Fiction
Penghuni Lain

30 Oct 2016


Rambut. Itulah yang selalu kutemukan berserakan di rumahku. Di atas bantal, di lantai, di lubang saluran air, bahkan beberapa ada di dalam makanan.
"Kenapa, sih, ada banyak sekali rambut di rumah ini?" protesku suatu hari.
"Mungkin kamu perlu perawatan, Sayang," jawab suamiku, Kalis, sambil mengelus kepalaku.
Kalau saja rambut itu pendek dan berwarna burgundy, aku tidak akan bingung. Tetapi, helai-helai itu panjang dan hitam. Kalis yang berambut cepak jelas tidak bisa dijadikan tersangka. Aku membersihkan rambut-rambut itu  tiap hari. Pagi dan malam. Namun, jumlahnya tak berkurang sedikit pun.
Karena urusan kantor begitu menyita perhatian akhir-akhir ini, aku tak sempat memikirkan lebih jauh mengenai rambut itu. Sampai kemudian, aku menemukan sebuah celana dalam wanita. Benda itu nyaris tenggelam di lipatan sofa. Tanganku yang sedang mencari remote televisi tak sengaja menemukannya. Celana itu agak besar dan berwarna krem kusam. Jelas bukan punyaku. Perasaan jijik karena menemukan barang pribadi milik orang lain, dengan cepat berubah jadi kemarahan. Siapa pemilik rambut dan celana itu? Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu.
Beberapa hari kemudian benda itu datang. Sebuah kamera pengintai berukuran setelapak tangan. Kuletakkan benda itu di rak buku, di ruang tamu. Sebuah tempat yang tak pernah disentuh Kalis. Sesudah benda itu terpasang, aku harus melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Ini adalah momen sempurna untuk menangkap basah seorang penyusup.
Aku langsung memeriksa hasil rekaman sesampainya di rumah. Hari pertama, tidak ada yang mencurigakan. Kalis terlihat sendirian saja di rumah. Tanda waktu di videonya menunjukkan bahwa ia berangkat kerja lebih cepat dan pulang ke rumah lebih larut dari biasanya. Pada rekaman hari kedua, baru aku melihat wanita itu. Ia datang bersama Kalis dan langsung masuk ke kamar tidur kami.
Mendekati tengah hari, Kalis baru berangkat kerja. Keparat itu benar-benar memanfaatkan waktunya. Sepeninggal Kalis, wanita itu keluar dari kamar. Ia mengenakan setelan piama lusuh. Rambut panjangnya kusut masai menutupi wajah. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Dari caranya minum, sepertinya ia sedang menelan obat. Dengan langkah terseok dia mendekati rak buku. Tangannya terulur hendak mengambil sesuatu. Ia mendongak perlahan. Sebentar lagi aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kemudian, semuanya berubah menjadi gelap.
Sial! Sial! Sial! Aku cepat-cepat mencari lembar petunjuk pengguna kameraku. Sesudahnya aku memaki lebih panjang lagi. Bagaimana bisa aku melewatkan informasi sepenting itu? Baterai kamera yang kubeli hanya bertahan selama 36 jam jika merekam tanpa jeda. Dengan gusar, aku mengisi ulang baterai kamera. Pikiranku masih belum bisa beralih dari wanita misterius itu. Karena kebodohanku sendiri, kini aku harus menunggu lebih lama untuk mengetahui identitasnya.
“Kamu lagi apa, Sayang?” Kalis tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar.
Ehm, aku… enggak bisa tidur,” jawabku gelagapan. Berharap ia tidak tahu apa yang sedang kulakukan.
“Sini, tidur sambil kupeluk,” tawarnya, sambil mengulurkan tangan.
“Sebentar lagi.” Aku memaksakan sebuah senyum.
Betapa sulit bersikap manis di depan Kalis ketika sebenarnya aku ingin mencakar wajahnya. Tapi, aku harus bersabar. Aku perlu lebih banyak bukti.
Setelah memastikan baterai kamera terisi penuh, aku memindahkannya ke dalam kamar kami. Kotak hitam itu kusembunyikan di antara bingkai foto, di atas sebuah meja kecil. Aku begitu sibuk ­merancang pembalasan hingga tak sengaja menginjak sesuatu. Tanganku seperti dirayapi ratusan semut kecil ketika menyentuh benda yang tergeletak di lantai itu. Ada sebuah mainan kerincingan anak berwarna biru di kamarku.
 
