Fiction
Lamanda Ingin Memetik Peony [1]

15 Aug 2016


Dalam mimpi, Lamanda melihat Miluli berdiri di depan jendela kamarnya. Ia jarang sekali bermimpi. Bahkan di dalam mimpi itu, ia tak merasa sedang bermimpi dan Miluli benar-benar datang kepadanya.
Teman masa kecilnya itu mengatakan sesuatu padanya, tapi Lamanda sama sekali tidak mengerti. Ia hanya melihat wajah Miluli yang tampak sangat sedih. Wajah yang lebih sedih daripada saat-saat terakhir mereka bertemu.
            Kemudian Lamanda membuka mata dan ternyata matanya basah. Ia disergap hening yang membuat tubuhnya tak bergerak sampai sekian detik sampai cahaya pagi masuk lewat ventilasi jendela dan membangunkan kesadarannya. Di jendela itulah Miluli berdiri dan sekarang menyisakan kekosongan yang membuat bulu lengan Lamanda merinding.
Mungkin saja Miluli memang sengaja datang ke dalam mimpinya. Mungkin saja Miluli tahu kalau Lamanda sudah beberapa kali menemui Peony dan ia ingin menyampaikan perasaan suka cita atau pesan tertentu, tapi ia tak mampu menembus batas di antara mereka. 
            Lamanda menggapai jam di meja samping tempat tidurnya. Pukul sembilan. Astaga, pekiknya. Ia terlambat tiga puluh menit dari yang seharusnya ia rencanakan. Tadi malam ia tidur sangat larut. Ia menyelesaikan beberapa pekerjan yang sengaja ia bawa pulang ke rumah.
Jean pasti saja sudah bangun dari tadi, pikirnya. Lelaki itu selalu bangun sangat pagi, di hari libur sekali pun. Lelaki itu sangat menyukai udara lembap pagi hari dan mengisi paru-parunya sampai penuh sebelum asap kendaraan dan pabrik mencemari udara. Tentu saja paru-paru bukan sejenis tong besar tempat penyimpanan anggur, tapi itulah yang sering dikatakan Jean.
Buru-buru Lamanda lari ke kamar mandi. Menyiram dan membersihkan tubuhnya. Mencuci dan memasang masker rambut selama dua puluh menit. Memutuskan kuku jari tangannya belum harus digunting.
Setelah membilas rambut, ia keluar dari kamar mandi dengan kepala dibalut handuk tebal. Diambilnya pakaian yang sudah ia siapkan dalam lemari. Kemarin, saat dicoba, rok panjang dan sweater abu-abu itu tampak sempurna di badannya. Hari ini ia terlihat pucat mengenakan warna-warna mati itu.
Lamanda lalu mengaduk-aduk isi lemarinya. Memilih-milih pakaian lain. Mencoba beberapa baju. Pilihannya jatuh pada dress merah muda selutut dan blazer santai warna khaki. Ia tersenyum di cermin, mengibaskan rambut sebahu yang setengah kering.
            Ia ke dapur. Sarapan cepat-cepat. Kali ini, sepotong roti tawar tanpa selai. Ia sudah biasa makan roti itu dengan rasa yang hambar. Seperti juga belakangan ia sering minum teh chamomile tanpa gula di kafe. Makan tanpa gula dapat mengurangi rasa cemas, begitu Lamanda pernah diberi tahu teman satu kantornya.
Ia tidak tahu, apa ia memang sedang merasa lebih cemas dari biasa hingga membuatnya sedapat mungkin menghindari gula atau bahkan juga garam, walau tetap saja di saat-saat tertentu ia percaya kalau rasa manis dapat menenangkan perasaannya. Hidup memang paradoks dan ada kalanya orang tak bisa menghindarinya.
