda mata yang dikirimkan kapten untuknya melalui tukang pos. Kapten belum mengenal surel. Kalau Same’ menjadi bagian dari generasi sekarang, dia tentu tak akan merepet.

    SABAN MINGGU PERTAMA awal bulan, kami membawa ikan asin itu ke pasar. Aroma pasar yang engas dan bacin menyesaki kami. Aku seperti bocah yang menggeliat jengah sambil menggenggam kedua ujung sarung sabbe’  dua tanteku yang beraroma minyak kelapa.
“Saya tahu kau selalu bersemangat datang ke pasar ini, bukankah di sini kalian pertama kali kupertemukan?” celetuk Mare’ di tengah kesibukan kami menghampar dagangan.

    Entahlah. Aku selalu menduga, mendatangi tempat di mana kenangan berembus adalah hal yang dinanti. Tetapi setelah di sana di sini, mengendus kenangan itu, aku terperangah, sebab itu malah membuatku diracuni rindu yang radak. Kenangan adalah obat bagiku. Obat yang mulanya melenakan dan lantas meracuni. Seperti madat.

    Perempuan-perempuan datang dan pergi dengan ceria. Suami-suami mereka bekerja di luar dan mereka datang membelanjakan jerih payah suami mereka. Kami bekerja di sini, dan ketika kami keluar, kami segera tahu bagaimana kami begitu berbeda dengan mereka. Kami tak mengarus sungai seperti perempuan-perempuan itu. Sebab mereka ikan-ikan bolu liar yang gesit melintasi samudra menuju rawa. Kami bergolak. Kami adalah ikan-ikan bolu di empang. Melompat-lompat mencipta riak. Di situ juga. Tak ke mana-mana.(f)

*********
Hamran Sunu


Catatan:
1.    Ambo. Bahasa Bugis: Bapak, 2. Ikan bandeng, 3. Sarung sutra khas Bugis-Makassar



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?