Fiction
Lamanda Ingin Memetik Peony [2]

15 Aug 2016



Bagian 2

Kisah sebelumnya:
Pasangan Lamanda dan Jean  memiliki teman masa kecil bernama Miluli, yang menghilang. Dari koran, Lamanda  mengetahui bahwa Miluli ditemukan tewas terbunuh di tangan suaminya, dan meninggalkan anak, Peony. Keinginan Lamanda untuk mengadopsi Peony tidak disetujui Jean.
 
 
Lamanda pernah tidak menyukai anak kecil, dan karena itu ia merasa bisa berjalan bersama Jean. Di awal pernikahan, ia dan Jean sepakat untuk tidak memiliki anak. Dunia ini sudah dipenuhi anak-anak, kata Lamanda waktu itu. Dan kita tidak perlu menambahnya. Jean setuju dengan pikiran Lamanda.
Mereka sebenarnya sedang saling menyembunyikan alasan yang sesungguhnya bahwa mereka menginginkan hidup yang  santai dan tidak diganggu oleh anak-anak. Mereka tidak ingin repot. Maka Jean  melakukan vasektomi. Sebelas tahun sudah. Dan waktu ternyata mengubah apa-apa  yang sebelumnya tidak mereka inginkan. Di rumah, mereka mulai merasa tidak lengkap, seolah ada lubang kosong yang seharusnya diisi oleh seseorang. Lubang yang lama-lama makin membesar.
            “Malaikat kecil yang cantik,” kata Jean waktu itu.
            “Seorang anak?!” seru Lamanda dengan nada tanya.
            “Seorang anak perempuan.” Mata Jean memancarkan binar.
            Lamanda menggeleng putus asa, “Tapi, Jean…” Betapa gugup Lamanda membayangkan kehamilan. Persalinan. Rumah sakit. Betapa ia tidak menyukai seragam perawat dan dokter. Gunting. Infus. Bau obat-obatan. Seumur hidupnya, ia belum pernah dirawat di rumah sakit.
            “Kita hanya perlu mencari dan menemukannya.”
            Mata Lamanda terbuka lebar. Ia  mengerjap satu kali sebelum memeluk Jean. Ya, tentu saja mereka bisa menemukan bayi perempuan yang indah. Orang-orang meninggalkan bayi di mana-mana: rumah sakit, panti asuhan, bahkan di jalan. Saatnya tangan mereka memeluk salah seorang bayi itu dan mengisi lubang kosong di rumah.
            Mereka mulai mengunjungi beberapa panti asuhan. Mencari bayi perempuan yang berumur hitungan bulan. Mereka  bahkan sudah menyiapkan kamar bayi itu. Menata lemari dan tempat tidur. Jean membeli sejumlah boneka sepulang dari kantor. Menghiasi dinding dengan stiker-stiker lucu. Mereka sudah menghubungi penyedia jasa babysitter. Namun, bayi yang diinginkan tak kunjung mereka temukan. Tiap melihat bayi-bayi itu, mereka tiba-tiba menjadi gugup dan tidak siap. Merasa kalau keinginan mereka sesuatu yang salah.
            “Seharusnya kita tidak mencari bayi, melainkan seorang anak perempuan,” kata Jean. “Betapa susahnya mengurus bayi. Kita kehilangan malam yang tenang. Kehilangan pagi yang seharusnya hening. Tangis bayi akan memenuhi rumah kita. Tanpa kenal waktu.”
            Dengan cara tidak terduga, dan dalam kesedihan yang demikian basah, Lamanda pun dipertemukan dengan  Peony dan ia langsung tahu bahwa gadis kecil itu yang tengah menunggunya selama ini. Gadis yang lahir dari rahim Miluli, teman baiknya. Gadis yang menghubungkannya kembali dengan masa lalu.
Namun, Jean tidak bisa mengerti perasaan Lamanda. Jean tidak bisa menerima. Peony memiliki satu kaki palsu dan Jean merasa itu akan membuat mereka sedikit kerepotan. Sesungguhnya bukan itu yang dikhawatirkan Jean, melainkan ia belum bisa membuang mimpinya tentang seorang malaikat cantik yang menari dalam rumahnya.
Peony bukan tidak cantik, hanya saja kaki palsu itu meruntuhkan imajinasi Jean dan itu akan membuatnya sedikit  tergores. Itu pun tetap saja bukan alasan utama. Ada hal lain yang disembunyikan Jean, tapi Lamanda dapat menduganya: karena Peony gadis kecil yang lahir dari rahim seorang  Miluli. Sementara bagi Lamanda, menemukan seorang anak sangat berhubungan dengan apa yang dikatakan hatinya. Hatinya berkata: genggamlah tangannya, Lamanda, genggamlah.
 
