Fiction
Kopi Rena [2]

25 Mar 2016


1 2 3

Kisah sebelumnya:
Pernikahan San membuat Rena patah hati berat, meski sebetulnya tidak ada kisah cinta di antara keduanya. Rena membenci kopi yang menghubungkan dirinya dengan San. Rena pun memilih keluar dari kantornya dan mengurus toko bunga milik kakaknya. Apa daya, tepat di depan ruko toko bunganya, berdirilah kedai kopi.


Cerita sebelumnya <<<<

“Kau bau bunga. Kau harum aroma bunga.” Laki-laki itu balas berkomentar.
Tentu saja. “Itu bukan parfum, lho.”
“Aku mengiranya juga begitu. Harumnya seperti dari bunga asli.”
“Yah,” Rena menggedikkan bahu. “Itu pekerjaanku, aku mengurusi bunga. Kalau kau?”
“Aku?” Laki-laki itu malah balas bertanya. “Aku kenapa? Kenapa denganku?”
Orang ini sepertinya suka bercanda dan melucu. “Kau bau kopi. Apakah itu juga karena pekerjaanmu? Mengurusi kopi eek?”
Laki-laki itu terbahak. Setelah ia selesai dengan tawanya baru kemudian melanjutkan. “Aku, kopi. Ya. Aku pelayan di sebuah kedai kopi, kok.”
Rena jadi menebak-nebak apakah kedai kopi yang dimaksud adalah ‘Bitter-Sweet Coffee’. Secara samar-samar ia seperti pernah melihat dan sedikit mengenali wajah laki-laki ini. Karena tidak begitu yakin, Rena diam saja.
“Kau suka minum kopi? Kapan-kapan kalau kita ketemu lagi aku traktir ka—“
“Aku tidak suk….“ Rena segera mengganti kalimatnya. “Aku tidak bisa minum kopi.”
Tubuh Rena dan penumpang lain, termasuk laki-laki di sebelah, mendadak maju beberapa senti ke depan. Lalu, terempas pelan kembali pada sandaran kursi. Bus baru saja berhenti di sebuah halte. Beberapa penumpang turun, dan hanya sedikit yang naik.
“Mengapa?” tanya laki-laki itu.
Bus mulai bergerak maju lagi.
“Kepalaku pusing. Jantungku berdebar-debar?” kata Rena.
“Kau bisa….“
“Tidak, ah.” Rena tidak mau obrolan mengenai kopi ini berlanjut.
“Ya. Baiklah.” Laki-laki di sebelah tertawa kembali. “Aku juga tidak bisa.”
“Kau tidak bisa apa?” tanya Rena.
“Aku sebenarnya ingin membeli bunga. Di seberang depan kedai kopi tempatku bekerja ada toko bunga.”
Ah, berarti benar dugaan Rena sebelumnya. Laki-laki ini bekerja di kedai kopi di seberang tokonya.
“Tapi aku malu bila harus ke sana. Bukan karena pemiliknya galak atau bagaimana, hanya saja….”
“Bila itu untuk orang yang kau sayangi, mengapa harus malu?”
Laki-laki itu melongokkan pandangan ke arah luar. “Aku ingin membelikan bunga untuk ibuku. Ia dirawat di rumah sakit di depan sana.” Ia menunjuk sebuah rumah sakit yang berada tak jauh dari halte tempatnya akan turun. “Senang mengobrol denganmu.”
Rena balas mengucapkan kalimat yang sama. Laki-laki itu sempat mengucapkan namanya, “David, panggil saja Dave,” sebelum kemudian bangkit maju. Berdiri di dekat pintu untuk bersiap-siap turun.

***

Keesokan hari Rena baru saja dari salah satu ruko yang menjual kertas ketika bertemu Dave. Stok wrapping paper, kertas pembungkus bunga, di toko habis. Dua pegawainya sedang sibuk melayani pelanggan. Rena sadar, jika dirinya yang harus melayani pelanggan kemungkinan tidak akan secepat dua pegawainya, maka ia memilih membeli kertas pembungkus. Saat kembali, ia berpapasan dengan Dave. Awalnya ia tak tahu karena pandangannya hanya tertuju ke arah toko, plus, ia punya kebiasaan memalingkan pandangan dari kedai kopi daripada tiba-tiba melihat San di sana.
Dave menyapa terlebih dulu. “Hei! Kau! Kau yang kita ketemu di bus kemarin malam.”
Rena baru memperhatikan. Dave dalam seragam kedai kopi ‘Bitter-Sweet Coffee’ tersenyum lebar. Ia tampak  makin tampan dalam seragam hitam dengan kancing dan tulisan berlogo kedai yang berwarna cokelat.
“Hai,” Rena balas menyapa. “Halo. Kita ketemu lagi.”
“Apa yang kau lakukan di sini?”

