Fiction
Pamitan

30 Aug 2016



Kutatap pantulan wajahku sendiri, di cermin. Wajah  tirus dengan tulang pipi menonjol. Cekung di kedua mataku, seperti ceruk di lereng Lawu. Entah berapa banyak air mata yang telah tertumpah. Namun, bak mendung yang menggelayut memberati wajah langit, seperti itulah beban yang kurasakan dalam hatiku.
            “Runi, kamu harus kuat.”
            “Percayalah Runi, semua akan baik-baik saja.”
            Kuoleskan lipstik merah di bibirku. Kucoba membentuk lengkung senyum. Sepertinya gagal, karena selembar tisu segera kuambil, untuk menyeka sudut mataku. Aku tak mau bedakku luntur lagi. Dan semua prosesi harus kuulang dari awal. Mengoleskan krim pembersih, memercikkan penyegar, membubuhkan pelembap, lalu alas bedak. Kemudian menaburkan bedak padat warna terang. Mungkin seperti itulah urutan episode yang harus kulalui dalam hidupku.
            “Bedak harus tebal, biar kulitmu terlihat putih!” bisik Yu Kemi kala itu.
            “Memangnya kenapa to, Yu?” tanyaku keheranan.
            “Kalau wajahmu terlihat kinclong, nanti akan banyak juragan yang nyawer. Jangan lupa nyenggot-nya yang kenceng saat kendangnya mengentak!”
            “Nyenggot?”
            “Iyo. Goyang pinggulmu harus berani, seperti mbakyu-mu ini,, loh, Nduk! Gendang gendut... ndang ndang, tung plak tung dut….” Mulut Yu Kemi menirukan suara kendang dan pinggulnya mulai bergoyang. Aku terkikih geli yang segera disambut pelototan mata Yu Kemi. Tubuh Yu Kemi yang gendut, mirip limbuk dalam tokoh pewayangan. Kesan erotis sama sekali hilang, tertutup oleh aura jenaka.
            Itulah awal perkenalanku dengan kesenian tayub, yang segera melambungkan namaku. Aku tidak hanya dikenal di Jatisrono, tapi juga sampai di kantor kecamatan, bahkan kabupaten. Sepeninggal Bapak, Simbok hanya memiliki sepetak tanah berkapur yang hanya bisa ditanami jagung  atau padi gogo. Itu pun harus menunggu turunnya hujan yang tak pasti datangnya. Saat kemarau, tanah itu hanya serupa gelandangan tua yang kesepian. Kering, kehitaman, hampir menunggu sekarat.
            “Nduk, ikut belajar nari tayub yo!” rayu Yu Kemi suatu hari.
            Dan dengan iming-iming mendapatkan uang banyak, aku rela melintasi hutan jati untuk ikut belajar menari. Dua kali pohon-pohon jati menggugurkan daunnya, dua kali pula cabang-cabangnya menumbuhkan daun-daun yang kecil kemerahan.  Tubuhku mulai menjulang seperti pohon jati, dengan lekuk lekung yang –kata Yu Kemi--  makin indah saat dibalut dengan jarit batik parang kusumo. Saat itulah aku mulai ikut ‘turun’ bersama rombongan tayub pimpinan Lik Misdi.
Kuamati bibir merah dalam cermin itu. Tepat di atasnya ada sebuah titik hitam. Kecil, tapi jelas. Kata Mas Bondan, tahi lalat itulah yang telah menggoda iman Pak Lurah, bapaknya Mas Bondan. Waktu itu aku gadis belasan tahun. Yu Kemi menyuruhku melakukan ritual puasa dan mandi dari tujuh sumur. Simbok dan Yu Kemi berjalan menyusuri tegalan tandus membawa jeriken kosong untuk diisi air. Guguran daun-daun jati yang terinjak kaki, berkabar bahwa sumur-sumur telah lama mengering. Angin menerbangkan sayap-sayap capung merah, melintas di antara rumput-rumput gajah.