             “Kau jadi menemuinya?” Jean, lelaki yang mengenakan kaus oblong putih dan celana pendek kesukaannya itu, bertanya sambil berjalan masuk dari arah pintu belakang. Halaman belakang tempat favoritnya tiap pagi. Bahkan kalau memungkinkan,  ia mau saja menghabiskan seluruh waktunya di halaman belakang itu. Mematut langit lama-lama. Mengamati binatang atau benda apa saja yang melintas di sana. Menghitung tumpukan awan yang mengingatkannya pada masa kecil yang lugu.
Dulu kami pernah menyangka kalau awan-awan itu pabrik es krim, Jean bercerita suatu kali. Kemudian Lamanda hanya sekadar menimpal, semua anak mungkin saja mengiranya begitu. Tidak semua anak, sanggah Jean. Lamanda tidak menanggapi lagi sebab baginya pembicaraan itu akan membuat mereka berbantahan dan berputar-putar dan hal itu membuatnya mati karena bosan.
            Lamanda berhenti mengunyah, “Apa aku tak harus menemuinya?” Bayangan wajah Miluli dalam mimpinya berkelebat sesaat. Wajah yang begitu sedih dan tidak cantik lagi.
Ia tidak percaya jika waktu begitu jahat pada Miluli. Waktu yang mengambil semua yang dulu ia miliki: kecantikan alami yang terbuat dari sepasang mata hitam, hidung yang ujungnya agak runcing, mulut kecil, dan satu lesung pipit di pipi kanan. 
            “Ah, pergilah, temui dia.” Jean berjalan lagi ke belakang.
Jean mengumpulkan banyak sekali burung sebulan terakhir ini. Ia berhenti main futsal karena kakinya keseleo dan berakhir pekan bersama burung-burungnya. Jika sudah bersama burung, kecerewetan Jean berkurang dan Lamanda bisa mengunyah tanpa gangguan. Apa itu juga cara Jean mengalihkan pikirannya dari Miluli?
Kepergian Miluli jelas membuatnya terpukul. Pertama kali mendengar soal kematian Miluli, mereka berdua hanya duduk di ruang tengah dari sore hingga tengah malam tanpa bicara sepatah kata pun. Setelah itu Jean baru bersuara dan kalimat pertama yang keluar: Sayang sekali, Miluli yang manis, Miluli yang sangat manis.
            “Jangan lupa sarapan, Jean,” Lamanda melongokkan kepalanya sebentar ke halaman belakang, lalu berlari lagi ke kamar. Ia tak sempat mendengar jawaban Jean. Bisa jadi Jean hanya berdeham seperti biasa bila ia sedang terlalu asyik dengan burung-burungnya.
Lamanda melihat dirinya di cermin dan merapikan pakaiannya sekali lagi. Ia menyambar tas kecil. Kemudian keluar kamar sambil berteriak kalau ia sudah akan benar-benar pergi.
            “Haruskah kau pergi?” tanya Jean yang kembali berdiri di pintu belakang. Seekor burung tampak terjepit dalam genggaman tangannya yang besar.
            “Ia bisa mati Jean!” seru Lamanda cemas.
Lamanda bukan penyuka burung, tapi ia tak bisa melihat seekor binatang mati karena kecerobohan. Terlebih itu binatang peliharaan yang kematiannya bisa membawa kesedihan dan mereka harus membuat kuburan kecil dan menaburinya dengan kuntum-kutum melati yang belum mekar—sebab begitulah cara Jean mencintai sesuatu dalam kehidupannya. Sebagaimana juga dulu ia pernah membuat prosesi kecil untuk kematian seekor kucing. Setelah kucing itu mati, Jean tak pernah menginginkan kucing yang baru. Baginya, kematian seseorang atau seekor binatang peliharaan tidak akan pernah tergantikan oleh apa pun. Mendatangkan kucing baru hanya akan membuat hatinya bertambah sedih saja.