Rena menunjukkan gulungan kertas di tangannya tanpa menjelaskan apa-apa.
Dave mengangguk mengerti, namun dari raut mukanya terlihat kurang begitu paham. Tapi, ia tak bertanya lebih lanjut. “Aku baru saja membuka kedai. Pegawaiku sudah berdatangan, tapi ada satu dua barang yang kami lupa menyetoknya kemarin.”
Pegawaiku, ulang Rena dalam hati. Ah, berarti Dave ini anak muda yang diceritakan kakaknya kemarin.

“Aku… aku harus segera kembali. Dua pegawaiku pasti sudah menunggu kertas ini.” Rena ikut-ikutan menggunakan kata penjelas ‘pegawaiku’. Sambil   berjalan meninggalkan Dave, perempuan itu menoleh dan mengatakan, “Tokoku berada di seberang depan persis kedai kopimu.”
Mulut Dave membulat membentuk huruf ‘O’. “Kau pengganti… ah, tidak. Jadi, kau adik perempuan yang selalu diceritakan Mbak Shanti?”
“Ya. Aku adik perempuan Mbak Shanti. Aku yang meneruskan mengelola toko bunganya. Salam kenal.”
“Salam kenal. Kenapa kau tak mengatakannya kemarin saat kita bertemu di dalam bus!?”
“Mampirlah.” Rena memilih tak menjawab pertanyaan barusan. “Tak perlu malu. Atau tulis saja pada secarik kertas kau ingin membeli bunga apa, dan diam-diam kita janjian bertemu di tempat sepi sehingga kau tak perlu malu karena ketahuan membeli bunga.”
Rena sudah berjalan agak jauh, tapi ia masih bisa mendengar suara tawa Dave.

***
Rena baru saja menutup dan mengunci rolling door ketika Dave tiba-tiba menyodorkan segelas kopi. “Ini bukan kopi murni. Aku menambahkan susu ke dalamnya, aku olah, pun aku tambahkan.“
Rena menggeleng.
“Ini susu kopi… jumlah susunya lebih banyak daripada kopinya.”
“Tidak mau.” Rena menyimpan kunci ke dalam tas dan segera beranjak pergi. Mobilnya masih di bengkel. Barangkali lusa kendaraannya baru beres dan bisa kembali digunakan.
“Kalau begitu ini….“
Rena berhenti berjalan dan membalik. “Kalau kau masih memaksaku menerima dan minum kopi….”
Dave berdiri dan diam menunggu.
“Aku akan membalasnya. Aku akan datang ke kedai kopimu dengan membawa buket bunga raksasa. Lalu aku akan berteriak lantang, ‘Bunga pesananmu, Dave. Mawar yang paling wangi, yang paling imut, yang paling kiyut, dan yang paling….’“
“Tapi, aku kan tidak memaksamu minum kopi.” Dave tersenyum. “Aku membawa dua gelas, satu susu kopi, dan yang satu lagi hanya susu. Kau mau? Segelas susu, masih panas. Eh, hangat.”
Rena berhenti merepet. Ia jadi malu. Ketakutannya akan minum kopi membuat ia berpikir agak kurang sabar.
“Seharusnya susu panas diminum saat hendak tidur; bisa membantumu lebih lelap. Letih sepulang bekerja seharian, sampai rumah, mandi, lalu minum susu. Dijamin tubuh akan langsung bugar saat bangun dari tidur keesokan harinya. Kau mau?”
Rena bimbang sejenak. Tapi kemudian ia memutuskan menerima pemberian Dave. Dua alasan mengapa ia akhirnya mau minum susu. Satu, sebagai permintaan maaf yang tak terucapkan karena telah bersikap kolokan (berteriak-teriak menolak minum susu dan mengancam akan mempermalukan Dave di depan pelanggan kedai kopi), dan dua, ia butuh minuman hangat yang bisa membantunya sedikit relaks.

