Fiction
Hidangan Pendamping Prata

20 Oct 2016

 
GERAKAN TANGAN halus itu mendadak terhenti membetulkan sanggulnya. Wajahnya berubah menjadi kelam, seperti sedang ia simpan sebuah pertanda kelabu di dalam benaknya. Tatap matanya tajam tertuju padamu. Bukan terpesona pada jambangan porselen merah saga yang berisi beberapa kuntum mawar putih cantik, yang baru saja kau letakkan di meja yang telah dihias dengan kain kuning gading itu. Bukan! Melainkan hidangan yang tersedia di antara meja itu.
Matamu sigap membaca hati ibumu. Sekian tahun tak berjarak, kau hanya tinggal berdua dengan ibumu, membuat kau paham  tiap gestur ibumu adalah isyarat perasaannya saat itu. Bila tiba-tiba Ibu terdiam, selanjutnya mata Ibu fokus tertuju pada sebuah benda atau menatap tajam pada seseorang, itu tandanya Ibu sedang mengoreksi benda tersebut, atau sedang memberi peringatan dengan lawan bicaranya, namun tidak mampu menyampaikannya melalui suara. Di suatu hari yang berbeda, jika mendadak ujung kening Ibu berkerut, jemarinya berirama mengetuk-ngetuk lututnya, tatapan matanya kosong, walaupun tampak tersenyum, kau tahu bahwa sesungguhnya pikiran Ibu sedang berada di ruang hampa, jauh meninggalkan kehidupan nyata.
 Senja itu, kau seperti sedang dihadapkan pada situasi sulit. Pilihan yang tak mudah. Kau paham hidangan pembuka itu akan melukai hati Ibu. Namun, kau harus menghormati si pemberi antaran hidangan pembuka itu. Hidangan itu harus tersaji di acara lamaran agar calon ibu mertuamu tidak tersinggung. Bagaimana semestinya menjaga perasaan kedua hati perempuan itu? Sementara di waktu yang bersamaan kau tak mampu berlaku adil. Harus memilih! Meski pilihanmu itu bagai duri yang menusukkan luka di hati salah satunya.
“Maafkan Arimbi, Ibu,” ucapmu lirih, saat Ibu menghampirimu. Kau menunduk, tak berani membalas tatapan tajam ibumu. Sejenak ibumu terdiam.
“Mengapa makanan tak layak itu masih tersaji di rumahku? Mengapa kau tak mengerti, Arimbi?” Ibu yang biasa berlaku lembut tiba-tiba kehilangan kendali diri. Suaranya melengking tinggi, meski terdengar seperti getar yang tertahan. Bibirnya dikatupkan seperti sedang melawan pilu. Barangkali serupa tangis yang diendapkan sekian tahun kemudian luluh lantak pada benturan ingatan. Hati ibumu serupa tembikar yang ketika retak, meski telah kembali direkatkan, tetap saja meninggalkan garis luka.
“Untuk kali ini, sudahlah, Bu. Bukankah, Ibu selalu mengajarkan bagaimana cara menghargai orang lain? Dan antaran makanan itu adalah cara mereka menghormati kita. Itu makanan khas mereka yang telah menjadi adat turun-temurun. Jika hidangan pendamping itu tak dihidangkan di acara ini, itu artinya Arimbi menolak kedatangan keluarga besar Pradith Khan. Dan dipastikan tidak akan ada pernikahan antara aku dan Pradith. Jadi, prata harus tersaji sebagai isyarat bahwa Arimbi menerima pinangan Pradith Khan.”
Kau menjelaskan dengan suara memohon pengertian Ibu. Ibu terdiam, berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah merusak riasan. Matanya tak lepas menatap tajam padamu, kemudian membalikkan badan  menuju kamarnya.
Lalu, pintu kamar Ibu akan terdengar berdebam dibanting kuat. Selalu seperti itu jika menyangkut roti bulat berserat itu. Kebiasaan berikutnya, kau sudah hafal. Pertama, Ibu akan mengeluarkan foto album keluarga, kemudian duduk di pinggir ranjangnya. Tangan Ibu akan mengusap-usap foto masa lalu, saat kau kecil, Ayah dan Ibu sedang menikmati sarapan pagi dengan menu roti bundar berlumur kari. Lalu Ibu akan menangis dan buru- buru menyeka air matanya ketika pintu kamarnya berderit. Kau akan segera menyusul ke kamar Ibu, bersimpuh di kaki Ibu, terkadang memeluk kakinya, dan bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Mengapa masih kau simpan foto itu, Ibu?”
 
