Fiction
Jenang Krasikan

25 Jun 2016



PADA MULANYA, kupikir hanyalah mimpi. Isak tangis perempuan begitu jelas terdengar, seolah suara itu sengaja dijejalkan seluruhnya ke daun telingaku. Pelan-pelan kubuka mata, tetapi suara itu tetap kudengar. Bu'e, ibu mertuaku, pernah bercerita tentang semar bumi, lelembut yang menghantui dengan suara tangisannya. Makin didekati, suara sang semar bumi itu akan  makin menjauh. Bulu kudukku mulai meremang.
Kupanggil-panggil Nendra, suamiku, sambil meraba-raba mencari saklar lampu meja di sebelah kiriku. Namun, tiba-tiba suara itu hilang, menyisakan hening khas pukul dua malam. Saat lampu menyala, aku tak mendapati apa pun di ruang kamarku. Tersuruk-suruk aku keluar kamar yang pintunya sudah terbuka. Nendra tertidur lelap di sofa ruang tengah, meskipun tanpa selimut. Tampaknya ia tertidur begitu saja karena tangan kanannya masih menggenggam ponsel. Aku mendengus, bukankah seharusnya ia menggenggam tanganku saja seperti malam-malam sebelumnya?
 
 
ESOK PAGINYA, aku bangun kesiangan. Nendra sudah berangkat ke kantor tanpa membangunkanku lebih dulu. Aku merasa bersalah padanya karena tak membantunya bersiap sebelum bekerja.
Dengan malas aku berjalan ke samping jendela di depan kamar. Di sana ada sebuah meja dan seperangkat komputer lengkap dengan konektivitas internet. Sebelum mandi dan membereskan rumah, aku bermaksud untuk menuliskan tentang suara tangis perempuan yang kudengar semalam. Kupikir itu akan menjadi ide tulisan yang cukup bagus.
"Tolong buatkan makanan seperti resep yang sudah kutaruh di meja dapur. Aku akan mencicipinya sepulang lembur nanti malam." Catatan pendek dari Nendra masuk ke e-mail-ku tanpa memberi penjelasan nama dan jenis makanan apa yang akan kubuat. Aku juga tak bisa bertanya sekarang. Peraturannya jelas, kami tidak akan mengganggu satu sama lain saat sedang bekerja.

Aku bergegas ke dapur. Yang kutemukan adalah beberapa bahan makanan dan selembar kertas. Segera kuperiksa barang-barang yang menumpuk di atas meja dapur itu. Beras ketan, kelapa, dan gula jawa. Juga garam, vanili, dan jahe. Sedangkan kertas di sampingnya berisi langkah-langkah membuat makanan, mungkin resep kue atau sesuatu semacam itu.
Aku hanya bisa mendesah. Nendra tahu dengan baik aku tak bisa memasak. Itulah salah satu hal yang kusyukuri karena bersuamikan dia. Nendra mau menyantap apa pun yang kuhidangkan, tanpa pernah mencela. Bahkan, saat aku sedang malas memasak pun, Nendra hanya meminta kubuatkan telur ceplok. Apakah sekarang dia tengah menghukumku?
 
 
MULA-MULA, beras ketan itu kucuci hingga bersih, lalu kuangin-anginkan seharian. Nendra baru akan pulang pukul 9 malam. Jadi, makanan itu mulai kuolah di sore hari.

Beras ketan yang sudah kering itu kusangrai menggunakan wajan antilengket. Aku tak tahu apakah ini jenis peralatan masak yang tepat untuk membuat kue itu. Menyangrai beras ketan bukanlah pekerjaan yang gampang, atau paling tidak begitulah untukku. Menurut resepnya, setelah ini aku harus menumbuk beras ketan sampai halus, tetapi menyisakan sebagian agar tetap dalam butiran halus yang tak hancur. Nglethis, kata resepnya, dan aku hanya bisa mengira-ngira maknanya. Nendra benar-benar tengah mengerjaiku. Apalagi, beberapa jam kemudian jari-jariku meruam karena terlalu keras menghaluskan beras ketan. Tentu saja aku tak memiliki alu dan lumpang, sehingga terpaksa menghaluskannya menggunakan cobek batu.