“Untuk apa to, Yu?”
Wis, pokoknya kamu itu sudah dipilih oleh para tetua desa, nayub dan nyelup  di acara ritual bersih desa.”
“Kan tidak hanya aku yang menari? Ada Srintil, Yu Dhenok, Yu Niar?”
“Kamu ledhek paling cantik, Runi. Dan kamu masih perawan,” bisik Yu Kemi.
Akhirnya aku hanya menurut saja apa kata Yu Kemi. Malam tirakatan bersih desa itu dihadiri oleh Pak Lurah dan para tetua desa. Kami harus bersabar menahan bau asap rokok dan bau tuak yang menguar dari bibir-bibir kecokelatan mereka.
Yu Kemi tersenyum-senyum saat melihat lelaki-lelaki yang hadir malam itu. Selain para pejabat desa, hadir juga para juragan yang dompetnya tebal. Pak Marto Blantik, Kang Paidi, Lik Sarpan Mandor. Namun, yang membuat hatiku girang bukanlah kehadiran mereka, melainkan kehadiran seorang pemuda yang selalu menatapku lekat-lekat saat menari. Mas Bondan.
“Malam ini pasti pada bersaing untuk nyawer, Runi. Tapi ingat, tengah malam nanti, kamu harus mengalungkan selendangmu ke leher Pak Lurah.”
“Memangnya siapa yang mengharuskan?” tanyaku sebal. Kata-kata Yu Kemi, membuyarkan keinginanku untuk mengalungkan selendangku di leher Mas Bondan.
“Ini kan acara sedekah bumi. Nah, kamu harus nyelup bersama Pak Lurah!”
 “Nyelup?” bisikku tak mengerti. Yang aku tahu hanyalah mengalungkan selendang di leher Pak Lurah dan menemaninya saat ngibing bersamaku. Aku baru tahu artinya, setelah malam itu aku digelandang Pak Lurah ke senthong tengah rumahnya yang berbentuk pendopo.
Aku tak  kuasa menolak saat Pak Lurah menuntaskan segala hasratnya. Daun-daun jati kering saling bergesek gelisah dan akhirnya jatuh di tanah berdebu. Jengkerik dan tonggeret menghentikan nyanyian musim kemaraunya karena malu. Ada sesuatu yang terkoyak, di antara sela pahaku. Namun batinku terlebih-lebih lagi. Hancur seperti debu-debu musim kemarau yang membubung ke udara. Pekat, kelam, suram, menyesakkan.
“Terima kasih, yo, Nduk. Mudah-mudahan setelah ritual nyelup ini, desa kita terhindar dari bencana, wabah penyakit, dan panen bisa melimpah.”
Aku hanya bisa menangis sambil menutupi tubuhku dengan kain kemben. Kata  Yu Kemi, malam itu Bu Lurah sengaja tidur di rumah kakaknya. Karena ritual nyelup harus atas persetujuan keluarga Pak Lurah dan keluargaku sendiri.
“Seruni hamil? Berarti ada yang salah.”
“Apanya?”
“Ritualnya. Mungkin air untuk mandi tidak diambil dari tujuh sumur.”
 “Roh penunggu desa tidak mau masuk ke dalam tubuhnya.”
Bisikan-bisikan itu mampir ke telingaku, seperti dengung lebah yang sarangnya diganggu. Aku sering terbangun tengah malam dan menangis diam-diam sambil mengelus perutku yang mulai berisi. Simbok tidak bisa berbuat apa-apa.
Kuambil lagi selembar tisu untuk menghapus air mataku. Kububuhkan riasan mata berwarna cerah bergradasi. Bulu mata berwarna natural, membuat wajahku  sedikit bersinar. Ilmu merias wajah ini kuperoleh setelah aku hijrah ke kota.
“Aku akan menolongmu, Seruni, ikutlah aku ke kota!”
“Untuk apa? Untuk menjaga nama baik bapakmu?”
