Fiction
Lamanda Ingin Memetik Peony [3]

15 Aug 2016



Bagian 3 (Tamat)
Kisah sebelumnya:
Pasangan Lamanda dan Jean memiliki teman masa kecil bernama Miluli, yang menghilang. Dari koran, Lamanda mengetahui bahwa Miluli ditemukan tewas terbunuh di tangan suaminya, dan meninggalkan anak, Peony. Keinginan Lamanda untuk mengadopsi Peony tidak disetujui Jean. Tapi, Lamanda tak peduli akan penolakan Jean.
 
Jean sudah siap-siap ke kantor ketika Lamanda membuka mata. Ia tertidur nyaris menjelang subuh. Diperhatikannya punggung Jean yang makin besar. Dulu ia suka sekali naik ke punggung itu.
Betapa akrab mereka dulu, pikirnya, juga manja. Bukan. Ia tidak manja. Hanya saja Jean mencoba memanjakannya kala itu. Lelaki itu terkadang menganggapnya sebagai seorang adik. Dan Jean senang  mengajaknya bermain-main. Semua pasangan mungkin pernah melewati masa-masa yang menyenangkan.
            “Kemarin menyenangkan?” tanya Jean, seolah ia bertanya dengan perasaan yang dibuat berjarak.
            “Kalau saja kau ikut, Jean.” Lamanda menyibakkan selimut dari tubuhnya.
            Jean tidak berkata lagi. Ia memasang dasi dengan cepat. Merapikan rambut. Menyemprotkan parfum aroma rempah. Lalu ia keluar. Lamanda menyusul dengan mata yang masih berat. Disusulnya Jean ke dapur. Lelaki itu mengambil dua lembar roti tawar dan melumurinya dengan selai kacang.
            “Kita membutuhkan roti yang baru,” keluh Jean.
            “Nanti aku akan singgah ke toko roti.”
            “Sepertinya aku tidak akan pernah menyukai anak itu,” kata Jean tiba-tiba melompat ke topik lain.
            Lamanda menatap Jean.  “Kau  membuatku sedih, Jean,” katanya.
Ia ingat senyum dan gigi Peony. Ia ingat dirinya ketika seusia itu dan tak satu orang pun ketika itu yang meraih  tangannya dan berkata, “Jangan takut, kau tidak sendirian.” Ia hanya punya senyuman. Maka, ia pun banyak-banyak tersenyum dan itu membuatnya tidak takut lagi. Ia bahkan tidak menangis ketika ayah dan ibunya mengajaknya bicara dan menjelaskan  bahwa mereka  tidak akan tinggal bersama-sama lagi. Ayahnya akan pergi dari rumah dan tidak tiap hari bisa menjenguknya.
            “Anak yang kuat,” kata ayahnya waktu itu.
            Dan ia tersenyum. Bahkan ketika ayahnya memeluknya sambil menangis, ia tetap hanya tersenyum. Ia mau ayahnya mengingat senyum dan giginya, itu saja. Ia tak mau membuat ayahnya bertambah sedih.
            Barangkali itu pula yang dilakukan Peony kepadanya. Gadis kecil itu tak mau memperlihatkan banyak kesedihan padanya. Gadis itu ingin ia hanya mengingat senyumnya. Namun, Jean sudah membuatnya putus asa pagi ini. Jika Jean tidak bisa menerima Peony, bagaimana mungkin gadis itu bisa memasuki rumah mereka dan menjelma sungai dan mendatangkan ikan-ikan dan lumut yang cantik?
            “Kau akan terlambat kalau terus  melamun,” tegur Jean. Tak lama yang terdengar hanya suara Jean mengunyah roti. Kadang-kadang Lamanda berpikir, alangkah beruntungnya menjadi seorang Jean yang tidak satu masalah pun bisa memengaruhi selera makan dan tidurnya. Bagi Jean dunia ini  tetap saja berjalan seperti biasa dan disikapi dengan cara yang sama, meski ia sakit atau kesepian atau yang lebih dari itu sekalipun. Itu pula mungkin yang membuat tubuh Jean makin membesar. Namun, bahagiakah Jean?
            Lamanda berbalik ke kamar lagi. Ia ingat ada beberapa janji hari ini. Ia sedang menangani beberapa kasus. Ia mendampingi seorang perempuan korban trafficking. Laporan sudah lama masuk ke kepolisian, tapi sampai hari ini belum ada perkembangan. Kasus lain, pelecehan seksual terhadap bocah sekolah dasar yang dilakukan orang dekat korban. Kasus lain masalah kekerasan dalam rumah tangga --dan kasus itu yang paling banyak muncul akhir-akhir ini.
Selintas Lamanda ingat lagi pada Peony. Gadis itu tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan dalam rumah. Ibunya yang terluka membesarkannya dengan perasaan-perasaan suram dan gelap. Sampai kemudian, suatu pagi, Peony menemukan ibunya tertidur sangat nyenyak dan tidak bangun lagi. Sampai hari ini, menurut pengelola penampungan, Peony masih merasa ibunya sedang tidur dan ia sering memetiki bunga cempaka sebagai hadiah jika ibunya terbangun nanti.
Lamanda tahu, itu pula yang membuat Jean keberatan jika mereka harus mengadopsi Peony. Peony tidak hanya memiliki kaki palsu, tapi juga hati yang retak. Jean sering bilang kalau ia tak suka hidup bersama orang yang hatinya retak. Seseorang yang memiliki kecenderungan hidup murung. Mungkin Jean tidak tahu, kalau sebenarnya Lamanda juga memiliki hati yang semacam itu, tapi ia mampu menyimpannya dalam-dalam.   
            Terdengar Jean menerima panggilan telepon. Terdengar Jean pamit berangkat sambil terus bicara dengan orang di telepon dan Lamanda belum sempat menjawab ketika mesin mobil Jean meninggalkan garasi.
            Lalu Lamanda merasa sangat lengang. Seperti garis lurus yang panjang dan kaku. Membuat Lamanda beberapa saat tak bergerak, tak segera beranjak.
 
