Fiction
Kuli Panjat

15 Nov 2016


“Ini terakhir Ayah mengajarimu memanjat. Bila tidak bisa juga, Ayah akan meninggalkanmu,” ujar Ayah, lima belas tahun silam. Ketika masih duduk di kelas dua sekolah dasar, Ayah memarahiku dengan kata-kata menyakitkan itu. Kepalaku menunduk memandangi kedua tungkai kaki yang suara gemetarnya seakan mampu menutupi isak tangisku.

Aku mengerti alasan kemarahan Ayah. Di desaku, anak lelaki seusiaku memang menjadi kuli panjat kelapa  tiap pulang sekolah. Satu pohon akan dibayar dua ribu rupiah. Ayahku hanya seorang penyadap karet. Ia merasa tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan keluarga kami. Apalagi, sejak Ibu menderita penyakit rematik akut. Tidak ada lagi yang bisa membantunya bekerja di kebun sawit Pak Mahidin.

Mungkin itu alasan Ayah mati-matian mengajariku memanjat pohon kelapa, berharap aku bisa berbagi beban dengannya. Apa daya, aku tidak sanggup. Tiap kali merangkul pohon kelapa dan mencoba bergerak naik, kepalaku langsung pening. Perutku mual, ingin muntah saja.

Ketika melihatku gagal, Ayah pulang dengan sumpah serapah. Kata Ayah, aku anak yang tidak berguna. Air mataku langsung bercucuran sembari pontang-panting mengikuti langkahnya dari belakang. Kalau bisa jujur, aku tidak menyukai pekerjaan kuli panjat. Aku lebih suka bekerja di ladang atau berdiam diri di rumah membaca ulang pelajaran dari sekolah. Diam-diam, aku punya cita-cita yang tinggi, lebih tinggi dari pucuk kelapa.

Anak-anak lelaki di desaku rata-rata hanya lulus sekolah dasar. Hidup mereka berakhir di pohon kelapa, jadi nelayan, atau menjadi buruh di kebun sawit Pak Mahidin. Kami anak-anak desa, bukannya tidak mempunyai cita-cita. Sepulang sekolah, aku dan teman-teman sering berkhayal menjadi apa kami kelak.

Edo, anak bungsu Ibu Ratmi yang bekerja sebagai pengumpul daun pisang, bercita-cita menjadi pilot. Miko, putra Ibu Amina yang telah menjanda itu, kelak ingin menjadi TNI. Sedangkan aku, bercita-cita jadi dokter. Namun, itu sebatas khayalan. Kami tidak punya keberanian untuk mengutarakannya kepada orang tua kami. Maaf, aku ralat. Sebenarnya, kami bukan tidak punya keberanian. Tapi, keadaan hidup yang kami alami rasanya sudah cukup menjawab bahwa orang tua kami tidak akan mampu mewujudkannya. Maka, kami memilih diam dan pasrah pada nasib.

Hujan turun mengiringi langkahku mengikuti Ayah menuju rumah pada sore itu. Tiba-tiba, Ayah berhenti, lalu memandangiku cukup lama.
“Hujan turun. Getah yang Ayah sadap hari ini pasti menyatu dengan air. Sementara kamu juga tidak bisa memanjat kelapa untuk membantu meringankan beban Ayah. Besok pagi kita mau makan apa?”
Segurat kecewa aku temukan di bola mata Ayah yang tak lagi bening.
“Maafkan Agus, Ayah. Aku tidak bisa memanjat seperti keinginanmu. Sejujurnya, aku tidak mau jadi kuli panjat.”
Kuberanikan diri membantah perkataan ayah.
“Kamu mau jadi apa? Hah!”
Sekilas, kupandang wajah Ayah.
“Ingin jadi dokter. Aku ingin mengobati penyakit Ibu.”
“Makan saja kita susah. Bagaimana kamu mau jadi dokter? Buang jauh-jauh impianmu itu!”

Ayah membentakku. Hujan turun makin deras mengantar gigil ke tubuh. Jejak kaki Ayah menghilang digenangi air hujan, demikian juga dengan cita-citaku.
Keesokan hari, tidak kutemukan segelas teh manis di meja dapur. Seperti biasa, sebelum berangkat sekolah, aku minum teh manis buatan Ayah. Di kepalaku masih ada tanya, masihkah Ayah kecewa padaku? Namun, tanya itu hilang ketika kudapati Ibu duduk tersungkur di sudut dapur. Tangisnya tertahan, rambut panjangnya dibiarkan menjuntai menutupi wajah.

“Ayah ke mana, Bu?”
“Mulai hari ini, jangan tanyakan ayahmu lagi. Dia telah pergi.”

Aku mendaratkan pantat di kursi. Ayah pergi? Seribu sesal menohok hatiku. Ini pasti gara-gara ketidakbecusanku. Memanjat pohon kelapa saja tidak bisa.
“Jangan salahkan dirimu dengan kepergian ayahmu. Ibu mengusirnya karena ia gagal menjadi kepala rumah tangga. Dia tidak mampu menghidupi kita.”
Ibu mendongakkan wajah. Tampak sisa-sisa air mata di kedua pipinya. Aku marah mendengar pengakuan Ibu.

“Justru kita berdua yang tidak berguna. Kita tidak bisa membantu meringankan beban Ayah. Aku benci Ibu!”
Aku berteriak, berlari ke luar rumah dan memilih bersembunyi di bukit di belakang rumah. Dari atas bukit, aku bisa melihat hamparan laut membiru dan pucuk-pucuk kelapa yang menghijau tua. Seandainya aku bisa menaklukkan pohon kelapa itu, mungkin Ayah masih di sini.
 