            Jean cepat-cepat memasukkan burung ke dalam sangkar yang terbuat dari bilah-bilah kecil bambu. Burung itu segera mengibaskan sayapnya. Burung itu sudah bebas dan Lamanda tak perlu cemas lagi. Jean agak salah tingkah. Gerakan tubuhnya menunjukkan kalau ia merasa bersalah pada burung itu.
            “Aku benar-benar harus pergi,” kata Lamanda tak memberi kesempatan lagi pada Jean untuk berdebat. Berminggu-minggu ini mereka sudah terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak juga menemukan titiknya. Terlebih ini akhir pekan, seharusnya semua orang menjaga agar hati tetap gembira.
Lamanda segera keluar dari pintu rumahnya. Ia sudah berada di jalan. Ia mendongakkan kepalanya ke langit yang terang. Ia merasa dadanya terbuka dan cahaya masuk ke dalam tubuhnya. Sesaat ia teringat Jean dan burung-burungnya. Jean yang sudah sebelas tahun hidup bersamanya. Jean yang terlalu sibuk di kantor pada hari biasa dan sering kebingungan jika akhir pekan sudah tiba. Jean yang sesungguhnya kesepian dan mulai mencari pelarian-pelarian pada benda atau binatang yang disukainya. 
Sama halnya yang hari ini Lamanda lakukan. Ia keluar untuk bersenang-senang bersama Peony. Ia sengaja tak minta Jean mengantarnya. Lelaki itu tak bisa sungguh-sungguh bersama mereka. Lelaki itu masih ingin melarikan diri dan bersembunyi. Lagipula  Lamanda ingin menikmati liburan yang tak biasa.
Ia dan Peony berjalan kaki. Naik kendaraan umum. Bertemu banyak orang. Kalau lelah, mereka bisa berhenti di bawah sebatang pohon. Membelikan Peony gulali di pinggir jalan—setiap anak mestinya memiliki kenangan soal gulali yang bisa dikenangnya ketika besar. Lalu tentu saja pergi ke kebun binatang. Melihat beruang, ular, rusa, kura-kura besar dan urangutan. Jika masih ada waktu, mereka mencari es krim rasa stroberi seperti minggu lalu.
Hari ini, ia benar-benar akan meninggalkan Jean seharian di rumah. Jean yang mungkin saja kebingungan dan bosan pada burung-burung. Lamanda sedikit sedih, tapi ia cepat-cepat mengganti pikirannya tentang Jean dengan senyum manis milik Peony. Senyum yang menampakkan gigi-gigi mungilnya yang tidak terlalu putih dan beberapa mengalami kerapuhan karena kurang terawat.
Namun, Lamanda justru menyukai gigi seperti itu seolah Peony jelmaan dari kenangan masa kecilnya. Ia yang malas gosok gigi di malam hari dan Ibu mengomelinya sampai ia tertidur. Keesokannya tentu saja ia dihukum tidak boleh makan permen dan makanan manis-manis lainnya. Satu hari setelah itu, ia sudah  meluluhkan hati ibunya dan semua kembali menjadi biasa saja. Ia yang makan apa saja. Ia yang lupa gosok gigi.
“Peony…” batin Lamanda tidak sabar bertemu gadis kecil itu. Gadis yang beberapa tahun lagi akan seumuran dirinya dan Miluli saat pertama bertemu. Miluli yang barangkali saja sering memperhatikan mereka dari surga.  
 
***
            “Kenapa harus dia?” bisik Jean sebulan lalu ketika mereka mendatangi rumah penampungan anak korban kekerasan. Minggu sebelumnya, Lamanda mendapatkan informasi tentang keberadaan Peony. Gadis itu dibawa ke rumah penampungan karena tidak ada keluarga yang mengasuhnya setelah kematian Miluli. Lamanda tidak pernah tahu kabar temannya kalau saja ia tidak membaca koran yang memberitakan tragedi Senin pagi itu. Kalau saja kita bertemu lebih cepat, sesal Lamanda berkali-kali.
