Fiction
Jahitan Rena

5 Jan 2017


Pagi ini berbeda. Rena menatap langit dari balik jendela rumahnya. Ia duduk dalam diam. Menatap hujan yang turun di tengah musim kemarau. Tidak biasanya. Batinnya meragu.
            Ia tak bisa berkedip. Perlahan, tangannya terulur, menyentuh titik hujan di kaca jendela. Lalu menarik titik itu membentuk seulas senyum. Tak seperti wajahnya yang kaku. Rena tak tersenyum. Namun, binar-binar indah muncul dalam iris hitamnya.
            Matanya sedang tersenyum.
            Tangan Rena terhenti. Tanpa sadar ia melamun. Wanita itu menatap lama seulas senyum dari titik hujan yang telah melebur bersama titik hujan lainnya. Ia tertegun, melihat satu hal yang ia inginkan, tapi tak bisa ia lakukan. Sebuah senyuman.
            Entah kenapa saat itu bayang-bayang kecil muncul dalam ingatannya. Bayang-bayang yang membuat hatinya seolah meloncat seketika dan menjerit. Rena memalingkan mukanya dari jendela. Tapi, ia tetap menghirup aroma basah dari hujan yang belum reda.
 
 
            MASIH TEREKAM, kisah dari dua puluh enam  tahun lalu, saat ia lahir.
            Ketika dunia menyambutnya. Tidak seperti bayi-bayi pada umumnya. Saat itu Rena tak bersuara sedikit pun. Ia melihat dunia untuk pertama kali dalam kebisuan. Rena sama sekali tak menangis, sampai-sampai ayah dan ibunya takut kalau ia tak bernapas. Tapi tubuhnya sehat. Wajahnya manis, rambut sedikit ikal dan tubuh yang berisi.
            Waktu berlalu dengan keanehan yang dimiliki Rena. Saat usianya sudah menginjak tiga bulan, dokter mendiagnosis Rena mengalami sindrom tanpa ekspresi. Ia lalu menyebutnya dalam istilah medis yang sama sekali tidak dimengerti oleh orang tua Rena. Bagaimana tidak, mereka hanya lulusan sekolah dasar dan sehari-hari bekerja sebagai buruh pabrik. Namun, bukan berarti mereka tak menyadari  putri mereka terlahir dengan tidak sempurna.
            Mereka hanya diam dengan mata yang memanas mengetahui bahwa Rena akan tumbuh dengan wajah dingin. Putri mereka tak bisa tersenyum, menangis, tertawa ataupun marah. Ia bahkan mengalami gangguan bicara.
            Sepanjang hidupnya ia tak akan bisa mengutarakan emosinya lewat raut wajah. Bagaimana kalau nanti ia mendapat cemoohan dari teman-temannya? Kedua orang tua Rena mendadak takut memikirkannya. Saat itu hujan, dan helaan napas mereka terdengar berat. Mereka pun menumpahkan air mata yang awalnya mereka tahan.
 