***
            Kantor lembaga bantuan hukum tempat Lamanda bekerja terletak di pusat kota. Sebuah ruko berlantai tiga yang disulap jadi kantor. Seorang perempuan sudah menunggu kedatangan Lamanda di kursi tamu. Ia aktivis dari sebuah lembaga perempuan yang selama ini banyak mengawal kasus-kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Mereka memang sudah membuat janji untuk membicarakan perkembangan beberapa kasus yang sedang berjalan dan juga tentang Peony. Perempuan itulah yang menitipkan Peony di rumah penampungan. Lamanda membawa temannya ke ruang kerja di lantai dua. Sambil berjalan mereka berbincang-bincang santai.
            Ruang kerja Lamanda langsung menghadap ke jalan. Di balik kaca jendela yang bening, langit tampak putih. Lamanda selalu suka membuka tirainya lebar-lebar agar ia merasa tidak terpisah dari langit atau ruang yang mengambang di luar. Ia boleh berada di kantor yang mirip kotak, tapi jiwanya menembus jendela bening itu dan merayakan kebebasannya.
            “Minggu ini padat sekali,” kata Lamanda tidak bermaksud mengeluh.   
            Lusi tersenyum kalem. Perempuan yang memilih tidak menikah di usianya yang ke-47. Mereka bertemu di sebuah acara seminar, dua belas tahun lalu.
Wajah Lusi lebar dan memiliki mata yang cukup besar. Lamanda ingat kata ibunya, wajah lebar menandakan keluasan hati. Lamanda menemukan keluasan hati itu pada diri Lusi. Ia banyak membantu perempuan, terutama anak-anak korban pelecehan seksual dari kalangan bawah. Itu pula yang membuat mereka bisa menjadi teman. Pertemanan yang kemudian membawa mereka terlibat dalam sebuah pekerjaan bersama.
Bagi Lamanda, membantu orang-orang yang tidak mampu merupakan ekspresi dari kebaikan hatinya. Ia senang menjadi relawan, menjadi orang yang berada di depan untuk sebuah keadilan yang sering tidak berpihak pada orang kecil.  
            Seorang karyawan dari pantry mengantar dua cangkir teh panas. Lamanda mengempaskan tubuhnya di sofa, diikuti tamunya yang tampak segar. Ah, Lusi memang tak pernah menunjukkan wajah lelah dalam situasi apa saja, terlebih bila di hadapan Lamanda.
            “Bagaimana Peony?” tanya Lusi tiba-tiba, seakan wajah Peony baru saja melintas di depan matanya.
            Lamanda menarik dan melepaskan napas, “Dia sudah banyak tersenyum, bahkan sedikit lebar dari yang kuharapkan darinya.”
            Mata Lusi bersinar cerah, “Pertama kali dibawa ke rumah penampungan, ia menghindari semua orang.”
            “Sayang sekali Jean belum membuka dirinya.”
            “Kalau tidak ada keluarga yang menjemputnya, ia akan dipindahkan ke panti asuhan.”
            “Aku masih berharap ia akan bersama kami.”
            Lusi mengangkat cangkir teh dan menyesapnya. Ia menyukai minum teh di ruang kerja Lamanda. Tiap ia datang, karyawan pantry seolah sudah tahu minuman terbaik yang ingin ia nikmati. Tak lama, Lusi membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa bundalan kertas.
            “Kalau kita lengah, kasus-kasus ini bisa saja menguap begitu saja,” desisnya.
            Lamanda paham apa yang dirisaukan temannya itu.
 