***
            Di kebun binatang, mereka berdiri dekat kandang rusa dan Lamanda tetap menggenggam sebelah tangan Peony. Gadis kecil itu tak berhenti menatap rusa-rusa yang memiliki bintik-bintik putih besar di seluruh tubuhnya. Mereka bergerombol. Satu ekor rusa tidur di sudut, dekat bak makanan. Matanya tampak mengantuk atau mungkin saja sedang lelah.
            “Kaki rusa itu sakit,” desis Peony tiba-tiba dengan mimik gelisah. Ia melepaskan tangan dari Lamanda dan meremas-remas bajunya. Peony jarang tersentuh pada sesuatu yang tidak ada hubungan dengannya. Ia tidak terlalu peduli pada sekitar. Bukan karena tinggi hati, melainkan ia tengah  melindungi dirinya sendiri. Ia tidak punya siapa-siapa. Sementara hatinya amat mudah terpengaruh oleh kejadian-kejadian tertentu yang membuatnya panik.
            Lamanda mengelus punggung gadis kecil itu, “Rusa itu baik-baik saja. Tidak sakit. Hanya kelelahan,” ujar Lamanda, mencoba  menenangkan.
            “Kakiku sakit,” suara Peony terdengar lirih. “Seperti kaki rusa itu.”
            “Tidak, tidak,” Lamanda berusaha menenangkan. “Kaki rusa itu tidak sakit. Kakimu juga tidak sakit lagi. Sekarang semuanya sudah baik. Kau punya kaki baru yang kuat.”
Lamanda sudah tahu bagaimana kaki Peony digantikan kaki palsu. Umur tiga tahun, mobil mereka kecelakaan, menabrak pohon. Sebelah kaki Peony terjepit dan remuk. Sejak itu pula papa  Peony menyalahkan dirinya sendiri seumur hidup dan mulai menjadi lelaki yang tidak bisa menahan kemarahannya. Sejak itu pula bara menyala dan membesar di rumah mereka.
Pertengkaran demi pertengkaran bercampur aduk dengan kesedihan yang membuat mereka tidak pernah lagi bahagia. Papanya mulai memukul orang-orang di rumah bila ia marah. Peony kadang-kadang juga menjadi sasaran. Tiap melihat Peony, papanya seolah sedang dihukum dan itu membuatnya menjadi lepas kontrol. Benda-benda melayang  tiap hari. Pecah di lantai. Berhamburan hingga ke halaman. Satu bulan lalu, puncak tragedi itu terjadi. Pertengkaran hebat yang berujung pada kematian Miluli. Sampai hari ini papa Peony belum ditemukan.
            “Kita pergi,” terdengar suara Peony, serak dan bergetar. Ia tampak layu. Kakinya bergerak kaku dan lambat. “Kakiku sakit. Kakiku sakit. Kaki rusa sakit.”
            Lamanda memapah tangan gadis kecil itu. Betapa ingin ia melihat Peony tersenyum dan menampakkan gigi-giginya lagi. “Apa kita harus makan gulali?” Lamanda tahu dari ibunya,  hati anak-anak yang sedih dan kacau bisa diobati dengan makanan yang sangat manis. Oleh sebab itu pula, ibunya suka membuat kue-kue dengan banyak gula, lalu menyimpannya di stoples-stoples yang disusun di atas lemari.
            Detik pertama, kedua, Peony tak bereaksi, detik ketiga, Peony mengangguk.
            “Mama pernah membelikan aku gulali. Papa merebutnya. Membuangnya ke tempat sampah.” mata Peony berkaca-kaca. “Mama marah. Papa memukul Mama karena ia tak suka Mama yang marah.”
            “Itu karena mamamu sangat menyukai gulali,” lirih suara Lamanda.
            Lamanda tidak pernah lupa, hari itu mereka masuk sekolah setelah libur cukup panjang. Untuk pertama kali, mereka melihat penjual gulali berdiri dengan gerobaknya di dekat gerbang sekolah. Penjual gulali itu seperti seorang kurcaci yang menawarkan kebahagian pada anak-anak. Kebetulan pula tubuhnya sangat kecil dan kakinya pendek sekali. Di saat semua orang merasa takut untuk mendekat ke si penjual gulali itu, Miluli justru maju, mengambil sebungkus gulali merah muda yang tergantung di bawah atap gerobak dan membayar. Setelah itu, anak-anak meniru Miluli dan ramai-ramai makan gulali.
            “Mamamu penyuka gulali sepertiku.” Dalam hati Lamanda meneruskan, Seperti Jean yang sangat menyukai es krim.
Kalau saja Jean ada di sini, pikirnya. Mereka bisa makan gulali dan es krim bertiga. Seperti dulu: Jean, Lamanda, dan Miluli. Mereka saling mencoba gulali dan es krim. Berapa lama Jean tak makan es krim dan gulali di waktu bersamaan, padahal dulu, kata Jean, ia sangat suka berada di antara orang-orang yang menyukai rasa manis. Karena itu pula, di sekolah, Jean lebih sering bersama Miluli ketimbang Lamanda, sebab mereka berdua seru sekali dan tertawa tiada henti jika sudah membincangkan makanan anak-anak itu. Sementara Lamanda lebih suka membayangkan kue-kue ibunya --dan hanya sesekali saja betul-betul kepingin gulali.
Ah, berapa lama pula ia tidak tertawa bersama Jean?
Lamanda mulai mengingat-ingat kehidupan mereka belakangan ini. Pagi-pagi Jean siap-siap ke kantor. Begitu juga Lamanda. Mereka berebutan ke kamar mandi. Tak jarang Jean meneriakinya bila ia tak juga keluar dari kamar mandi dengan alasan ia harus tiba di kantor pagi-pagi sekali. Mereka nyaris tak pernah lagi sarapan bersama seperti di awal-awal menikah dulu. Jean pergi ke kantor dengan mobilnya. Lamanda menunggu mobil jemputan kantor.
Akhir pekan, Lamanda lebih banyak pergi ke acara-acara yang mengangkat isu perempuan dan hukum atau ke salon atau bertemu teman-teman dan makan di kafe. Jean sibuk dengan kegiatan olahraga, terutama futsal, dan belakangan bersama burung-burungnya. Apa yang tersisa dari yang dulu pernah mereka miliki?   