“Terima kasih,” ucap Rena. Ia menyeruput perlahan.
“Aku akan mengantarmu pulang. Hari ini aku membawa kendaraan. Kemarin kakakku yang menggunakannya sehingga aku harus naik bus.” Dave menunggu jawaban Rena.
Rena menimbang-nimbang masih dengan menyeruput susu.
“Aku bukan orang asing. Aku kenal kakakmu, Mbak Shanti. Atau… ah, begini saja.”
Rena mengangkat alis. Menunggu penjelasan.
“Jangan bicara pada orang asing. Jangan menerima pemberian makanan dan minuman dari orang asing, siapa tahu dalam makanan atau minuman itu sudah dicampuri obat tidur atau racun.”

Rena menjauhkan gelas dari mulutnya.
“Kita tunggu selama lima menit. Kalau kau tidak pingsan atau mati keracunan karena telah minum susu pemberianku, aku antar kau pulang.”
Rena memandang gelas susu yang isinya tinggal separuh. “Baiklah,” katanya sambil tertawa.

Dave memeriksa jam di pergelangan tangan. “Ayo, kita pergi sekarang. Sesungguhnya aku tak punya waktu luang lebih lama lagi.”
Rena berjalan mengikuti Dave. Menyadari langkah Rena yang tak sepanjang langkah kakinya,   laki-laki itu mengurangi lebar langkahnya agar Rena tak jauh tertinggal.
“Kau ada urusan apa sehingga pulang lebih awal dan terburu-buru seperti ini?” Rena teringat sesuatu. “Ah, ibumu. Kau akan menjenguk ibumu di rumah sakit.”
Dave mengangguk sambil tersenyum. Terlihat sedikit letih di raut wajahnya tapi hanya samar saja.

“Tunggu sebentar,” kata Rena sembari menyerahkan gelas susu-kopinya. Perempuan itu berlari kembali menuju ‘Lavender’. Cepat-cepat ia membuka rolling door, juga pintu kaca. Di dalam toko ia memilih bunga-bunga dan dedaunan yang masih segar. Diambilnya daun palm, silver dollar, dan asparagus densiflorus. Kemudian berbagai macam bunga cantik yang tahan lebih lama, lily casablanca, lily stargazer, calla lily, beberapa mawar, juga snap dragon. Sedikit chrysant puma dan caspea dipadukan sebagai filler–isian ruang kosong dalam rangkaian. Semua daun dan bunga itu ditata rapi lalu diikat bagian bawahnya menjadi satu. Tak lupa pula dilapisi kapas basah  pada pangkalnya. Baru kemudian dibungkus menggunakan kertas hias berwarna lembut.   
Rena kembali mengunci toko dan keluar dengan membopong buket bunga berukuran lumayan besar disertai pita pemanis di bagian pegangan. Rena menyerahkan buket bunga yang berhasil disusun dalam waktu singkat. “Berikan ini pada ibumu.”
“Eh? Jangan. Tidak bisa. Aku harus mengganti berapa?”
“Tidak usah.”

“Tidak bisa begitu. Aku sudah merepotkanmu.”
“Kau bilang tak punya banyak waktu dan harus segera menjenguk ibumu. Jadi….” Rena berpikir cepat. “Segera antar aku pulang dan serahkan pada ibumu. Itu sudah harga yang sepadan untuk membayar buket bunga.”
Melihat senyuman Rena yang  tulus, Dave luluh. “Baiklah. Terima kasih, ya.”
“Kembali kasih. Aku juga harus berterima kasih untuk….” Rena menunjuk gelas susu-kopi di tangan laki-laki di hadapannya. “Itu.”