***
            Suatu ketika mereka berada di jalan dan matahari berada tepat di atas kepala. Matahari yang memancarkan warna merah. Ada berlapis-lapis barisan perempuan di jalan itu. Mereka yang mencoba bertahan dan melawan. Lamanda senang berada di antara mereka dan itu pengalaman pertamanya berada di antara para perempuan yang saling menggenggam tangan dan meneriakkan keadilan.
            “Kita dilahirkan dalam masyarakat yang tidak berpihak pada dunia perempuan,” kata Lusi dalam banyak perbincangan mereka.
            Ya, aku tahu, pikir Lamanda. Ia tahu betul bagaimana mitos-mitos diciptakan bagi perempuan. Mitos yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang memang seharusnya. Perempuan harus bersikap lembut. Perempuan harus melayani. Perempuan sebaiknya berada di ruang belakang tempat ia tidak perlu bertemu siapa-siapa dan menghabiskan usia dengan ember-ember penuh cucian dan dapur yang menguarkan aroma minyak goreng.
            Aku tidak suka semua itu, Lamanda melepaskan diri dari mitos-mitos yang membelitnya.
            Lamanda berlari. Kaki-kakinya melayang dan kedua tangannya menjelma sayap.
Dan hari itu Jean mengamatinya diam-diam. Ia berdiri di barisan yang tidak jauh dari tempat Lamanda berdiri bersama perempuan lain. Jean yang di kesempatan berikutnya berhasil menangkap tangannya dan Lamanda tidak bisa lari lagi.
            “Kau?” seru Lamanda.
            “Jean temanku,” kata Lusi. “Ia sering ikut aksi bersama kami.”
            Lamanda tidak memberi tahu Lusi bahwa mereka teman lama hingga berbulan-bulan kemudian. Mereka bertiga sering bertemu. Menghabiskan akhir pekan bersama untuk membahas segala sesuatu yang mereka anggap menarik. Pertemuan yang mengingatkan Lamanda pada pertemanannya dengan Jean dan Miluli di masa lalu. Lama-lama, hanya Jean dan Lamanda saja yang bertemu. Mereka ingin menebus waktu yang sekian lama terbuang.
***
            “Aku akan coba bicara pada Jean,” janji Lusi sebelum meninggalkan Lamanda.
            Lamanda memandang haru. Ia belum pernah berpikir bahwa ia butuh seseorang untuk meyakinkan Jean.
            “Sebab aku peduli pada Peony,” tambah Lusi. “Semua anak seharusnya mendapatkan tempat terbaik dan Peony sudah tepat jika bersama kalian.”
            Sungguhkah ia bisa berharap pada Lusi? Lamanda bertanya dan kembali bertanya dengan kalimat yang sama dalam kepalanya.
            Sepeninggal Lusi, Lamanda terdiam di kursi dan ia memandangi kuku-kukunya yang agak panjang. Tentu ia sengaja memanjangkan kuku-kuku itu. Ia masih punya janji dengan orang lain, tapi ia belum hendak memikirkannya. Sekarang, aku ini milikku saja, katanya. Hanya saja, ponselnya keburu berbunyi dan di layar ia membaca nama pengelola penampungan tempat Peony dititipkan.
 