            “Tidak ada,” ujar Jean. “Pada akhirnya semua berubah.”
            Mereka melewati malam-malam yang hampa. Begitu pagi, mereka menipu diri seolah pekerjaan dapat membuat perasaan baik kembali. Begitu seterusnya. Dari hari ke hari.
Namun, hari ini mereka, tepatnya Lamanda, sudah menemukan mata sungai yang akan mengalir di rumah mereka. Menumbuhkan lumut. Menjadi tempat ikan bermain. Jean hanya perlu memberi kesempatan pada Lamanda untuk meyakinkannya bahwa Peony pilihan yang tepat untuk mereka. Apa salahnya jika Peony menjadi pengganti Miluli dari kehidupan masa lalu mereka dulu?
            “Semuanya pasti akan sangat manis, Jean,” bujuk Lamanda. Ia sudah bicara pada pihak pengelola untuk kemungkinan mengadopsi Peony. Akan ada proses panjang yang dilalui, termasuk berurusan dengan pihak pengadilan, tapi paling tidak mereka dapat memulainya dengan saling menerima dulu.
Lamanda sudah lebih dulu menerima Peony di hatinya. Gadis kecil itu perlahan menunjukkan kalau ia senang bersama Lamanda. Tinggal Jean saja. Lamanda tidak ingin menyerah. Ia tahu, lelaki itu pada saatnya nanti akan membuka hatinya lebih lebar untuk Peony. Saat itu tiba, mereka akan merayakannya dengan pesta kecil di belakang rumah dan tak lupa memberikan tempat bagi Miluli dalam ruang kenangan yang terbaik.
            “Aku ingin Mama di sini,” kata Peony sambil berjalan di sisi Lamanda.
            “Kita semua menginginkan ia masih ada di dunia ini,” timpal Lamanda.
            “Kenapa Mama pergi?”
            Kenapa Miluli memilih pergi? Ia sudah lama bertahan, itu yang Lamanda ketahui setelah mempelajari kasus temannya itu. Ia bukan tidak berjuang untuk dirinya, juga Peony, tapi ternyata ia memiliki batas.
            Siapa yang tahu jalan panjang apa yang akan dilewati seseorang? Miluli sangat menawan. Ia mirip bunga yang tumbuh di sebuah kebun. Cantik. Terawat baik. Ia juga sangat lembut. Sangat baik. Ia hampir tidak punya masalah dalam hidupnya. Sampai ia bertemu seseorang dan kejadian menyedihkan berturut-turut menimpanya dan sejak itu akarnya menjadi kering dan mati perlahan.
            Kalau saja Jean terus bersamanya. Kalau saja waktu itu Jean memilih Miluli, bukan Lamanda.
***
            “Kenapa kau menyukai Jean?” tanya Lamanda.
            Miluli berjongkok dan mengikat tali sepatunya yang lepas. Ia tak segera menjawab pertanyaan Lamanda. Tak lama ia mengangkat muka dan menyunggingkan senyum kecil. “Karena Jean memiliki badan yang besar.”
            Seorang anak, teman satu kelas, lewat di depan mereka. Udara menguarkan bau keringat. Lamanda nyengir sambil memikirkan jawaban Miluli. Badan Jean memang paling besar di kelas. Sebab itu pula ia sering ditunjuk jadi ketua kelas sejak sekolah dasar. Semua orang, khususnya anak perempuan, merasa aman jika berada di dekat Jean. Tidak akan ada anak lain yang berani mengganggu.
            “Aku sering takut diganggu orang. Kalau ada Jean, aku tenang,” ujar Miluli lagi.
            Lamanda tidak takut pada siapa atau apa pun. Ayah mengajarinya untuk selalu berani. Ibu sering membisikinya untuk jadi perempuan yang bisa melindungi diri sendiri. Ibu tidak pernah mengajarinya untuk jadi anak yang manis. Ibunya justru marah kalau ia mengadu soal teman yang nakal. “Hadapi sendiri,” kata Ibu.
            “Kau mengatakannya kepada Jean?”
            Miluli menggeleng, “Tidak.”
            “Kau harus mengatakannya nanti.”
            “Tidak,” kata Miluli sekali lagi. “Perempuan tidak menyatakan perasaan lebih dulu.”
            “Aku mengatakan apa saja yang ingin kukatakan,” tukas Lamanda.
            Wajah Miluli memerah dan kepalanya menggeleng pelan.
            Bel tanda masuk jam pelajaran terakhir berbunyi. Siswa berseragam putih dan biru bersesakan masuk ke kelas. Begitu juga Lamanda dan Miluli. Mereka duduk bersisian. Ketika Jean masuk ke kelas, Lamanda menyenggol tangan Miluli dan dibalas temannya itu dengan cubitan.
            Selepas SMP, mereka tidak satu sekolah lagi, tapi masih sering main bersama. Terkadang, mereka pergi nonton bersama di bioskop atau melihat pertandingan basket atau bahkan main hujan. Sampai Jean meminta Lamanda menjadi pacarnya. Ini salah, tolak Lamanda. Ia tahu kalau Miluli sejak lama menunggu Jean dan membutuhkan perlindungan dari lelaki itu. Miluli yang selembut udara. Miluli yang tidak terbiasa disakiti dan dijaga sangat baik oleh ibunya.
Mereka pun saling menjauh satu sama lain.
            Miluli marah pada Jean dan tidak ingin berteman lagi dengan Lamanda.
            Miluli menangis dan wajah itulah yang selalu diingat Lamanda: wajah yang sangat sedih.
            Ketika masuk kuliah, mereka menetap di kota yang berbeda. Tak lagi saling berkabar, tidak pernah lagi bertemu. Melupakan terkadang cara yang banyak dipilih orang untuk memulai hidup baru dengan orang lain. Begitu juga mereka, sebelum kemudian Jean dan Lamanda bertemu kembali secara tidak terduga.
 