 
AKU MEMERIKSA hasil rekaman berikutnya di kantor, ketika semua orang sedang keluar makan siang. Aku berharap melihat Kalis dan selingkuhannya bercumbu atau melakukan sesuatu yang memberatkan mereka. Kenyataannya, tak seorang pun dari mereka ada di kamar tidur.
Lewat pukul satu siang, wanita itu baru masuk ke kamar. Perutku mengencang ketika melihat apa yang ada di gendongannya. Seorang bayi. Aku teringat dua kali proses bayi tabung yang telah kujalani dan berakhir dengan kegagalan. Tanpa bisa kucegah, kepalaku memutar ulang kata-kata yang selalu diucapkan Kalis.  Seorang bayi tidak selalu menjadi pengikat rumah tangga, Sayang. Kita bisa menciptakan kebahagiaan kita sendiri. Meski tanpa anak.Omong kosong! Pembohong itu telah menipuku mentah-mentah. Cepat-cepat kuhapus air mataku. Sekarang bukan waktunya bersikap cengeng. Sudah kuputuskan. Aku akan menemui wanita itu. Sendiri.
Sesampainya di rumah, aku mendapati pintu depan setengah terbuka. Kudorong pintu itu perlahan. Mataku mengerjap, berusaha menyesuaikan dengan keremangan di dalam ruangan. Kemudian aku melihat wanita itu, duduk di meja makan dengan satu tangan menggendong bayinya.
"Halo, Malika," sapanya.
Jantungku berderap ketika menatap wajah itu untuk pertama kalinya. Ia begitu mirip denganku. Hanya saja, kedua matanya menghitam, berat digantungi duka. Lelucon macam apa ini? Seketika keberanianku menguap tak berbekas. Siapa pun dia, aku tak sanggup menghadapinya sendiri. Aku akan meminta Kalis untuk pulang sekarang juga agar kami bisa bicara bertiga.
Aku baru saja akan berbalik ketika tangannya yang lain keluar dari bawah meja, membawa sesuatu yang berkilau. Aku langsung mengenali salah satu koleksi pisau dapurku.
"Duduklah. Sudah waktunya kita bicara," ucapnya tenang.
Aku menelan ludah. Sebelum menyeret kedua kakiku untuk mendekatinya, tanganku menyelinap ke dalam saku celana. Kutekan angka satu pada ponselku. Tombol cepat untuk menelepon Kalis.
Wanita itu meletakkkan pisaunya di atas meja. Ia menelengkan kepalanya ketika menatapku lekat. Bulu di sekujur tubuhku meremang. Tanpa kusadari, aku sudah berpegangan erat pada meja. Seolah takut terisap olehnya. Kemudian ia meletakkan bayinya, begitu dekat dengan tepi meja hingga makhluk mungil itu terguling. Lututku terantuk meja dengan keras ketika aku berdiri tiba-tiba untuk menangkap bayi itu.
Seperti sebuah tayangan lambat, aku merasakan tanganku menyambar udara sementara bayi tadi terjatuh tanpa suara. Begitu ringan. Seolah ia tidak memiliki massa sama sekali. Aku memberanikan diri melihat ke arah bayi itu. Selimut birunya tersingkap, menampakkan seraut wajah dingin tanpa ekspresi. Wanita di depanku tertawa kecil.
"Tenang. Bara sudah lama mati. Aku yang membunuhnya."
Aku masih menatap boneka di atas lantai itu dengan perasaan campur aduk, ketika ia menambahkan, "Lebih tepatnya, kita yang membunuhnya."
Tubuhku lemas. Aku terlambat menyadari bahwa aku sedang berurusan dengan seorang psikopat.
"Bagai… mana... kita membunuhnya?"
Tenggorokanku kering sekali. Tidak akan mudah untuk terus berbicara. Tapi aku harus mengulur waktu hingga Kalis tiba.
"Dengan bantal. Tidak butuh waktu lama."
Dia menerawang. "Andai saja Bara tidak terlalu rewel hari itu."
"Sudah terjadi. Tidak ada gunanya disesali," ujarku, sambil memikirkan kalimat berikutnya.
"Tapi kamu mengkhianatiku!" hardiknya.
Aku menciut di kursiku.
"A.. a.. pa maksudnya?"
"Kamu melarikan diri. Kamu melanjutkan hidup, sementara aku menanggungnya sendirian!"
Secepat cahaya, wanita itu menyambar pisau dan mengacungkannya di depan wajahku. Pada saat yang bersamaan, Kalis mendorong pintu depan keras-keras. Wanita itu tertegun sesaat. Celah yang berharga ini kugunakan untuk menyelamatkan diri
“Orang gila itu ingin membunuhku!”  teriakku histeris.
"Sshh… jangan takut, Sayang. Aku sudah ada di sini," ujar Kalis, sambil memelukku.
Kemudian aku merasakannya. Sebuah benda tajam dan dingin menembus ke kulit lenganku. Perlahan, tubuhku terasa ringan dan pandanganku mulai kabur. Kedua tungkai kakiku adalah hal terakhir yang kuingat sebelum aku benar-benar menghilang. Mereka terbalut sebuah celana piama lusuh.
 
