Fiction
Mainan Plastik

20 Nov 2016


“Kau mau meracuni aku, ya?” Kaas meludahkan air teh yang telah diteguknya.
Kau pun tergopoh-gopoh dari dapur setelah mendengar tuduhannya. Kau tak bersuara dan wajahmu ketakutan seperti orang yang sedang diadili.
“Hei, aku hanya bercanda,” sambung Kaas dengan tawa lebar setelah melihat ekspresimu.
Namun, kau seolah tak mendengarnya. Dengan tatapan cemas, kau dekatkan wajahmu pada cangkir teh bekas suamimu. Matamu menangkap daun-daun kering itu melayang-layang di permukaan airnya. Lalu jemarimu mengambil satu demi satu ampas itu dengan sendok hingga air dalam cangkir menjadi jernih kembali.
 
 “Hore! Bebaaas,” teriakan anak-anak kecil itu mengejutkanmu, mewakili apa yang ingin kau teriakkan.
Lava dalam kamar magma di dadamu meleleh dan membuatmu sesak napas. Kau bergeming sambil menatap anak-anak itu dari kaca jendela rumahmu. Anak-anak tetangga yang biasa dikurung ibunya dalam rumahnya sendiri, kini tengah menikmati kebebasan sesaat. Mereka berlarian di depan rumahnya, berputar-putar sambil berteriak dan tertawa, sementara ibunya sedang berbincang dengan tetangga lain yang kebetulan lewat.

Sore yang cerah. Kau tatap langit dengan awan tipis berarak. Sementara kau mengurung diri dalam sangkar. Kau menyayangkan diri sendiri menghabiskan waktu sepanjang pagi hingga senja ini hanya dengan membaca buku dalam rumah. Sesaat kau merasa bersalah dengan kebiasaanmu, merasa telah bermalas-malasan tanpa melakukan sesuatu yang berguna. Sementara Kaas sedang membanting tulang di tempat kerjanya untuk menghidupimu.

Cahaya jingga menyembur dan menyatu dengan warna biru di langit, membentuk warna gradasi yang cantik. Saat yang tepat untuk menikmati keindahan bunga-bunga di halaman depan. Saatnya minum secangkir teh, batinmu. Meskipun tak cukup hanya secangkir, satu teko bisa kau habiskan sendirian sepanjang sore. Hari ini Kaas pulang malam. Kau akan mengadakan jamuan teh untuk dirimu sendiri.

Kau bangkit dari sofamu, meninggalkan kaca jendela yang menjadi tempat favoritmu menghilangkan kesepian. Dari sana kau bisa dengan leluasa menatap orang-orang yang lalu-lalang di depan rumahmu tanpa perlu mereka tahu keberadaanmu. Sebetulnya bukan karena malas. Kau hanya butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatian dari keterpurukanmu, membawa pikiranmu ke dalam alam khayal buku-buku fiksi yang kau baca. Jiwamu hampa, meski secara fisik kau dilahirkan sebagai wanita berpenampilan sempurna.

Dari balik tirai berwarna kelabu, kau menggambarkan keadaan di luar sana lewat perbincangan dan juga ekspresi wajah mereka. Kedua langkahmu berayun dalam balutan daster payung yang lebar. Rambutmu yang panjang tergerai tampak hitam berkilau. Aroma tubuhmu selalu segar sepanjang hari. Kulit wajah dan tubuhmu mulus tanpa sisik. Kau selalu tampil cantik menawan.

Sial, pekikmu dalam hati. Teh dalam kantong celup itu menyemburat hingga berputar-putar mengikuti gerakan adukan sendokmu dalam cangkir. Air teh yang kau dapatkan penuh dengan ampas. Kali ini terjadi lagi. Teh itu cacat produksi, sesuatu yang sangat kau benci. Benang yang seharusnya bisa memanjang saat kau seduh nyatanya lengket di permukaan kantongnya. Kau sudah menarik benang itu dengan hati-hati namun tetap menyobek kain kertas berpori besar itu hingga menyemburatkan isinya.

Merek teh itu tak pernah kau ganti. Aroma melati yang berpadu rasa pahit sungguh pas terasa di lidah. Namun, acara jamuan teh untuk dirimu sendiri gagal. Suasana sore yang sempurna tak bisa kau dapatkan. Kau hanya bisa termenung. Ingatanmu melayang pada kejadian beberapa tahun silam, saat di mana kau merasa panik akibat tak bisa menyuguhkan teh yang jernih untuk suamimu.

