Fiction
Novelet: Esperansa (3)

21 Jul 2018

Foto : 123RF

Emilia
Sekujur tubuhku rasanya membeku. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa setelah 29 tahun menghirup udara bumi aku baru tahu asal-usulku. Aku pernah bertemu anak yang tinggal dengan orang tua tiri.
 
 
Muridku bahkan ada yang tidak diharapkan kehadirannya. Aku juga pernah menggendong bayi tetanggaku yang lahir ke dunia karena kecelakaan dua orang yang ceroboh. Tetapi, tentu saja aku sama sekali tak pernah membayangkan menjadi salah satunya. Berjam-jam aku tak bisa mengenali perasaanku. Kucoba mencari, di jalinan mana diriku berada. Siapa yang pantas kusalahkan?
 
 
Papa, wanita yang merawatku, wanita yang menjadi perantara aku melihat dunia, ataukah takdir itu sendiri? Carolin membawakan teh manis hangat, sementara Abilio datang dengan terheran-heran.
 
“Kita beri waktu Emili untuk sendiri,” kata Mama.
 
Menjelang malam Antoni datang. Aku bisa mendengar dia mendapat cerita Mama di beranda sebelum masuk dan menemuiku.

“Emili?” Lelaki itu menepuk bahuku.
 
Aku menatapnya. Melempar senyum getir. Mataku memanas.

Enam belas tahun lalu, aku patah hati ketika dia pergi. Antoni kakak lelaki idaman yang selalu ada untuk adik-adiknya. Kalau bisa memaksa, aku ingin dia tinggal bersamaku. Tapi, Antoni memilih bersama Mama. Tentu saja baru saat ini aku tahu alasan pilihannya.

Malamnya, Mama menggelar tikar di ruang tamu untuk tidur beramai-ramai. “Matamu juga punya hak. Lagi pula, punggungmu bisa kram kalau duduk terus begitu,” kata Abilio, sebelum pergi tidur.

Antoni mengusap kepalaku. “Istirahatlah. Biar besok pikiran lebih jernih.” Lalu, Carolin membawakan selimut. “Kalau perlu ke belakang, bangunkan aku, Kak.” Mama mematikan lampu minyak besar, dan menggantinya dengan lampu tempel di pojok ruangan. Wanita itu mendekat, duduk di sampingku, dan membawa kepalaku ke pelukannya. Aku tidak menolak. Di ceruk hangat itulah air mataku benar-benar tumpah.

Isakan lirihku serasa memenuhi ruang tamu.

“Katanya, semua orang punya ujiannya sendiri-sendiri. Kamu tak perlu memaksa pikiranmu untuk mengerti semuanya. Butuh waktu untuk menerima hal-hal mengejutkan dalam hidup kita.”

Aku tidak tahu pasti apakah sepanjang malam aku bisa tidur, atau hanya bermimpi. Barangkali semua orang di rumah ini juga sibuk dengan pikirannya masing-masing tentang aku.

Ketika sinar matahari menerobos lewat jendela, orang-orang sudah tak ada di ruang tamu. Aku berdiri
dan melongok ke luar. Abilio dan Antoni minum kopi di beranda. Di dapur, terdengar suara minyak panas dan letupan kecil menyusul aroma wangi bawang, ke sana aku melangkah.

“Hei, Kak, sebentar lagi kita sarapan, ya. Kemarin kau tidak makan.”

“Kau mau teh apa kopi?” Mama menunjuk dua gelas minuman di meja.

“Teh saja.” Aku mengambil cangkir teh dan menyesap pelan. Sisanya, satu cangkir yang berisi kopi, diambil Mama.

Carolin menceritakan bagaimana awal mereka di sini. Bagaimana mereka antre sembako tiap bulan. Tentangtiada hari tanpa ikan asin. Tentang sayuran segar yang langka. Tentang listrik yang belum masuk. Tentang murid muridnya. Mama juga cerita perihal mesin jahit yang dibeli dari Pasar Mundu Malaysia dengan uang tabungan. Lalu giliranku. Aku pun cerita tentang toko buku di Dili yang kurintis bersama Abilio.

“Dia ganteng dan baik,” Carolin mengerling. “Ya kan, Ma?”

Mama menyetujui.

“Aku tidak keberatan punya kakak ipar dia.”

“Hus, kami hanya sahabat.”

“Ya, yaaa sahabaaat…”

Aku merasakan kehangatan obrolan santai di dapur ini. Bertahun-tahun lalu, kami juga sering merecoki dapur saat Mama memasak. Sering kali lauk-lauk yang baru dari penggorengan sudah habis sebelum waktunya makan.

“Kau biasa masak apa, Kak?” “Aku….”

Setelah referendum, dapur bukan lagi tempat yang mengasyikkan. Untuk sarapan, Papa menyiapkan paun
dengan teh, kopi, atau susu. Makan siang, beli, Papa yang beli. Malam hari, kalau lapar biasanya Papa mengajak makan di luar. Papa sering minta maaf karena tak bisa memasak seperti Mama. Dan, sebagai gantinya, aku bisa memilih menu apa saja yang kuinginkan. Bertahun-tahun ritme makan kami seperti itu. Akhir-akhir ini, aku yang sengaja masak kalau hari libur. Kami akan tertawa-tawa di meja makan, berkomentar hasil masakanku.
 


Topic

#fiksi, #fiksifemina, #cerber, #novelet

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?