 
            TAHUN BERGANTI. Rena kecil telah menginjak usia 14 tahun dan ia tidak memiliki teman satu pun. Rena melalui hari-harinya dengan senyum ejekan. Anak-anak seusianya memanggil Rena dengan sebutan yang berbeda-beda. Kadang mereka menyebutnya dengan muka batu, muka topeng atau si aneh. Sebelum akhirnya mereka berlari pergi untuk menghindar dari ayah Rena yang datang memarahi mereka satu per satu.
            Rena merasa kosong.
            Ia tidak cantik, juga tidak terlalu pintar. Tidak ada hal yang bisa Rena lakukan dengan baik, kecuali menjahit.
            Hanya menjahit. Satu-satunya hal yang kerap Rena lakukan ketika sendiri. Meski Rena tak ingat kapan pertama kali ia menjahit. Namun, ia ingat bagaimana ayah dan ibunya menabung agar bisa membeli mesin jahit bekas untuknya. Ayah dan ibunya bahkan mengenakan pakaian yang pertama kali dijahit oleh Rena hampir  tiap hari hingga pakaian itu lusuh.
            “Kau memiliki tangan ajaib untuk menjahit,” ucap ayahnya, bangga.
            “Aku akan mengatakan pada semua orang kalau putriku sangat hebat.”
            Saat itu, jantung Rena seakan hampir meledak karena bahagia. Matanya berbinar, meski air mukanya datar. Ia hanya mampu mengutarakan perasaannya melalui mata. Walau ia hanya bisa melakukan satu hal,  ia bahagia bila jahitannya menciptakan raut bangga di wajah ayah dan ibunya.
            Rena telah lama putus sekolah. Sepanjang hari ia akan duduk di depan mesin jahit seorang diri. Sambil menunggu kepulangan kedua orang tuanya dan juga kedua adiknya yang mungkin akan bermain sampai sore selepas sekolah. Seperti biasanya.
            Hari ini pun ia masih menjahit. Jari-jari Rena tampak bergerak lincah dengan mesin jahit yang berputar halus. Ia mengangkat pakaian itu sebentar, lalu meletakkannya kembali.
            “Sedikit lagi selesai,” ia menggumam kecil.
            Jarum jam berdetak pelan.
            Kali ini Rena mendongak, melihat jam dinding berlatar wajah calon kepala daerah. Satu-satunya benda yang didapat oleh ayahnya secara gratis. Rupanya sebentar lagi sore. Ia kembali mengarahkan pandangannya pada mesin jahit dan pakaian hampir jadi di hadapannya.
            Sedikit tanggung. Walau tak lama berselang, ia dapat mendengar pintu diketuk sebentar sebelum kemudian didorong oleh kedua adiknya yang kembali dengan pakaian kotor. Apa mereka bermain lumpur lagi? Rena mendesah dalam hati.
            “Jangan bilang sama Ayah, ya, Kak Rena.” Mereka memasang senyum lebar. Lalu berlari-lari kecil menuju kamar mandi sembari tertawa.
            Rena tak menjawab. Rautnya kaku, namun matanya berbinar melihat tingkah kedua adik kembarnya yang terpaut delapan tahun darinya. Senyumnya tergambar dalam kedua bola matanya. Rena lanjut memutuskan untuk beranjak dari duduknya, meninggalkan pakaian setengah jadi dan mesin jahit.
            Ia hendak menyiapkan makanan ketika terdengar ketukan dari arah luar. Rena lantas heran. Pikirnya meragu bila itu ayah dan ibunya. Mereka selalu bergegas masuk tanpa harus menunggu Rena membuka pintu. Lagi pula masih tersisa satu jam sebelum mereka pulang.
            Rena meletakkan beberapa piring sebelum melangkah ke arah pintu lalu membukanya. Ia sempat bingung melihat Pak Bagas, salah satu teman kerja kedua orang tuanya, telah berdiri di luar dengan kening berkerut. Rena tak bisa menebak air muka lelaki setengah baya itu. Ia tampak kalut.
            “Nak..” Pak Bagas mulai bersuara setelah beberapa menit berlalu. Suaranya benar-benar bergetar. “Ayah sama ibumu…,” ucapannya terhenti. Ia menutup mulut dengan tangan kanannya, berusaha meredam sesuatu. 
            Saat itu, hati Rena mendadak gusar.  “Me  mereka ke kenapa?” Rena berusaha bertanya, meski terbata.
            “Ada kecelakaan.”
            Dunianya runtuh.
            Rena bungkam. Matanya meredup. Tidak ada raut sedih yang tergambar di wajah Rena. Untuk pertama kali, batinnya tersiksa karena tidak ada air mata yang jatuh. Hanya ada raut datar yang membuat Rena melemas. Meski ia tidak bisa merasakan pijakan kakinya. Walaupun jantungnya seolah berpindah tempat karena meremas sakit. Ia tetap tidak mampu menangis.
            Sore itu, Rena merasa warna-warna menghilang perlahan dalam dunianya. Ia berjalan tertatih menuju mesin jahit. Meninggalkan Pak Bagas yang masih berdiri di luar dan kedua adik laki-lakinya yang entah sejak kapan telah mematung di belakang Rena.
            Di sana, Rena duduk lalu menatap pakaian yang belum diselesaikannya. Senyum ayah dan ibunya melintas dalam pikirannya. Sangat indah hingga napas Rena  hampir tercekik. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Rena bahkan tidak bisa menenangkan kedua adiknya yang kini berteriak menangis.
            Pada akhirnya ia kembali menjahit. Dengan topeng yang tetap terpasang di wajahnya.
 