Sejak kejadian itu kau selalu menyaring ulang air teh yang sudah diseduh, meski sebenarnya tak ada lagi ampas yang tersisa. Kau hanya ingin memberikan hasil yang terbaik. Lalu air teh yang jernih namun kental dengan aroma melati kerapkali mengebul di saat musim penghujan itu. Kau rajin menemani suamimu duduk di dekat jendela, membiarkan ia menyeruput teh hangat racikanmu sepulang kerja tanpa cela. Setelah puas, ia memalingkan mukanya pada kertas koran yang lebar hingga tak dapat lagi kau tatap wajah tampannya. Kau merasa terabaikan sesaat. Namun kau tak membiarkan rasa itu mengganggumu. Kau segera mencari cara untuk mendapatkan perhatiannya kembali. Lenganmu segera menggelayut manja di punggungnya yang kekar, terkadang membenamkan kepalamu di dadanya yang bidang. Mungkin Kaas terlalu lelah hingga rasa kantuk pun menderanya. Tiap sore selalu berakhir dengan Kaas yang terkapar di atas sofa. Kertas koran itu terbentang lebar menutupi permukaan dada dan sebagian wajahnya. Secepatnya kau berlari masuk kamar dan kembali sambil membawa selimut tebal, lalu kau bentangkan di tubuhnya. Kau menyesali hidupmu yang tidak sempurna. Andai saja di usia perkawinan yang menginjak tahun keenam ini telah hadir sang buah hati, celotehnya pasti akan menghidupkan suasana.

Lamunanmu buyar oleh suara anak-anak tetangga depan rumahmu. Kedua bocah perempuan yang tadi berlarian dan berteriak di depan rumahnya sendiri sedang mendorong-dorong pintu pagarmu. Kau menoleh ke sana kemari mencari ibu dari anak-anak ini, rupanya mereka lepas dari pengawasan. Ibu mereka sudah pindah ke rumah paling pojok dari deret rumahmu, berkumpul dengan ibu-ibu lainnya sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka merumpikan apa saja yang menjadi isu terhangat di kompleks ini. Suara gaduh itu tidak membuatmu terusik, justru membuat senyummu mengembang.

“Tante, boleh main, gak?” Salsa, gadis cilik berusia 7 tahun bertanya dengan wajah memelas, setelah beberapa hari yang lalu menangis akibat tidak diizinkan ibunya masuk ke rumahmu.
“Masuklah,” jawabmu ragu sambil membukakan pintu pagar, yang disambut sorak-sorai mereka. Kau tak sampai hati mengecewakan gadis cilik itu lagi.
Tak membutuhkan waktu lama untuk bisa mendengar celoteh mereka lagi. Tawa mereka memenuhi isi rumahmu. Salsa dan adiknya memorak-porandakan rumahmu yang penuh dengan mainan. Rumahmu memang kau penuhi dengan mainan meski buah hati yang kau tunggu dari dalam rahimmu belum menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Kau sengaja menarik perhatian anak-anak tetangga agar mau singgah dan mengusir kesunyianmu. Sesaat kau merasa terhibur.
“Pulang, Salsa!” suara itu memekakkan telingamu.
Suara yang membuatmu tergopoh-gopoh ke arah pintu. Ibu anak-anak itu menyerobot masuk lalu menarik paksa kedua anaknya hingga menangis. Tatapan sinisnya yang penuh curiga seakan menghakimi. Tak ada sanggahan. Kau pun maklum dengan keadaan itu.
“Kenapa kau masih membiarkan anak-anak masuk?” tanya Kaas setelah kau menceritakan kejadian sore itu sepulangnya dari kerja lembur, membuatmu tergagap.
“Mereka lucu dan menggemaskan,” jawaban dari mulutmu sendiri yang membuatmu merasa bodoh.