            “Kau tak menyukainya?” tanya Lamanda.
            “Bukan begitu,” suara Jean pelan.
            “Lalu?”
            Jean memandang mata Lamanda, “Kau tahu kita tidak terbiasa dengan anak-anak.”
            “Kita sudah sepakat, Jean, ingat?”
            “Tapi bukan yang ini.”
            “Kita sudah berbulan-bulan mencari, Jean.”
            “Kita masih punya banyak waktu.”
“Sekarang aku menginginkan anak itu, bukan yang lain.”                
            “Apa karena dia anak Miluli?”
            “Sekalipun dia bukan anak Miluli, aku tetap menginginkannya.”
            “Kenapa?”
“Apa kau pernah merasa bahagia tanpa kau tahu alasannya, Jean?”
            Jean melemaskan bahunya, “Aku tidak bisa hidup bersama orang yang terus-menerus membuatku ingat kepada Miluli.”
            “Kita tak harus menghindarinya.”
            Gadis itu sedang memetik bunga cempaka putih. Ia sangat menyukai bunga itu, kata pengelola penampungan saat pertama Lamanda berkunjung, kunjungan tanpa Jean yang ia lakukan tepat setelah mengetahui keberadaan Peony. Waktu itu Peony juga sedang memetik bunga yang sama. Kelopak-kelopak itu akan ia tebarkan di atas tempat tidurnya. Malam hari, sebelum tertidur, ia berbicara pada bunga-bunga itu. Kalau sudah terlalu kering, ia membuangnya dan mengganti yang baru.
Sekilas, waktu itu, Peony menoleh ke arah Lamanda berada. Tersenyum. Ia jarang sekali tersenyum pada orang-orang di sini, pengelola penampungan memberi tahu Lamanda. Gadis kecil itu menutup diri. Bicaranya sedikit sekali. Belum ada interaksi pada kunjungan pertama itu antara mereka. Lamanda hanya mengamatinya. Membalas senyumnya. Sekadar itu. 
            “Tidakkah ia begitu sendirian, Jean?” bisik Lamanda. Peony menundukkan kepalanya dalam-dalam, seolah tidak ingin terusik oleh orang-orang di sekitarnya. Sebagian rambutnya jatuh ke depan. Menutupi kedua sisi wajah. Ia mengenakan dress santai warna hitam, ia memiliki koleksi dress hitam yang banyak, kata pengelola penampungan di kesempatan yang lain, seakan ibunya ingin menjadikan sosok Peony segelap hatinya. Gadis kecil yang barangkali pernah sangat merah jambu. Sangat biru. Sangat hijau.
            “Kau tidak tersentuh, Jean?” bisik Lamanda lebih pelan, lebih dalam.
            Jean mendesah, “Kita tidak punya pengalaman mengurus anak-anak, terlebih anak yang cacat.”
            Selama ini Jean belum pernah mengeluarkan kata yang kasar. Lamanda memejamkan mata, menenangkan dadanya. Ia coba tersenyum lembut sambil menahan hatinya, “Kau hanya terlalu cemas. Bukankah kita bisa mencobanya?”
            Hari itu Jean tidak sungguh-sungguh menatap Peony ketika mereka punya kesempatan berbincang. Hari itu Lamanda tahu kalau ia perlu waktu sedikit lagi untuk melihat hati Jean cair dan ia akan menantinya sebab ia tahu lelaki itu sangat baik hati dan ia tak perlu bersikap keras seperti ketika ia menangani kasus perempuan dan anak korban kekerasan dan berhadapan dengan banyak pihak yang menjengkelkan —karena Jean memiliki hati yang halus dan sudah bertahun-tahun ini mengajarinya tentang bunga rumput berwarna putih, lembut, dan terbang ringan di udara.