***
 
Setelah lulus SMA, aku memilih tidak mewujudkan cita-citaku menjadi dokter. Sadar keadaan ekonomi keluarga, aku mengambil jurusan keguruan. Entah mengapa, biaya kuliah di jurusan itu lebih ringan dibandingkan jurusan lain. Tapi, berapa pun biayanya, aku sudah bertekad harus kuliah.
Empat tahun berjibaku di bangku kuliah sambil bekerja paruh waktu di kafe untuk membiayai kuliah, akhirnya gelar sarjana bisa kuraih. Selama kuliah, aku jarang berkomunikasi dengan Ibu. Rasanya sulit bersikap hangat sejak Ibu mengusir Ayah lima belas tahun lalu.

“Mengapa tidak pernah menghubungi Ibu selama kamu di kota? Apa kamu tidak bisa sedikit pun memaafkan Ibu?” tanya Ibu setahun lalu. Aku pulang kampung saat libur kuliah. Lauk ikan asin dan daun singkong tumbuk untuk sarapan terasa tak nikmat lagi. Kupandangi wajah Ibu lekat-lekat. Setumpuk kulit menggelambir di bawah dagunya. Rambutnya yang dulu panjang kini pendek kusam dipenuhi uban. Usia benar-benar  menggerogotinya.
“Di kota, selain kuliah  Agus harus bekerja untuk membiayai hidup sehari-hari. Maafkan Agus bila sedikit melupakan Ibu.”

Ibu menganggukkan kepala sebagai isyarat mengerti jawabanku. Tapi, tatapan matanya tidak bisa menyembunyikan lara. Rasa bersalah pada Ibu kembali membayangi hatiku. Sungguh, bukan masalah waktu. Aku memang menjaga jarak dengan Ibu. Tiap mendengar suara Ibu, seketika peristiwa kepergian Ayah hadir lagi. Kenangan itu terus membayangiku hingga beberapa hari setelah diwisuda. Aku menerima telepon dari kampus yang menyampaikan kabar baik. Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan S-2 ke Paris! Meski terasa kurang sempurna tanpa kehadiran Ayah, baru kali ini aku merasa begitu bahagia.

Sebelum berangkat ke Paris, aku pulang ke desa selama beberapa hari. Bukan hanya untuk berpamitan dengan teman-teman dan saudara, tetapi juga ingin lebih dekat dengan Ibu.

Di pinggir pantai desa yang dipenuhi jajaran pohon kelapa, aku bertemu Edo dan Miko, teman-teman masa kecil yang memilih menyerah pada nasib. Kulit mereka menghitam, kusam seperti berjelaga, karena  tiap hari bekerja sebagai kuli panjat. Bila ada waktu luang, mereka pergi mengumpulkan daun pisang untuk dijual ke pasar. Harganya tidak sebanding dengan tenaga yang telah dikeluarkan.

“Seandainya kami punya sedikit keberanian sepertimu untuk melawan nasib, mungkin apa yang kita cita-citakan waktu kecil bisa jadi kenyataan. Selamat, Kawan, kamu ditakdirkan bukan untuk menjadi kuli panjat,” ujar Edo. Rasa haru ikut menyelinap ketika aku memeluk kedua sahabatku itu.
“Semua yang aku lakukan ini untuk Ayah,” bisikku di telinga mereka. Edo mendadak melepas pelukanku, memandangiku dengan dahi berkerut.
“Mengapa bukan untuk ibumu?” tanya Edo.
“Karena Ibu telah mengusir Ayah dari rumah.”
Edo dan Miko menggelengkan kepala hampir bersamaan, wajah mereka seakan tidak bisa mencerna ucapanku.
“Apakah ibumu tidak pernah cerita bahwa ayahmu tergiur dengan kekayaan yang ditawarkan di kampung seberang? Ayahmu kawin lagi! Apa masih pantas semua yang kau lakukan ini buat ayahmu?”
Penjelasan Miko membuatku terperanjat. Ini seperti mimpi buruk.
“Tapi, mengapa cerita Ibu berbeda?”
“Kedalaman hati seorang ibu, kita tak akan pernah bisa mengukurnya. Pasti ada alasan lain mengapa ibumu memilih berbohong….”
Suara Edo terdengar  makin jauh, aku berlari meninggalkan mereka berdua.
 
***
 
Aku membuka pintu rumah sekuat tenaga. Di ruang tengah, aku dapati Ibu sedang menangis merangkul foto masa kecilku.
“Mengapa Ibu berbohong?”
Mendengar pertanyaanku dengan napas yang memburu, tergesa Ibu meletakkan kembali fotoku ke tempatnya.
“Mengapa Ibu mengaku mengusir Ayah? Padahal, sebenarnya Ayah yang meninggalkan kita demi kekayaan. Kenapa?” tanyaku lagi.
Isak tangis Ibu  makin tak menentu. Aku pun meringkuk ke dalam pelukannya yang sudah sangat lama tak kurasakan. Selama beberapa saat kami terdiam.
“Ibu tidak mau kau tumbuh dengan pemikiran buruk terhadap ayahmu,” ujar Ibu di sela isak tangisku. Kedalaman hati ibu, setinggi apa pun ilmuku, tidak akan mampu menandinginya.
 
 
***
 
Dody Wardy Manalu
 
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?