 
ADA RITUAL PAGI pada 20 tahun silam. Meja bundar itu selalu menjadi tempat penantianmu dan ayah. Sarapan pagi. Selalu dengan menu yang sama. Ibu akan marah jika ritual pagi itu diabaikan. Dengan telaten Ibu akan membagikan hasil masakan andalannya. Biasanya, Ayah mendapat tiga keping roti bundar itu. Untuk dirinya sendiri, Ibu cukup memberikan jatah dua keping roti dari Timur Tengah itu. Dan kepadamu, Ibu akan membagikan dua keping roti prata. Jika piring sudah terisi dengan prata, maka Ibu akan menuangkan kuah kari daging sapi, kemudian menaburkan bawang goreng. Harum roti prata sehabis dipanggang dipadu dengan aroma kuah kari yang gurih, sangat menggoda.
“Arimbi, cuci tangan dulu, Nak,” kalimat pembuka Ibu sebelum menikmati prata, sekaligus menjadi kalimat terakhirnya sampai selesai menikmati sarapan pagi kami. Ibu selalu melarang bicara saat makan. Bahkan, jika sendok tak sengaja berbenturan dengan piring, maka Ibu akan memperingatkan kau dan Ayah, dengan tatapan tajam. Menurutnya, prata harus dinikmati dengan suasana tenang. Tanpa suara. Tanpa cerita. Untuk menghargai larangan Ibu, maka kau dan Ayah memilih makan tanpa sendok, tanpa garpu, agar terhindar dari benturan suara sendok yang beradu dengan garpu atau piring.
“Sudah, Ibu,” jawabmu singkat.
“Ayah juga sudah cuci tangan, lho,” seru Ayah, sambil memperlihatkan kedua tangannya yang terlihat bersih kepada Ibu.
Sarapan pagi selesai. Dan sebagai hidangan penutupnya, segelas susu cokelat untukmu, dan secangkir teh hangat untuk Ayah.
 
 
DI SUATU SIANG yang panas, Ibu panik! Nenek kalut! Resep prata hilang!
“Cobalah, kau ingat-ingat kembali. Barangkali kau lupa,” bujuk Nenek.
“Aku tidak lupa meletakkannya, masih di kotak jati berukir itu. Tak berubah. Masih sama seperti saat pertama kali kau menyerahkannya padaku. Aku patuhi perintahmu untuk meletakkan kotak itu di lemari makan. Tentu saja sudah kukunci rapat. Dan aku pastikan tidak ada yang mampu mencurinya dariku.”    
“Apakah kau ingat, tamumu akhir-akhir ini?“ Nenek berusaha menggali informasi.
“Tentu saja aku mengingatnya,” kata Ibu mantap. “Ibu Guru Maryam, guru les harpa Arimbi. Seminggu dua kali, ia datang ke rumah. Setelah ia mengajar, biasanya aku mengajaknya ke taman belakang rumah untuk menikmati secangkir teh hangat. Sebagai pelengkapnya, aku hidangkan prata. Obrolan kami hanya sebatas perkembangan harpa yang dipelajari oleh Arimbi. Tidak ada obrolan yang menyinggung soal prata.”
“Lalu, adakah tamumu yang lain?” Nenek mencari kemungkinan lain.
“Pak Darmanto. Tukang kayu yang sudah seminggu bekerja di sini untuk memperbaiki pintu rumah. Setiap pagi, aku hidangkan kudapan dan segelas kopi hitam. Pernah sekali aku hidangkan prata. Aku tak curiga padanya. Sebab, prata yang aku hidangkan ketika itu, tidak dimakannya. Ia lebih memilih ubi rebus.”
“Selain tamu itu?”
Ibu menggeleng.
 
HARI ITU seperti hari-hari biasa lainnya. Untuk sementara, kau latihan harpa di rumah Ibu Guru Maryam. Harpa milikmu rusak. Padahal minggu depan, akan ada pentas seni di sekolah. Kau ingin memenangkan perlombaan ini. Maka, kau meminta pada Ibu guru Maryam untuk menambahkan jam latihan menjadi satu minggu empat kali. Disepakati.
“Bagaimana latihannya hari ini, Bu Maryam?” tanya Ayah ketika menjemputmu di rumah Ibu Guru Maryam.
“Arimbi memang cerdas. Dia cepat sekali menguasai teknik vokal  tiap lagu baru,” jelas Ibu Maryam.
Sampai di hari ketujuh saat Ayah menjemputmu, tidak ada yang berbeda. Hari kedelapan, kau mulai merasa ada yang ganjil. Saat kau sibuk mengemasi peralatan harpa, kau mendengar Ayah yang biasanya tak banyak bicara, tertawa terbahak disusul dengan suara tawa Ibu Guru Maryam yang renyah.
Sesungguhnya, Ayah orang yang humoris. Dan Ibu Guru Maryam sosok perempuan cantik yang supel. Sesuatu yang wajar. Namun, jika kau menyelinapkan dugaan keganjilan dalam  benak kecilmu, barangkali prasangka itu hanya sebuah kekeliruan sederhana. Namun, di hari lain, perbincangan Ayah dan Ibu Guru Maryam bukan lagi seputar harpa yang membosankan, tapi obrolan seru diselingi canda tawa.
Hari berikutnya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ibu Guru Maryam meminta Ayah dan kau untuk tidak bersegera pulang. Ibu Guru Maryam mengundang kau dan Ayah untuk menikmati jamuan malam. Di meja makan bulat itu sudah tersedia hidangan andalan Ibu. Roti bulat berlapis-lapis dengan rasa gurih yang khas itu bersanding dengan semangkuk gulai daging.  
“Kamu juga bisa masak prata?” seru Ayah tak percaya.
Ibu Guru Maryam tersenyum. “Silakan dimakan. Ayo, Arimbi dihabiskan saja!”
Kau mengangguk, sedangkan Ayah sudah menyobek roti itu, lalu sobekan roti ia gunakan untuk menciduk gulai daging.
 