 “Bapak bahkan melarangku mencintaimu,” sahut  Mas Bondan menggeleng sedih,  “aku hanya ingin bayimu punya ayah.”
Aku tertegun, menatap wajah tampan yang tetap aku kagumi itu.
“Tapi kau adalah kakak dari bayi ini, Mas,” jawabku tersendat.
Seperti layang-layang putus tali, aku hilang arah. Aku tak punya pilihan lain. Di desa, namaku sudah tercoreng arang. Ritual yang salah. Tanah tegalan yang tetap kering merekah. Hujan yang tak juga turun. Runi Si Pembawa Sial. Runi melakukannya dengan banyak lelaki.  Berbagai tuduhan itu mengimpitku dan membuat napasku sesak seperti orang yang terserang asma menahun.
“Di kota penari tayub ndak laku Dik Runi. Ndak ada yang bakal nanggap.”
“Lalu?”
“Orang kota yang sedang berpesta lebih suka mengundang organ tunggal dengan penyanyi yang membawakan lagu-lagu dangdut.”
“Tapi aku ndak bisa nyanyi, Mas?”
“Organ tunggal hampir mirip tayub, Dik. Goyangan pinggul lebih diutamakan.”
Sejak itu, aku pun alih profesi. Dari penari tayub berkemben, menjadi penyanyi dangdut yang memakai tank top. Berbagai  lagu mulai aku hafalkan liriknya. Dari langgam Jawa seperti Caping Gunung, Nyidham Sari, Wuyung, sampai Pamitan. Juga lagu dangdut legendaris karya Rhoma Irama, sampai lagu dangdut pantura seperti Tangis Rindu, Bukan Cerita Dusta, Cinta Tak Terpisahkan. Aku tak perlu menghayati isi lagu-lagu itu. Ini bukan sajian untuk telinga, tapi untuk mata. Terutama bagi mereka yang merindukan tontonan pembangkit gairah di tengah-tengah kepenatan kerja menjadi pegawai pabrik atau buruh kontrakan.
Sejenak aku memejamkan mata, mencoba meredam kesedihanku. Lalu  aku mulai memoleskan perona pipi. Aku memilih warna merah jingga yang satu tingkat lebih cerah dari warna kulit mukaku.
Warna perona pipi itu mengingatkanku pada bercak kemerahan yang tiba-tiba muncul di kulit payudaraku. Bercak yang  makin lama  makin kasar, seperti kulit jeruk purut. Hasil tes mamografi telah mengempaskanku ke kedalaman palung laut tak berdasar. Hatiku hancur. Namun, di atas panggung, aku tetaplah Seruni Si Ratu Goyang. Tiga bulan setelah divonis kanker, aku harus merelakan payudara kiriku diangkat. Habislah kebanggaanku selama ini. Mungkin inilah karma bagiku, karena selama ini menjadikan payudaraku sebagai tempat menaruh uang saweran.
Setelah operasi, aku masih harus menjalani serangkaian tes untuk memastikan jenis kankerku. Aku juga harus rutin menjalani kemoterapi.
“Kamu harus tabah, Runi. Aku akan selalu mencintaimu.”
Bukannya  menghibur, kata-kata Mas Bondan itu justru bak tikaman belati tepat di jantungku. Berapa lama lagi kau harus berkorban Mas? Setelah bertahun-tahun rahimku menolak untuk menumbuhkan benihmu. Apakah Mas Bondan harus menunggu sampai menyandang gelar duda? Rintihku dalam hati.
“Lilanono pamit mulih, pesti kulo yen dede jodhone
Mugo enggal antuk sulih, wong sing bisa ngladeni slirane...1)
Langgam milik Pak Gesang kusenandungkan saat berbaring di sampingnya.
“Hidup, mati dan jodoh itu ada di tangan Gusti Allah, Runi,” bisik Mas Bondan sambil mengelus rambutku yang mulai menipis .