Belajarlah menjadi bunga, itu, Lamanda, aku menyukainya, kata Jean.  Aku tidak suka menjadi bunga seperti itu, jawab Lamanda. Tapi kau juga tak perlu selalu tampak sebagai perempuan tidak sabaran dan pemarah, kata Jean menyindir Lamanda yang sering tampak galak jika sedang membicarakan kasus yang ia tangani. Dari kuliah dulu, Lamanda memang tertarik membaca buku-buku feminisme. Ia sangat menyukai pikiran-pikiran Simone de Beauvoir dan membaca buku The Second Sex jilid 1 dan 2. Ia juga penggemar karya-karya fiksi Virginia Woolf, Alice Munro, dan Nawal el Saadawi. Karena itu pula akhirnya ia bergabung di kantor lembaga bantuan hukum dan banyak menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.  
 
***
            Rumah penampungan tampak sepi. Suara anak-anak yang biasanya ribut, tidak terdengar sama sekali. Seorang penjaga, lelaki setengah baya, bertubuh kurus dan memiliki sepasang mata letih, menyambut Lamanda.
Sebenarnya, kunjungan ke rumah penampungan bukan hal baru baginya. Ia sering diminta sebuah LSM melakukan pendampingan dan advokasi terhadap perempuan dan anak-anak korban kekerasan yang mereka tangani. Beberapa kali ia melakukan kegiatan yang melibatkan rumah penampungan dan anak-anak di sini. Karena itu pula ia tidak terlalu kesulitan menemukan Peony. Ia terhubung dengan banyak jaringan yang bisa membantunya.
            “Semua anak-anak sedang keluar, Bu Manda,” seorang pekerja lain menghampiri Lamanda.
            Lamanda tahu anak-anak biasa diajak pergi liburan pada hari Minggu. Mereka pergi ke sungai dengan batu-batu kecil yang menghampar di tepiannya atau ke taman tempat mereka tiduran di atas rumput atau pameran lukisan anak-anak yang satu bulan sekali diadakan di sebuah galeri. Namun, ia juga tahu, tidak semua anak ikut pergi. Ada satu orang yang tinggal: Peony.
Gadis itu pasti ingat kalau hari ini mereka akan pergi berdua. Seandainya pun mereka tidak punya janji, Peony tetap akan tinggal di sini, sendirian. Memetiki bunga cempaka. Ia tidak pernah mau keluar selain bersama Lamanda. Dia sedikit sulit, begitu pengelola penampungan menyimpulkan tentang gadis kecil itu. Tidak, bantah hati Lamanda, gadis itu butuh tangan yang hangat, tempat ia percaya kalau di tangan itu ia akan baik-baik saja.  
            “Aku ingin menemui Peony. Kami sudah berjanji,” kata Lamanda. Ia meminta pekerja itu memberi tahu Peony tentang kedatangannya. Pekerja itu langsung mengerti dan segera pergi. Lamanda menunggu sambil membayangkan senyum dan gigi Peony yang sangat disukainya.
Kalau saja ia bisa balik ke masa lalu, ia ingin kembali ke masa-masa seusia Peony. Saat ia berumur delapan tahun. Saat ia sering merajuk pada ibunya jika keinginannya tidak dituruti. Saat semua giginya nyaris hitam dan rapuh karena kebanyakan makan permen dan ia sama sekali tidak merasa malu. Saat ia masih melihat ayah dan ibunya bersama dan dipikirnya keluarga mereka akan bahagia selamanya. Lamanda tersenyum kecut. Umur sembilan tahun, kedua orangtuanya bercerai. Perceraian yang tanpa keributan dan baik-baik, tapi tetap saja membuatnya terguncang dan tak ingin mengingat bagian-bagian hidup setelahnya.