Akhirnya, aku bisa tertawa semringah saat semua bahan sudah bercampur di wajan. Tinggal kuaduk-aduk, lalu makanan itu segera jadi. Hingga akhirnya aku sadar, tidak ada yang bisa disepelekan dari pekerjaan membuat makanan ini. Aku harus mengaduknya lama sampai benar-benar kalis.
Rasanya semua lelah dan keringatku terbayar saat makanan itu benar-benar siap dimakan. Aku rasa, itu sejenis jenang, meskipun berbeda dari yang biasa dibuat Bu'e. Ada titik-titik putih dari beras ketan yang tak benar-benar lebur. Saat kucicipi, rasanya agak pahit dan terlalu kasar. Padahal, aku sudah membuatnya sesuai resep. Mengikuti  tiap langkahnya dengan teliti. Meskipun awalnya merasa jengkel, aku tetap ingin melakukan yang terbaik untuk suamiku. Jadi, mungkin, memang beginilah cita rasa makanan ini.
 
SISA HARI ITU tak ada yang istimewa. Nendra mencicipi kue buatanku tanpa banyak bicara. Tak dihabiskan semua, tapi aku tahu dia menyukainya ketika makanan itu ia kunyah dengan penuh khidmat. Seolah-olah itu adalah buah surga yang dimakan Adam pertama kalinya. Berlebihan kurasa, tetapi sepertinya begitulah caranya menghargai jerih payahku.
Hingga lima hari kemudian, Nendra kembali minta dibuatkan makanan itu lagi. Begitu pula tiga hari setelahnya. Apakah kue buatanku itu benar-benar enak sampai membuatnya ketagihan begitu?

Sebenarnya, ada hal lain yang juga merisaukanku. Sejak pertama kali mendengarnya, suara isak tangis perempuan itu dua kali kudengar lagi. Pertama dari kamarku saat aku mandi. Namun, begitu aku cek ke dalam kamar, Nendra sedang asyik memainkan gawainya dan mengaku tak mendengar suara itu. Yang kedua kali, aku mendengarnya dari ruang kerja Nendra, tetapi yang kulihat justru Nendra yang sedang menatap layar laptop dan lagi-lagi mengaku tak mendengarnya.
Aku mulai khawatir. Mungkin ada sesuatu yang salah dengan kejiwaanku sehingga menimbulkan ilusi-ilusi semacam itu. Atau mungkin ada jagat lain yang kini tengah merundungiku. Aku tak membahasnya lebih lanjut dengan Nendra, takut kalau-kalau dia malah menganggapku mulai memercayai takhayul atau bahkan mungkin mengira aku sudah mulai gila.
 
MALAM INI aku mendengarnya lagi. Suaranya dari dapur. Buru-buru aku ke sana. Dan lagi-lagi tak ada yang aneh selain keberadaan Nendra. Atau justru itukah yang aneh? Nendra selalu ada   tiap kali suara tangisan perempuan itu kudengar.
"Kamu lagi apa?"
Nendra menggedikkan bahu. "Makan jenang buatanmu."
"Itu memang jenang?" aku baru yakin jika itu memang benar-benar jenang. "Kok, beda sama yang biasa dibuat Bu'e?"
Nendra menggedikkan bahu lagi. "Besok buatkan lagi, ya, Sayang. Kalau bisa buatlah lebih manis. Dan lembut, tapi tetap nglethis." Lalu dia meninggalkanku yang mematung di dapur sendirian.
Tentang suara tangis perempuan itu dan Nendra, mungkin saja berhubungan. Yang pasti tidak mungkin jika itu suara tangisan Nendra sendiri. Dan ketika kuingat-ingat, setelah aku mendengar suara tangisan itu, Nendra selalu memintaku untuk membuat jenang. Atau mungkin itu makanan untuk menangkal keberadaan semar bumi? Pikiranku mulai kacau.
 