 
"HARUSNYA SAYA SUDAH TAHU ketika tak sengaja menemukan kamera tersembunyi di rumah kami," keluh Kalis. “Ia mulai menyadari kehadiran orang asing.”
"Sebenarnya saya merasa lebih tenang jika ada perawat yang mendampinginya di rumah. Tapi kehadiran orang lain malah membuatnya panik."
"Ini juga berada di luar dugaan saya," jawab Dokter Berta lembut. "Biasanya sulit mempertemukan kepribadian utama dengan pecahannya."
"Apa yang bisa dilakukan sekarang, Dokter?"
"Menunggu. Setelah Sisa tenang, kita bisa melanjutkan terapi dan mempertemukannya dengan Malika. “
Kalis mengangguk.
"Beristirahatlah. Proses selanjutnya akan sangat melelahkan," ucap dokter berambut pendek itu sebelum meninggalkan ruangan.
Apakah setahun ini belum cukup melelahkan? batin Kalis. Ia menghela napas panjang dan berharap bebannya ikut keluar. Tapi, berat itu masih ada bersamanya. Tujuh tahun yang lalu, ia menikah dengan Sisa. Mereka sudah menghabiskan waktu lama untuk berpacaran. Jadi, mereka tak sabar ingin segera menjadi orang tua. Awalnya mereka bisa mengabaikan pertanyaan orang-orang di sekitar mereka. Dua tahun kemudian, mereka mulai habis-habisan mengupayakan kehadiran seorang anak.
Sebuah kabar bahagia tiba ketika mereka menjalani program bayi tabung yang kedua. Seorang bayi laki-laki sedang tumbuh di rahim Sisa. Hidup mereka sempurna ketika Bara lahir dengan sehat. Pertanyaan-pertanyaan yang bernada menghakimi berganti dengan ucapan selamat.
Namun, kesempurnaan itu tidak bertahan lama. Bara meninggal pada suatu pagi. Sudden infant death syndrome (SIDS), kata dokter yang memeriksanya, kerap terjadi pada bayi di bawah satu tahun. Hingga kini masih belum ditemukan penyebab pasti kematian tiba-tiba itu. Pihak medis hanya bisa berspekulasi.
Tentu saja ini merupakan pukulan berat bagi Kalis dan Sisa. Tetapi Kalis berusaha tegar. Ia masih punya Sisa. Mereka bisa mencoba untuk memiliki anak lagi. Namun, tidak demikian halnya dengan Sisa. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa bayi kecilnya meninggal begitu saja. Tanpa penjelasan. Ia makin jarang tidur. Lalu ia mulai meracau bahwa dirinya yang membunuh Bara. Sisa sering tiba-tiba histeris dan menuntut hukuman yang setimpal untuk dirinya, sang pembunuh.
Lalu suatu hari, begitu saja seperti kepergian Bara, Malika hadir. Tak butuh waktu lama bagi Kalis untuk mengenali sosok ceria dan percaya diri di hadapannya. Itu adalah Sisa yang telah membuatnya jatuh cinta. Sebelum ia tersiksa dengan ketidakhadiran anak dalam pernikahan mereka. Sebelum ia dirundung duka karena kehilangan putra mereka. Sesi demi sesi terapi pun dimulai. Meski hancur hati, Kalis mencoba ikhlas. Mungkin ini bisa membantu Sisa menghadapi kesedihannya.
"Mas…."
Sosok di tempat tidur itu terjaga. Matanya nyalang melihat ke sekeliling. Kalis langsung tahu, ia sedang bersama Sisa.
"Mana perempuan itu?" Sisa bertanya dengan suara bergetar. "Dialah pembunuh Bara, Mas."
Kalis merengkuh Sisa. Ia tidak ingin istrinya melihat matanya yang basah.
"Dia sudah diamankan, Sayang.”
“Aku tahu Bara tidak mati begitu saja, tapi kamu tidak pernah percaya.” Sisa mulai terisak.
Kalis mempererat pelukannya dan berbisik, “Maafkan aku, ya. Setelah ini kita akan bicarakan semuanya. Bersama." (f)
 
 ***

Widjati Hartiningtyas
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?