***
              Peony meringkuk di sudut kamar ketika Lamanda mendatanginya. Tubuhnya yang kecil mirip seekor serangga yang baru menabrak kaca. Ia remuk. Terluka. Tidak berdaya. Sementara orang-orang menontonnya saja. Tak melakukan apa-apa karena kebingungan. Pengelola penampungan sudah bercerita singkat kepada Lamanda soal apa yang terjadi. Gadis kecil itu tiba-tiba mengamuk. Ia merusak barang-barang sambil berteriak-teriak. Di sela teriakannya, ia menyebut kata ‘mama’ beberapa kali.
            “Ia berusaha mengeluarkan apa yang ia rasakan,” desah Lamanda risau.
            Dan sekarang gadis itu mengangkat wajahnya dan memandang Lamanda yang berdiri dekat pintu. Tak lama, ia pun menangis. Saat itulah Lamanda mendekat. Membelai rambutnya. Membiarkan wajah Peony tenggelam dalam pelukannya.
            “Aku ta-kut,” kata Peony tersendat. 
            Lamanda menepuk-nepuk lembut punggung Peony. “Tenanglah,” katanya. “Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”
            Siang tadi Peony memetik bunga cempaka seperti biasa sebelum ia membuat keributan. Ia mengumpulkan kelopak-kelopak cempaka ke dalam telapak tangannya. Tak jarang ia mesti berjingkat untuk menjangkau bunga yang cukup tinggi.
Di rumah penampungan, hanya Peony yang memetik bunga cempaka itu. Namun, seorang anak lain rupanya ikut tertarik ingin memilikinya. Anak itu merebut bunga di telapak tangan Peony. Gadis kecil itu kaget dan mulai berteriak-teriak. Ia menyeret kakinya ke kamar dan menghancurkan apa-apa yang ada di dalamnya.
            “Ia marah karena tidak bisa mempertahankan diri,” ucap Lamanda kepada pengelola rumah penampungan. “Ia kehilangan seorang ibu dengan cara yang melukai hatinya dan akan dia tanggung seumur hidup.”
            “Semua anak-anak di sini memiliki hati yang terluka.”
            “Benar,” kata Lamanda. “Tapi, kasus Peony melampaui yang mampu ia terima. Ia sudah lama menjadi korban kekerasan. Lalu ia kehilangan seorang ibu dengan cara yang tragis. Itu membuatnya sangat sensitif.”       
Pengelola penampungan mengangguk. Ia sudah biasa berhadapan dengan berbagai karakter anak di rumah penampungan. Jika ia menghubungi Lamanda, karena ia tahu gadis kecil itu membutuhkan tangan yang hangat untuk menenangkannya. 
 