“Pancen  abot jroning ati, ninggal ndiko wong sing tak tresnani,
Nanging badhe kados pundi, wong kawulo sak dermo nglampahi2)
Bukannya  menjawab,, aku malah meneruskan senandungku. Namun, aku tak sanggup meneruskan kata-kata dalam bait selanjutnya. Alunan suaraku sudah berubah menjadi isak tertahan. Mas Bondan merengkuhku dalam dekapannya.
Aku tergeragap, menyadari bahwa perona mataku hampir luntur karena mataku yang benar-benar berlinang saat mengenang Mas Bondan. Kembali kuusap air mataku dengan tisu. Lalu kuambil pensil alis, untuk membentuk alisku menjadi bentuk bulan sabit. Bentuk alis yang mengingatkanku kepada Ajeng.
Waktu itu, payudara sebelah kananku juga harus diangkat, karena dokter khawatir nantinya sel-sel kanker akan bermetastasis di paru-paruku. Rupanya kanker benar-benar menyukai payudaraku, seperti lelaki-lelaki yang pernah meletakkan uang saweran di balik kembenku.
Gusti... Apakah aku harus menggunakan busa saat aku naik panggung? Tentunya aku tak mungkin memakai tank top, dengan dadaku yang rata. Lalu hadirlah Ajeng. Penyanyi baru di grup organ tunggal Bhuana Swara milik suamiku. Alis Ajeng  indah, bak semut beriring.
“Menikahlah dengan Ajeng, Mas, dia gadis yang baik.”
“Kau mulai ngelantur, Runi.”
“Usiaku tak lama lagi Mas. Tolong kawinlah dengannya! Buatku sendiri, kau hanya perlu memikirkan kata-kata terbaik untuk iklan kematianku di koran daerah!”
“Runi... Runi...,” panggil Mas Bondan sambil memelukku. Air hangat menetes di pundakku. Mas Bondan menangis? Terkutuklah sel-sel kanker ini. Ketika aku sudah siap menghadapi kematian, justru aku harus menerima kenyataan bahwa kepergianku akan menyisakan kepedihan bagi orang yang kucintai.
“Ibu, kalau sudah siap, tolong keluar dari kamar, ya, Bu! Aku menunggu di teras!” Teriakan Panji membuyarkan lamunanku. Ia anak lelakiku satu-satunya.
Akhirnya aku selesai berdandan.  Gaun merah menyala membalut tubuh kurusku. Tentu saja dengan dua gumpal busa, mengganjal di bagian dadaku. Perlahan kupasang wig ikal merah. Aku harus terlihat cantik di pentas terakhirku, bukan? Setelah ini aku akan kembali ke Jatisrono, ke rumah ayah biologis Panji. Belasan tahun lalu ia telah mengusirku dan Mas Bondan keluar dari pendoponya. Sekarang, ia pula yang menghendaki aku dan Panji untuk kembali.
Malam ini aku akan menyanyikan langgam Pamitan. Tapi bukan Mas Bondan lagi yang akan mengiringiku, melainkan Panji. Mas Bondan telah dimakamkan seminggu lalu. Ia meninggal karena sebuah kecelakaan lalu lintas. Tepat sehari setelah dokter menyatakan bahwa aku telah terbebas dari sel-sel kanker. Dan aku belum sempat mengabarkan berita gembira ini. Aku hanya sempat membalik nama dalam iklan kematian itu. Bondan Widagdo di baris nama jenazah, dan Seruni di pojok kanan bawah, sebagai sang istri yang berdukacita.
 
Catatan:
Relakan aku pamit pulang, sudah menjadi takdirku yang bukan jodohmu,
Semoga kamu segera memperoleh ganti, orang yang bisa melayanimu 1)
Memang berat dalam hati, meninggalkanmu orang yang sangat aku cintai,
Namun mau bagaimana lagi, karena aku hanya sebatas menjalani 2)
 
***
UTAMI PANCA DEWI


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?