***

“Kenapa kau tidak bisa minum kopi?” tanya Dave memecah keheningan. Mobil meluncur halus membelah malam. Barusan laki-laki itu mendapat telepon dari kakaknya, “Aku sudah tiba di rumah sakit dan menunggui Ibu. Kau tidak perlu datang malam ini dan sebaiknya mengurus kedai kopimu saja.” Tapi, Dave sudah kadung dalam perjalanan menuju rumah sakit.
“Tidak apa-apa. Jantung berdebar dan kepala pusing, itu saja alasannya,” jawab Rena. Ia memalingkan wajah ke arah luar jendela. Lampu-lampu jalanan terpajang terang di sepanjang pinggir jalan. Beberapa kendaraan yang melintas berhasil menyalip mobil mereka.
“Bukan karena patah hati?”
Serta-merta Rena menoleh sembari berseru kaget. “Mbak Shanti cerita apa saja padamu? Ia pasti mengoceh macam-macam! Menceritakan ini itu tentang kegagalan kisah cintaku, duh!” Ia menutup muka karena malu. “Aku tidak mau menemuinya lagi saat ia kembali pulang ke Indonesia!”
Dave tertawa saja. “Tidak, kok. Mbak Shanti bercerita tentangmu lebih karena khawatir. Ia datang ke kedai dan memesan kopi. Sewaktu aku mengantarkan pesanan tiba-tiba ia menyeletuk, ‘Adik perempuanku patah hati, Dave. Tiap hari ia menekuk wajah seperti tumpukan baju belum disetrika. Apa yang harus aku lakukan?’”
“Kau menjawab apa?”
“Aku bilang, ‘Kalau Mbak Shanti tidak punya waktu, bawa saja adik Mbak ke tukang laundry, lalu minta tolong untuk disetrika’.”
Mobil berhenti di sebuah perempatan jalan. Traffic light pengatur lalu lintas berwarna merah.
“Patah hati itu bisa sembuh karena dua hal,” lanjut Dave. “Satu, oleh kesibukan. Setelah sekian lama sibuk, kau akhirnya memaafkan diri sendiri dan melupakan rasa sakit itu. Dua, jatuh cinta lagi. Jatuh cinta dengan orang baru akan membuatmu cepat lupa pada kisah cinta yang lama.”
“Kamu pernah patah hati karena cinta, Dave?”
“Ya.”
Lampu berubah menjadi hijau. Dave kembali melajukan kendaraan pelan-pelan. Setelah perempatan ini akan ada satu perempatan lagi sebelum mereka tiba di rumah sakit.
“Aku mendirikan kedai kopi itu hanya untuk menyibukkan diri. Supaya pikiranku tak melulu pada rasa sakit akibat patah hati.” Dave diam sebentar. “Aku menyembuhkan rasa sakitku dengan kesibukan. Menyibukkan diri dengan terus- menerus hingga akhirnya aku lupa pernah sakit hati dan sekarang sudah tak tersisa apa-apa. Kecuali, rasa senang karena kedai kopiku  makin ramai dan enjoy bekerja bersama para pegawai.”
Mobil bergerak masuk ke ruang parkir.
“Kata Mbak Shanti….“
“Ah!” Rena memekik spontan. “Ia mengoceh apa lagi?”
”Kau menghadapi kenyataan pahit patah hati dengan sikap kekanak-kanakan.”

***

Rena kira ia akan bersikap kikuk saat bertemu mama dan saudara Dave. Ternyata tidak. Mereka ramah dan baik. Mama mengucap banyak terima kasih. Perempuan tua itu sakit karena terpeleset di kamar mandi.
“Sudah tua. Pandanganku menjadi kurang begitu awas. Gerakan juga menjadi kurang sigap.” Mama menunjuk putra bungsunya. “Di tengah kesibukan mengurus kedai, ia masih tetap rajin menjenguk ibunya yang sudah renta ini.”
Dave hanya tersenyum malu dipuji seperti itu. Dua kakak Dave sudah berkeluarga. Meski tinggal di kota yang sama, mereka tidak bisa terlalu lama menunggui di rumah sakit. Anak-anak mereka masih kecil. Khusus hari ini, kakak perempuan nomor dua sedang memiliki banyak waktu sehingga bisa menggantikan Dave menjaga mama. Kakak perempuan itu menyuruh Dave segera mengantar Rena pulang lalu beristirahat. Bekerja mengurus kedai kopi dan berhari-hari bolak-balik ke rumah sakit tentu sangat menguras tenaga. Yang dibutuhkan Dave sekarang tentu banyak-banyak mengaso.
“Jangan lupa minum multivitamin agar kau tak turut ambruk sakit, Dik.” Kakak perempuannya masih sempat berpesan supaya adik laki-lakinya menjaga kesehatan.
Setelah mengantar Rena sampai di rumah, Dave berkata ia akan kembali ke kedai.