Kau sudah tahu, seharusnya kau menjaga jarak dengan anak-anak di pemukiman rumahmu. Waktunya belum tepat untuk kembali seperti dulu. Warga di sini masih memandang sebelah mata kalian berdua. Sudah lama kau ingin pindah dari tempat tinggalmu saat ini. Bisik-bisik tetangga dan kesan menghakimi sudah terlanjur membuatmu seperti orang yang terasing, membuatmu terpenjara dalam rumahmu sendiri.
“Kita pindah saja, Mas,” pintamu pada Kaas.

Sesaat kau menahan napas. Kau tidak hanya menunggu jawaban. Kau juga sedang menunggu ekspresi puasnya saat meminum teh racikanmu petang itu, memastikan tidak ada cela sama sekali dengan hasil kerjamu. Kaas membuang napas panjang. Ia tampak puas setelah meminumnya, membuatmu sedikit bisa menyunggingkan senyum. Namun, Kaas justru bertanya, “Kenapa harus pindah?”

Kau sudah tahu jawabannya. Kau tak bisa memaksa Kaas meski berulangkali kau utarakan keinginanmu itu. Dalam hati kau membenarkan sikap suamimu, tak ada alasan kuat untuk pindah dari rumah ini. Kesalahpahaman orang-orang khususnya tetangga sekitar akan sirna seiring berjalannya waktu. Kenapa harus takut jika memang tak berbuat salah.
 
 “ADEL GAK MAU PULANG,” rengek Adel saat kau berusaha membujuknya untuk pulang.
Kala itu, kau begitu bahagia. Momen sebelum kejadian yang membuat segalanya berubah,  tiap sore anak-anak tetangga memenuhi rumahmu. Adel yang terkecil di antara mereka. Kau tak sampai hati memaksanya pulang, meski langit mulai gelap, hanya tinggal Adel seorang diri. Kau  biasa mengantarnya pulang, namun tidak sore itu. Ibunya pasti sedang menunggu kedatanganmu bersama Adel di rumahnya. Kau merasa tidak enak badan dan kepalamu berdenyut-denyut.

“Tidurlah sebentar. Aku yang akan menjaganya,” Kaas menyuruhmu.
Kaas tahu istrinya butuh istirahat. Rasa pusing membuatmu terlelap beberapa saat lamanya. Namun, kau terbangun oleh tangisan Adel, juga suara wanita itu.
“Kurang ajar!” teriak ibu  Adel, setelah mengambil alih tubuh Adel yang polos tanpa sehelai benang pun.
 “Ibu salah paham,” Kaas membela diri dengan suara tercekat.
Dadamu berdetak kencang, tak mengetahui apa yang sudah terjadi. Kau merasa telah melewatkan sesuatu. Mulutmu menganga ingin berkata, namun kau sendiri juga terkejut melihat pakaian Adel lengkap dengan pakaian dalamnya tergeletak di atas lantai.
“Apa yang terjadi, Mas?” Kau hampiri Kaas yang kebingungan.
“Suamimu hendak memerkosa anakku!” sahut wanita itu, membuatmu lemas seketika.

Kaas berusaha menjelaskan pada orang tua Adel, namun kepalamu  makin pening dan hanya bisa mendengar pertengkaran itu dengan samar. Bocah itu basah kuyup setelah menumpahkan sebotol air mineral. Suamimu menanggalkan pakaiannya agar ia tidak kedinginan, lalu melumurkan minyak telon ke sebagian tubuhnya. Namun, apa yang dilihat orang tua Adel tidak seperti yang sebenarnya. Wanita itu tak menaruh rasa percaya. Ia pergi membawa pulang anaknya dengan marah.

Meski sudah diselesaikan secara kekeluargaan,   sebagian tetangga memperpanjang urusan itu. Nama Kaas tercoreng. Rumah tangga kalian kerap kali menjadi bahan perbincangan. Sering kali kau mendengar sindiran ibu-ibu yang sedang merumpi dan sengaja ditujukan padamu. Hubunganmu dengan Kaas mulai memburuk. Dengan susah payah kau ingin memercayai suamimu. Namun, ketakutanmu selama ini seolah terjadi. Dari dulu kau selalu takut Kaas akan melenceng. Penyakit kronis membuatmu tak lagi dapat melayani suamimu.

“Aku tidak pernah berbuat senista itu,” Kaas membela diri saat peristiwa memalukan itu.
Kau camkan selalu kalimatnya. Kau berusaha memercayai, memutar ulang suara Kaas dalam kepalamu. Namun, tidak semudah itu. Kau membutuhkan waktu untuk membuktikan ketulusan lelakimu. Sejak peristiwa itu, lebih banyak kebisuan yang ada di antara kalian.