 
            WANITA ITU tersadar dari lamunannya. Hujan kini telah reda. Sejenak Rena menatap langit tanpa awan hitam. Menanti pelangi selepas hujan. Tapi ia tak pernah menemukannya. Bahkan sejak kecil. Apakah pelangi itu benar-benar ada?
            “Mau kopi?”
            Sebuah suara terdengar dari arah belakang. Rena memutar tubuhnya, lalu menemukan rekan kerjanya yang bernama Mila telah berdiri dengan segelas kopi pahit di tangannya. Sejak kapan ia berdiri di sana? Rena sama sekali tidak menyadari kehadiran temannya sejak tadi.
            “Tidak. Terima kasih,” jawabnya kemudian.
            Mila tersenyum tipis, lalu mulai menyeduh. “Sejak tadi aku ingin sekali menegurmu. Tapi karena kau melamun, jadi aku memutuskan untuk diam.”
            “Oh,” Rena menanggapi singkat.
            “Hei, apa yang tadi kau lamunkan? Kau membuatku menebak-nebak dari tadi. Kau bisa bercerita padaku, ‘kan?” Mila berujar dengan cepat setelah ia meletakkan gelas kopinya. Tangannya menarik salah satu kursi lalu menyeretnya pelan tepat di hadapan Rena. Mila lalu duduk, seolah siap mendengar.
            “Tidak ada, kok.” Rena memutuskan untuk beranjak. Meninggalkan sahabat pertamanya yang melongo.
            Mila mendengus. Tangannya terlihat bertopang dagu.
            “Kau selalu saja tertutup. Padahal sebagai sahabat, aku siap mendengar ceritamu,” ucap Mila setengah dongkol.
            Rena hanya diam sambil mendengar ocehan Mila. Ia menggantung beberapa pakaian yang telah dijahit rapi ke dalam lemari. Pakaian-pakaian milik pelanggan itu tersusun rapi berdampingan dengan pakaian yang ia jahit untuk ayah dan ibunya, dua belas tahun yang lalu.
            “Kemarin aku melihat Bayu bersama Indah. Kau tahu…” Ucapan Mila terhenti secara perlahan. Ia buru-buru menutup mulutnya dengan sebelah tangan sambil mengumpat atas kebodohannya. Apa yang ia katakan barusan?
            Ia tak berani menatap Rena. Mila mendesah panik. Ia menggigit bibirnya. Bagaimana bisa ia bercerita pada Rena mengenai mantan suami sahabatnya?
            Napas Rena tertahan. Ia tetap berdiri mematung. Mendengar nama Bayu membuatnya kehabisan kata-kata. Matanya tanpa sadar terarah pada pakaian berwarna krem yang tergantung di deretan paling ujung.
            Pakaian yang tersampir itu dijahit oleh Rena sebagai bingkisan hadiah untuk suaminya. Seseorang yang pernah menumbuhkan binar-binar kecil dalam iris matanya kembali.
            Dulu. Sebelum mereka memutuskan untuk berpisah.
            Rena ingat bagaimana Bayu memberi surat perceraian padanya satu hari sebelum ulang tahun pernikahan mereka yang keempat dengan raut tanpa senyum. Ia bilang bahwa rasa cintanya untuk Rena telah lama memudar. Ia lelah menanti keturunan, sementara Rena belum mengandung.
            Rena terkesiap. Wajahnya dingin namun jantungnya teriris. Hatinya sempat mempertanyakan ucapan manis yang dulu diucapkan oleh suaminya sebelum mereka menikah. Serapuh itukah cinta yang dimiliki Bayu untuknya?
            Rena terdiam. Sekali lagi tanpa ada air mata. Kala itu, untuk yang kedua kalinya  ia menemukan jahitannya tergeletak tidak sempurna ketika seseorang pergi dari kehidupannya.
            “Maaf.”
            Nada suara Mila yang pelan menyadarkan Rena dari lamunannya. Mila benar-benar tak enak hati. Ia merasa bersalah.
            “Tidak apa-apa.” Rena akhirnya bersuara. Matanya tetap terarah pada jahitan-jahitan dalam lemari. Gambaran wajah ayah, ibu dan mantan suaminya melintas.  
            “Sesuatu yang berharga hanya dimiliki untuk sementara.”
 