***

Tuhan selalu tepat waktu. Untuk segala hal yang tidak ada hubungannya dengan cinta. Misalnya saja; pergantian siang dan malam, bunga mekar di pagi hari, musim panen jagung, dan bermacam-macam lagi hal lainnya. Tetapi, bila sudah bersangkutan dengan urusan cinta? Huh, Tuhan ini sukanya bercanda.
Pagi dimulai dengan kondisi cerah, udara segar, angin bersemilir sejuk, burung-burung bercuit-cuit, awan tipis berarak perlahan, matahari bersinar tanpa malu-malu, mobilnya sudah beres, papa dan mama saling mengecup bibir dan mengucapkan sapaan ‘Selamat pagi’ saat mereka bertemu di meja makan untuk sarapan.
Rena mengira hari ini dan hari-hari di depan akan ia jalani hari dengan wajar; bertemu  Dave dan mereka mulai saling belajar menghadapi ketakutan masing-masing dengan tertawa-tawa. Ternyata tidak. Huh. Ketika Rena merasa ia sudah cukup kuat menghadapi kenyataan, saat itu pulalah ketakutan yang dipendam-pendamnya selama ini terwujud. San dan istrinya datang ke kedai kopi ‘Bitter-Sweet Coffee’.
“Selamat pagi,” sapa Rena ketika satu per satu pegawainya mulai berdatangan. Ia sedang memotong miring pangkal tangkai mawar ketika Cita dan juga Yanto menatap heran. “Ada apa?”

“Tidak apa-apa. Mbak Rena hari ini hanya terlihat sedikit berbeda.”
“Mbak Rena sedang jatuh cinta,” bisik Yanto pada Cita.
“Ya,” balas Cita. “Sepertinya begitu. Hanya orang yang sedang jatuh cinta yang bisa tiba-tiba tersenyum-senyum tanpa alasan jelas.”
“Dan terus-menerus bersenandung tanpa henti.”
“Tepat sekali. Kira-kira Mbak Rena jatuh cinta pada siapa?” suara Cita terdengar sangat penasaran.
“Apa menurutmu Andi si satpam mal? Laki-laki itu kan rajin menyapa Mbak Rena  tiap kali lewat depan toko. ‘Pagi, Mbak Cantiiik….’ Begitu.”
“Sepertinya iya. Buktinya Mbak Rena hanya tersenyum saja. Orang yang jatuh cinta kan begitu; untuk sekadar membalas sapaan laki-laki yang disukainya saja tidak mampu. Bisanya cuma tersenyum.”
Rena menimpuk bagian belakang kepala Yanto menggunakan gulungan kecil isolatip. Cita dan Yanto menoleh lalu cengar-cengir malu karena ketahuan menggosipkan bos mereka.
Saat  Dave datang membuka dan menyiapkan kedai kopi, dua pegawai ‘Lavender’ mulai lagi berbisik-bisik. Karena, Rena tiba-tiba menjadi lebih sering melongok-longok ke arah depan. Ia juga mulai sudi menyambut pelanggan yang baru saja datang. Biasanya ogah, sebelum ini ia selalu beralasan canggung dan malu, belum biasa karena ia orang baru.
“Jangan-jangan Mbak Rena menaksir Mas Dave,” kata Yanto.
“Mas  Dave memang ganteng, sih,” sahut Cita masih dengan berbisik.
“Biasa saja menurutku.”
“Ya, tentu saja!” Cita memukul lengan temannya menggunakan gulungan plastik.”
“Bukan begitu maksudku.” Yanto mengelak dari sabetan gulungan plastik Cita untuk kali keduanya. “Maksudku, kau itu cantik.”
Rena menimpuk bagian belakang kepala Yanto menggunakan buntelan kertas yang tidak digunakan. “Tadi menggosip, sekarang menggombal. Kerja, hei!”
Yanto cengengesan sambil meminta maaf. Tapi, saat pulang Rena mengizinkan Yanto mengambil tiga batang mawar biru untuk diikat jadi satu dan diserahkan kepada Cita.

***

Mengapa ia tak bergegas memberanikan diri menghadapi ketakutannya? tanya Rena dalam hati. Toh, Dave sudah pernah berjanji; aku akan selalu ada untukmu. Seumpama saat Rena datang ke kedai dan pingsan karena seruputan kopinya mengingatkannya pada San, Dave pasti akan sigap menahannya agar tak jatuh.
Rena berusaha menguatkan hati. Ia berdiri menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Yanto dan Cita bersuit menyemangati dari dalam toko.
Ketakutan bila tak segera dihadapi, akan terus menjadi ketakutan. Perlahan Rena mulai melangkah. Tatapannya tertuju lekat ke arah depan. Logo kopi ‘Bitter-Sweet Coffee’ seakan siap menyambut dengan senyum lebarnya. Tapi, ternyata tak semudah itu bagi Rena untuk kemudian merasa enteng dan lega.
Dave berhenti menjaga kasir. Ia memanggil salah satu pegawainya untuk menggantikan posisinya. Laki-laki itu bersandar di pintu masuk. Berdiri bersidekap dan senyumnya lembut sekali. Menunggu kedatangan Rena ke kedainya.
Ya. Kopi itu tidak menakutkan. Kopi itu baik, baik dan berhati lembut seperti  Dave, ulang Rena berkali-kali dalam hati seperti sedang merapal mantra. Rena tenang sekarang. Dunianya aman. Ada Dave di sana, menunggunya datang dan akan menemaninya menyeruput secangkir kopi panas. Rena mempercepat langkah ketika tiba-tiba pundaknya ditepuk dari belakang.
“Hei!”