***
             “Kenapa kau menyukai bunga cempaka?” Lamanda memandang Peony yang sedang menjilati gulali merah muda.
            “Kami punya batang cempaka di rumah.”
            “Mamamu menanamnya?”
“Mama memetik bunganya.”
“Kau juga suka?”
“Baunya wangi.”
“Ya.”
“Mama memetik bunganya untuk tempat tidur kami.”
Lamanda mengerti apa yang dimaksud Peony. Ia sudah pernah melihat Peony memetik bunga itu. Bunga cempaka yang ia kumpulkan dijadikan pengharum tempat tidurnya. Dengan cara itu ia mengingat mamanya. Dengan cara itu ia merasa tetap terhubung dengan Miluli dan membagi kesedihan atau ketakutannya.
Sebenarnya, Lamanda tidak pernah tahu kapan Miluli mulai menyukai bunga cempaka. Setahunya, Miluli suka anggrek dan ia punya kebun sendiri di samping rumah. Anggrek yang tidak pernah lupa dibersihkan dan disiramnya sendiri. Beberapa kali Miluli mengajak Lamanda masuk ke kebunnya itu. Lamanda tidak terlalu suka bunga. Ia tidak tertarik memiliki kebun saat itu, apalagi kebun yang penuh bunga. 
            Gulali di tangan Peony hampir habis. Mereka sengaja duduk di bawah pohon di pinggir jalan kecil yang kebetulan cukup sepi. Hanya dua tiga mobil yang lewat selama sepuluh menit mereka di sana. Mereka masih punya rencana lain. Singgah di rumah es krim. Ada banyak pilihan rasa, tapi Peony paling suka rasa stroberi. 
            “Segera habiskan,” Lamanda berkata.
            Peony kembali menjilati gulali merah muda. Tak jarang ia tertawa begitu saja seolah gulali itu menggelitiki lidahnya. Wajah Peony tak lagi sedih. Hanya menyisakan awan tipis dan sebentar lagi pasti lenyap. Lamanda bernapas lega. Ia menginginkan akhir pekan ini mereka lebih bahagia dari sebelumnya.
 