Pertengkaran demi pertengkaran terjadi hampir  tiap hari. Rumah tanggamu berada di ujung tanduk, membuat tubuhmu kian melemah. Kesehatanmu memburuk. Kau harus bergelut melawan rasa nyeri yang hebat di organ indung telurmu. Tidak hanya itu. Sakit kepala, diare dan mual serta nyeri di tulang belakang bagian bawah membuatmu tersiksa. Pikiranmu juga terkuras oleh rasa curiga tak beralasan. Ketakutan akan kehilangan orang tercinta justru membentangkan jarak antara kalian berdua.

Suatu pagi kau tidak bisa bangun dari tempat tidur, dan juga hari-hari berikutnya. Kau seperti kehabisan tenaga. Obat penawar nyeri pun menjadi santapanmu  tiap hari. Pil pahit harus kau telan. Di suatu malam, Kaas terbangun oleh teriakanmu akibat menahan nyeri yang menghebat. Kaas kelimpungan dengan tubuhmu yang mendadak demam.

Makin lama kau merasa tidak berguna di mata Kaas. Di hari-hari berikutnya kau hanya bisa tidur beberapa jam saja. Wajahmu terlihat kusut. Ia yang selalu menggosok punggungmu tiap malam agar bisa terlelap. Meski nyeri di punggungmu tak berkurang, namun tangan hangatnya bisa menenangkanmu.
“Maafkan aku, Mas,” hanya itu yang mampu kau ucapkan, meski rasa bersalahmu tak kan bisa mengubah keadaan.

Kaas tak menjawab. Ia terus menggosok punggungmu tanpa ekspresi. Mungkin Kaas lelah. Sering kali kau melihatnya tanpa ia sadari sedang termenung seorang diri, saat ia mengira dirimu sedang terlelap.
 
KAU TATAP WAJAH suamimu yang tengah termenung di kaca jendela, tempat yang menjadi favorit kalian di sore hari. Namun, Kaas duduk seorang diri. Ia melakukan hal yang kerap kali kau lakukan, menatap keceriaan anak-anak dari kejauhan. Mainan-mainan plastik teronggok dan berdebu. Benda-benda itu tak pernah tersentuh lagi. Bola-bola plastik itu, prosotan, dan juga ayunan mematung di sudut ruangan. Sama seperti lelakimu yang kian sering mematung.
Kini, kau tak lagi dapat menggelayutkan tanganmu pada pundaknya yang kekar, juga tak mampu membenamkan wajahmu pada dadanya yang bidang. Kau hanya bisa menangis dari tempatmu berdiri saat ini, menyaksikan kebisuan dan kesepian yang terbaca dari raut wajah lelakimu.

Kaas masih menikmati tehnya seorang diri. Teh dengan merek sama seperti yang selalu kau sediakan di rumah. Kau masih mencemaskan satu hal, apakah Kaas mampu membuat teh yang jernih hingga tak ada satu ampas pun yang menari-nari di permukaan cangkirnya. Kau merasa telah gagal menjadi seorang istri, yang tak bisa memenuhi kebutuhan lelakimu lahir dan batin. Yang membuatmu berusaha menjadi sempurna di segala hal. Kini kau benar-benar percaya padanya, bahwa ia benar-benar setia. Namun, terlambat. Penyakit kronis telah membuat jiwamu melayang. Kaas harus mengadakan jamuan teh untuk dirinya sendiri.

Kau berusaha menggelayut manja pada pundaknya, seperti yang biasa kau lakukan dulu. Namun, kau tak dapat lagi merasakan kehangatan raganya. Yang kau rasa hanya kehampaan. Kaas menoleh, membuatmu tersentak. Seolah Kaas bisa merasakan kehadiranmu. Namun, Kaas segera bangkit untuk membukakan pintu pagar. Seseorang membunyikan bel rumahmu, mengganggu suasana soremu dan membuatmu bertanya-tanya. Siapa gerangan? Sesosok wanita sedang berdiri anggun di depan rumahmu, membuat senyum Kaas mengembang. (f)
 
 ***
Rosita Dani
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?