            Peony muncul. Ia sudah mengenakan gaun hitam dengan model berbeda yang pernah Lamanda lihat. Sepertinya ia sudah menunggu Lamanda berjam-jam sebelum waktu janjian yang sudah mereka tentukan minggu lalu. Kali ini Peony mengenakan pita hijau di rambutnya. Seseorang pasti membantunya memasang pita itu. Tidak terlalu buruk, walau tetap saja menunjukkan kalau yang memasangnya bukan tangan orang dewasa.
            “Siapa yang memberimu pita?” tanya Lamanda.
            “Teman baruku,” jawab Peony. Tentang teman sekamar baru Peony sudah Lamanda dengar dari pengelola rumah penampungan. Gadis kecil itu tak berbeda jauh dengan Peony atau anak lainnya. Mereka terpaksa tinggal sementara di rumah penampungan sampai ada keluarga yang siap menjemput dan mengasuhnya. Cuma belasan anak saja yang tinggal di sini. Itu pun tak lama, sebab penampungan ini bukan panti asuhan. Hanya rumah penitipan tempat anak-anak dijauhkan sementara dari masalah orangtua mereka. Anak-anak yang selama ini ikut tersakiti. Terluka. Peony, misalnya, luka di keningnya masih meninggalkan jejak akibat benda tumpul yang dilemparkan ayahnya, beberapa bulan sebelum semuanya jadi lebih mengerikan. 
            “Siapa nama teman barumu?”
            “Ia tidak bicara pada siapa-siapa,” kata Peony, “aku tidak tahu.”
            Lamanda mengerti. Anak itu sejak kedatangannya memang menolak bicara pada siapa pun. Ia mengalami trauma dan mendadak kehilangan kemampuan bicara. Ada banyak anak yang mengalami hal semacam itu dan mereka butuh waktu untuk mengembalikan semuanya. Untuk itulah rumah penampungan didirikan dan melibatkan banyak relawan, dari dokter, psikolog, dan para aktivis yang konsen pada kasus-kasus perempuan dan anak.
            Lamanda segera membawa Peony keluar melewati gerbang utama. Udara masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Bau rumput yang habis dipotong menguar di udara. Tukang potong rumput sedang istirahat di bawah pohon. Lelaki tua yang sekaligus menjaga keamanan rumah penampungan di malam hari. Lamanda mengangguk dan dibalas gerakan kepala yang sama.
            Sesampainya di jalan besar, Lamanda mengambil sebelah tangan Peony. Ia ingin berpegangan tangan seperti seorang ibu dan gadis kecilnya. Ia mau merasakan menjadi Miluli. Apa Miluli bahagia melihat kami? tanya Lamanda dalam hati. Ia belum mau menceritakan tentang kedatangan Miluli dalam mimpinya kepada Peony, juga pada Jean. Nanti mereka bisa bercerita sebelum tidur, ketika mereka sudah tinggal bersama-sama. Saat itu tiba, mungkin saja Miluli akan datang lagi dan itu akan menjadi mimpi yang paling indah. Tidak terasa mata Lamanda sedikit berkaca-kaca. Belakangan ia mudah sekali tersentuh. Hatinya seperti benda yang terbuat dari bahan yang sangat tipis.
Peony membiarkan Lamanda menggenggamnya kuat-kuat. Ia bahkan mulai bisa tersenyum lebih ringan dan sesekali terkikik, terlebih ketika Lamanda tiba-tiba melompat dan itu mengejutkannya.
Menjadi anak-anak memang harus banyak tertawa, pikir Lamanda. Seharusnya semua anak dijauhkan dari kesedihan, paling tidak sampai mereka punya hati yang cukup besar. Luka yang terbentuk di masa kecil akan selamanya membekas. Menjadi beban seumur hidup. Ada yang berhasil melepaskannya. Ada yang selamanya terkurung dan menyerah.
Untuk pertama kali Lamanda menganggap bertemu dengan Peony merupakan bagian terbaik dalam hidupnya. Sesuatu yang dulu sama sekali tidak terbayangkan. (Bersambung)
 
***
YETTI AKA


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?