Rena menoleh. Seketika itu juga ia merasakan wajahnya pucat dan jantungnya rontok.
“Rena! Kau di sini!” sapa San dengan tersenyum lebar. Istri cantiknya berdiri di sebelah. Turut tersenyum dengan bibirnya yang terbuka lebar. “Kau resign dan tak bercerita apa pun padaku.”
Rena menoleh ke arah  Dave. Raut muka laki-laki itu bertanya ada apa.
“Kenapa kau pergi tanpa berpamitan?” San mencolek bahu Rena minta perhatian. “Setidaknya membikin pesta perpisahan atau apa.”
Membikin pesta perpisahan pun, toh, kau tetap takkan merasa kehilangan, batin Rena pahit.
“Kau juga akan ke kafe?” tanya San,   menunjuk ‘Bitter-Sweet Coffee’. Sebelah tangannya menggandeng erat tangan istrinya. “Kami juga akan ke sana. Mari kita ngopi bersama.”
“Eh, aku…,” Rena cepat-cepat mencari alasan untuk menolak.
“Ayolah. Kita mengobrol.”
Tidak. Ogah. Enak saja. Kalian bermesraan, sementara aku hanya menonton atau malah seperti obat nyamuk!
“Tidak bisa,” tolak Rena.
“Tapi, bukankah kau berjalan ke arah kedai kopi tersebut? Aku kira hendak ke sana pula.” Wajah San tampak kecewa. Entah kecewa betulan atau hanya berpura-pura. Rena tidak tahu dan tidak mau tahu. Tidak ada urusan dengan San.
“Kau bekerja di sekitaran sini, ya?” San memperhatikan ruko-ruko di sekitar mereka. Untung saja Rena melepas celemek kelengkapan kerjanya. Bila tidak, sekali tengok San pasti bisa menemukan ‘Lavender’ dan mampir sepulang dari minum kopi. Itu artinya Rena harus menahan sakit hatinya lebih lama lagi. “Barangkali setelah selesai ngopi, kami bisa mampir.”
“Aku harus pergi sekarang.” Rena berpamitan. Menurutnya tidak penting ia menjelaskan dirinya bekerja di mana. Menurutnya juga tidak penting menambahkan kalimat ‘sampai bertemu lagi’ atau ‘semoga kita bertemu lagi’ karena ia tidak ingin bertemu lagi dengan San.

Rena masuk supermarket. Ia mengambil keranjang dan berputar-putar tidak jelas arah. Tak lama kemudian ia membeli jus avokad dengan susu dan duduk sendiri menghabiskan minuman. Ia memeriksa jam di pergelangan tangan. Sebaiknya ia kembali ke toko sekarang. Yanto pernah menunjukkan jalan ‘tikus’ yang bisa ditempuh dengan menyelusup-menyelusup jalan kecil di bagian belakang ruko.
“Mbak Rena!” sapa Cita terkejut. Ia melongok ke arah belakang pintu karena mendengar suara gedombrangan ember tertendang. Rena membungkuk-bungkuk memijit kakinya yang sakit sekaligus membetulkan kembali letak ember. Ia mendongak dan meletakkan jari telunjuk di bibir. “Ssstt….”
Yanto turut melongok. Rena meminta mereka jangan membuat ribut atau menyebut namanya sekalipun. Kepada mereka berdua, tanpa segan Rena langsung mengatakan bahwa laki-laki yang membuatnya patah hati sedang mampir bersama istrinya di kedai kopi Dave. Yanto dan Cita mengangguk mengerti.
“Siap, Bos,” kata Yanto. “Tapi, ngomong-ngomong sedari tadi Mas Dave terus melihat ke arah toko. Sepertinya mencari Mbak Rena.”

“Itu urusan nanti. Urusan mudah. Tak usah dipikirkan sekarang… tidak perlu dipikir   juga tidak apa-apa.” Rena kemudian mengusir dua pegawainya supaya segera kembali ke ruang tengah.   Cerita selanjutnya>>>>>>>



***
Desi Puspitasari







 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?