ESOK PAGINYA aku menelepon Bu'e sebelum mulai menyiapkan bahan-bahan jenang. Setelah berkabar tentang kehidupan masing-masing, kubacakan resep yang diberi Nendra. Belum selesai kubaca, tiba-tiba Bu'e memotong ucapanku. "Jenang krasikan."
"Apa, Bu'e?"
"Nendra ingin kamu membuatkannya jenang krasikan."
Aku mendesah. Sudah beberapa kali aku mencoba membuat, tapi Nendra tampak belum puas, meskipun tetap memakannya.
Aku mendengar Bu'e tertawa. Beliau pasti memaklumi. Meskipun keturunan Jawa, aku seperti tercerabut dari akar budayaku sendiri. Jangankan memasak jenang, berbahasa Jawa saja aku hanya memahami sedikit kata.
"Buatlah yang manis dan legit. Jangan lupa harus nglethis. Itu ciri khas jenang krasikan."
"Susah, Bu'e," aku memulai keluhan, dan akan kulanjutkan andai saja Bu'e tak mengatakan kalimat terakhir sebelum telepon ditutup. Kalimat yang membuatku diam lama.
 
“KAMU AKAN MENINGGALKANKU?”
Nendra mendongak dari buku yang tengah dibacanya. Kulihat judulnya: Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe. Nendra menyukai kereta, tetapi dia tak suka membaca apalagi memiliki buku semacam itu. Buku itu terlihat sudah lawas, tetapi baru kali ini kulihat.
"Hmm ...," dia hanya menggumam.
Entah mengapa, aku merasa yang berada di hadapanku bukan Nendra yang kemarin dulu. Kukibaskan tangan, "Enggak ... tiba-tiba aku dapat ide tulisan," bohongku. Itu adalah pertanyaan yang kutahan-tahan sejak terakhir kali aku menelepon Bu'e.
Aku siap-siap mengarang cerita, sebab biasanya Nendra akan menarikku untuk duduk di sampingnya, merangkulku, lalu bertanya, "Tentang apa?" dan kami akan menghabiskan waktu untuk mendiskusikan ide itu.
Kali ini tidak. Nendra menekuri bukunya. Benar-benar tepekur. Sebab, bola matanya tak bergerak sebagai tanda jika ia membaca.
"Ndra ...."  Ia masih diam saja. "Nendra ...," kataku lebih keras.

Ia tergeragap. Aku duduk di sampingnya, lantas memeluknya. "Kamu mau kubuatkan jenang krasikan lagi? Aku janji akan membuatnya yang lebih manis. Yang lebih nglethis. Kalau perlu, besok aku berangkat ke Sukoharjo untuk belajar langsung pada Bu'e."
"Kamu kenapa?" Nendra akan melepaskan pelukanku agar dapat melihat wajahku. Aku menahannya.
"Biarkan saja seperti ini. Jangan dilepas."
Nendra pasrah membiarkanku mendekapnya lebih erat. "Rasa jenang krasikannya tak akan sama, tapi kumohon tetaplah bertahan denganku seperti dulu."
"Kamu menelepon Bu'e?"
Aku hanya mengangguk.

Nendra mengambil napas. Dalam. "Kamu tahu itu bukan tentang rasa. Itu tentang kenangan. Maafkan aku."
Saat ini aku hanya ingin tenggelam lebih dalam di pelukan Nendra. "Suara itu ...,"
"Maafkan aku. Aku merindukannya. Namun, kamu tahu kan, kamulah yang kupilih jadi istriku."
Jenang krasikan. Itu makanan yang sering dibuatkan kekasih Nendra dulu. Perempuan yang Nendra temukan setelah ia bertunangan denganku. "Suara itu ...," ulangku.

Nendra mengelus rambutku. Aku tahu dia menyayangiku. "Maafkan aku. Itu suaranya yang kurekam saat pertemuan terakhir kami. Dia menangis karena tahu tak akan lagi bertemu denganku. Rekaman itu selalu kumatikan tiap kamu mulai mendengarnya." Nendra masih mengelus rambutku.
"Dan buku itu ...?"
"Ini buku pemberiannya. Dia tahu aku suka kereta. Beberapa minggu lalu saat membersihkan gudang, aku menemukan ini. Lalu aku teringat dia. Maafkan aku karena merindukannya," ulangnya.
 
AKU TAK PERNAH mendengar isak tangis perempuan itu lagi. Namun, tak ada yang tahu jika aku memutar ulang isak tangisku sendiri. Isak tangis yang kubaurkan dalam adonan jenang krasikan. Tiap kali membuatnya, akan kupastikan, sekarang hanya tentang rasa, bukan lagi tentang kenangan. (f)
 
*** 
Eva Purwaningtyas


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?