 
            Kita hanya perlu mengangkat kepala dan melihat hari esok. Tidak ada yang harus disesali.
            Kata-kata ibunya selalu tertanam dalam kepala Rena. Ia duduk di depan mesin jahit seorang diri. Sahabatnya sudah lama pulang sambil terus meminta maaf padanya. Meskipun Rena tidak menganggap ucapan Mila itu sebagai suatu hal yang salah. Sedangkan kedua adik kembarnya masih berkemah dan baru akan pulang lima hari lagi.
            Sembari menatap jam dinding, Rena sesekali membuang pandangannya ke arah jendela. Ia menatap langit yang telah gelap. Rasanya begitu hampa. Tangan Rena tergerak untuk menutup gorden jendela, bertepatan dengan dering ponselnya yang terdengar berulang kali.
            Rena menoleh pada ponsel itu. Lalu melihat nomor tak dikenal yang tertera di layar. Batinnya berubah bingung. Namun, ia tetap menekan tombol terima dan mulai mendekatkan ponsel ke telinganya.
            Terdengar suara tak jelas dari seberang. Seperti mengatakan sesuatu dengan tergesa-gesa. Tidak hanya satu. Ada beberapa suara yang turut didengar oleh Rena.
            “Ini siapa?” Rena bertanya.
            Lama tak terdengar jawaban.
            “Aku Dian. Teman kuliah Dika dan Diki. Ini Kak Rena, ‘kan?” Suara itu tidak cukup jelas, tapi Rena masih dapat menangkap maksudnya.
            Dian? Rena mencoba mengingat.
            “Kak…”
            “Ya, kenapa?” tanya Rena beberapa detik kemudian. Tanpa sadar, suaranya tercekat.
            “Dika dan Diki, Kak.” Kali ini suara Dian terdengar sangat cemas.
            Tangannya bergetar tiba-tiba. Nada ucapan cemas itu seolah memaksa otak Rena untuk mengingat berita buruk yang diterimanya dulu. Batin Rena menolak.
            Rena bungkam untuk yang kebeberapa kali. Ia menelan ludah susah payah.
            “Mereka hilang di hutan, Kak.”
            Ponsel itu terjatuh.
            Langit  makin pekat dan Rena terduduk dengan jantung setengah remuk. Rena ingin sekali berlari, namun tubuhnya kaku. Tangan dan kakinya mati rasa. Satu-satunya hal berharga yang masih dimiliki olehnya hampir pergi.
            Rena membeku. Tak ada yang berubah dari air mukanya. Tidak ada isak tangis dan juga raut kepedihan. Topeng di wajahnya tidak akan terbuka, sekalipun Rena memaksa.
            Untuk yang ketiga kalinya, air mata Rena tertahan di dalam hati.
 
Malam itu, di atas meja jahit, pakaian untuk kedua adiknya tergeletak hampir sempurna. (f)
 
 ***
Miftahul Hassana

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?