***
            Lamanda dan Jean duduk berhadapan di meja. Lampu jatuh redup di wajah mereka. Dulu, jika ingin bertengkar, mereka akan melakukannya di tempat ini. Setelah sekian lama, kini mereka duduk kembali di sini.
Sejak sore Lamanda mengatur meja dan kursi di taman belakang. Ia tidak menambah lampu sebab mereka membutuhkan cahaya yang redup saja. Tempat mereka tak perlu saling masuk terlalu dalam ke ceruk mata. Tempat mereka masih bisa bersembunyi jika serangan yang diterima terlalu keras.
            “Aku sudah tidak tahan denganmu,” ujar Lamanda memulai dan itu pengakuan paling jujur darinya yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Ada banyak orang menunggu kesempatan bicara apa adanya setelah merasa punya alasan kuat untuk melakukannya. 
            Langit penuh cahaya kecil. Bintang-bintang muncul di malam tiga belas. Berapa lama mereka tidak melihat langit seperti dulu?
Jean mengalihkan matanya dari langit itu ke rambut Lamanda yang gelap, lalu ke sepasang alis. Dulu sepasang alis itulah yang paling ia sukai dari Lamanda. Alis yang menunjukkan pemiliknya keras hati dan pemberani. Banyak lelaki menyukai perempuan yang senang dilindungi. Perempuan yang menganggap lelaki lebih tinggi darinya. Jean berbeda. Ia sangat terkesan pada perempuan-perempuan yang bisa membela dirinya sendiri. Atau mungkin saja karena Jean sudah telanjur menyukai Lamanda dan ia menilai perempuan dari apa-apa yang ada dalam dirinya. Jean tidak mampu menghentikan perasaan itu.
            “Kau tidak mendengarku?” tegur Lamanda gusar.
            “Aku mendengarmu,” ujar Jean.
            “Lama-lama kita jadi sepasang benda saja, Jean.” Lamanda memainkan serpihan yang ia tarik dari pinggir meja, “dan bukan hidup seperti itu yang kubayangkan.”
            “Dulu kau ingin kita punya rumah kecil dan halaman belakang yang luas tempat kita sering duduk di sana. Kau ingin belajar membuat kebun dan kau bertanam sayuran di sana. Kita hanya mau hidup berdua saja. Percayalah, kita pernah benar-benar punya kehidupan seperti itu dan bahagia.”
            “Sekarang tidak lagi.”
            “Itu karena kau menginginkan Peony.”
            “Jean, ini bukan semata soal Peony.”
            Mata Jean menatap mata Lamanda.
            “Aku lelah,” suara Lamanda serak. “Aku mengira, kehadiran Peony akan menebus banyak hal dalam hidup kita. Nyatanya, aku salah. Kau tidak menginginkannya.”
            “Aku tak bisa hidup dengan seseorang yang akan terus mengingatkanku pada Miluli.”
            “Bukan itu saja, Jean. Kau tidak mau punya anak berkaki palsu.”
            “Tuduhanmu kasar sekali.”
            “Kau hanya tidak mau mengaku.”
            Jean dan Lamanda sama-sama mendongak ke langit. Ada bulan, menggantung. Bulat dan berwarna kemerahan. Kapan bulan itu tepat di atas kepala mereka?
            “Aku tidak bisa membiarkan Peony tinggal di panti asuhan,” Lamanda tetap memandangi bulan. “Apa kita harus berpisah agar Peony bisa bersamaku?”
            “Itu kekanak-kanakan.”
            “Sudah kukatakan, aku tidak tahan lagi dengan hidup kita, Jean.”
            “Baiklah,” suara Jean sedikit tertahan, “bawalah ia ke rumah kita.”
            Semudah ini? tanya Lamanda dalam hati. Ia tercenung lama sebelum tangisnya meledak. Jean mengelus punggung tangannya di atas meja. Membiarlan Lamanda mengeluarkan seluruh emosinya lewat tangisan yang agak panjang. Lelaki itu tak bicara apa-apa lagi, bahkan berjam-jam kemudian saat mereka masuk ke rumah.
 
***
            “Cepatlah, Jean, kita akan terlambat,” Lamanda berteriak dari muka pintu utama. Jean masih di kamar, merapikan gulungan tangan kemeja. Hari ini, mereka akan menjemput Peony. Pengelola rumah penampungan sudah diberi tahu tadi pagi dan Peony sudah bersiap menunggu mereka.
            Akan tetapi, ponsel Lamanda berbunyi dan di layar muncul nama pengelola penampungan. Bunyi yang tergesa dan mendesak. Bunyi yang membuat hati Lamanda berdesir. “Jean…,” panggilnya serak. (Tamat)
***

YETTI AKA


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?