***
            Lamanda pulang sedikit malam. Ia menumpang taksi langganannya. Ia temukan Jean sudah tertidur di sofa ruang tengah. Tempat favorit Lamanda bila ingin membaca. Sofa peninggalan ibunya yang busanya baru saja ia ganti. Angin masuk lewat pintu belakang. Jean pasti lupa lagi menutupnya. Lelaki itu, jika sudah mengantuk, sering lupa memeriksa pintu atau jendela-jendela. Berbeda sekali dengan Lamanda yang selalu berpikir betapa penting memastikan segala sesuatunya terkunci, terlebih di malam hari. Pekerjaan Lamanda membuat ia otomatis terbiasa berpikir tentang keamanannya.
            Jean lupa mandi sore. Baju yang dikenakannya belum diganti. Jean tak pernah   mengganti baju sehabis mandi. Sejak burung itu tiba di rumah mereka, Jean sering kelelahan dan sedikit tak memperhatikan dirinya sendiri. Sungguhkah semua itu karena burung-burung? Atau Jean sengaja membuat dirinya tampak tak terurus dan itu membuat Lamanda jatuh kasihan dan menghentikan pertemuannya dengan Peony di akhir pekan.
            Oh, Jean, desisnya, mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia mendekat kepada Jean. Memanggil nama lelaki itu, pelan. Jean menggeliatkan badannya dan membuka matanya perlahan. “Kau sudah pulang?” tanyanya. “Kenapa tak memanggilku untuk membukakan pintu.”
            “Aku punya kunci sendiri,” kilah Lamanda. “Jean, kau membiarkan pintu belakang terbuka.”
            Jean memiringkan badannya untuk melihat ke arah belakang. Lalu ia menatap Lamanda, “Aku tertidur begitu saja.”
            Lamanda duduk di samping Jean. Ia mengenyakkan tubuhnya dalam-dalam. “Kau harus mandi, Jean.”
            “Ini sudah terlalu malam.”
            “Tapi kau tahu aku tidak bisa tidur bersamamu jika kau tidak mandi.”
            “Aku tahu.”
            “Kau sengaja melakukannya. Kau kesal padaku karena Peony?”
            Jean mengusap wajahnya, “Aku tidak mau membicarakannya malam ini.”
            “Baiklah, Jean.”
            Lamanda meninggalkan Jean. Jean segera merebahkan tubuhnya kembali di sofa. Bagi Jean, malam akan berlalu begitu saja karena ia tipikal orang yang selalu bisa tidur nyenyak dalam situasi apa saja. Bagi Lamanda, malam akan terasa sangat panjang, pikirannya mengembara ke mana-mana, dan baru bisa tertidur menjelang pagi.
            Cepat-cepat Lamanda ke kamar mandi. Ia tak pernah bisa tenang kalau belum mandi. Sejak kecil ia diajari dengan ketat bagaimana menjaga kebersihan tubuhnya. Ibunya tak pernah membiarkan kukunya panjang sedikit saja. Ibunya selalu membuat jam mandi pagi dan sore dan menempelnya di dinding dengan tulisan mencolok. Ibunya menekankan betapa ia akan segera jatuh sakit kalau kotor sedikit saja.  
Tak lama, Lamanda keluar dari kamar mandi dan mengambil piama dalam lemari. Ia memilih motif garis-garis warna cokelat. Hadiah ulang tahun pernikahan dari Jean. Sesuatu yang kecil dan tak pernah lupa Jean berikan kepadanya tiap tahun.
            Jean, batin Lamanda. Lelaki itu benar-benar akan tidur di sofa. Ia mendesah gelisah. Ia memaksa memejamkan mata, meski ia tahu pikirannya akan tetap terjaga. (Bersambung)
 
***
YETTI AKA


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?