KAU TIDAK MENCERITAKAN semua kejanggalan itu pada Ibu. Pertama, Ibu Guru Maryam pandai sekali membuat prata dengan berbagai variasi pendamping prata, kadang-kadang prata bersanding dengan kari atau gulai kacang hijau atau gulai kacang merah. Terkadang prata hanya bertabur dengan susu kental cokelat keju.
Di lain hari, prata hanya bersanding dengan madu. Atau di hari yang berbeda, prata dipadankan dengan mayones berlapis biskuit cokelat yang telah dihaluskan. Kadang-kadang, prata disajikan dengan cara sederhana, prata yang baru matang dipanggang itu  berdampingan dengan selai blueberry atau stroberi, kemudian dilapisi dengan susu kental manis.  Hari berikutnya, prata yang masih panas itu dicelupkan ke mangkuk kecil berisi yoghurt dingin. Di meja makan bundar milik Ibu Guru Maryam, kalian boleh bercerita apa pun. Terkadang Ayah bercerita sesuatu yang  membuat suasana ramai. Kemudian, Ibu Guru Maryam akan menimpali candaan Ayah.
“Terima kasih untuk jamuan prata yang selalu menyenangkan,” kata Ayah, saat pamit di suatu perjumpaan.
Apakah Ibu Guru Maryam, si pencuri resep prata dari lemari rahasia Ibu? Kau tidak percaya,  ibu guru yang baik itu telah mencuri resep Ibu. Sebab, Ibu Guru Maryam lebih pintar mengombinasikan pendamping prata dengan berbagai variasi rasa. Berbeda dengan Ibu yang  tiap pagi hanya menyajikan prata kari. Prata kari  tiap pagi!
Sesungguhnya kau ingin mengatakan pada Ibu bahwa kau atau mungkin Ayah sangat bosan dengan menu itu. Walau prata buatan Ibu lezat, tanpa ada yang bisa menandinginya,  prata buatan Ibu Guru Maryam berbeda. Pendamping prata selalu menjadi kejutan bagimu dan Ayah. Empat keping prata, bahkan sampai lima, selalu tandas habis kau lahap. Ayah? Tentu lebih dari tiga keping.
 
KAU TIDAK SEDANG berkhianat kepada Ibu. Sungguh tidak! Kau hanya menyukai prata dan pendamping prata buatan Ibu Guru Maryam. Tentu saja kau juga merasakan hal yang sama dengan Ibu. Perasaan tak rela ketika Ayah mencium kening Ibu Guru Maryam saat pamit. Kau masih kecil ketika itu. Tetapi kau bisa menduga, suatu hari kau akan kehilangan ayahmu.
 Benar saja. Malam itu terjadi pertengkaran hebat. Ibu berteriak-teriak sambil menyebut nama Ibu Guru Maryam. Tapi, Ayah juga tak kalah membara. Ayah menggebrak meja. “Aku bosan dengan prata buatanmu!” teriak Ayah.
Kau menahan napas. Ibu sangat terkejut. Ayah yang terbiasa lembut itu kini tampak seperti buto ijo. Ibu juga tidak mau mengalah. Ibu menampar wajah Ayah. Astaga!  Padahal, selama ini Ibu selalu menghormati Ayah. Ibu yang selalu mengajarkan sopan santun dan melarang untuk berkelahi. Kau seperti tak mengenali Ibu. Ibu berubah seperti Nyi Blorok, tokoh dongeng yang menyeramkan.
Hening sesaat. Tapi di detik berikutnya ada suara berisik dari dapur. Prang! Kau mengintip dari celah pintu dapur yang sedikit terbuka itu. Rupanya Ayah telah membanting loyang yang berisi biang prata. Ibu memunguti biang prata sambil menangis. Tapi Ayah tak peduli. Dari balik pintu itu, terdengar samar-samar suara Ayah yang berteriak. Menurut Ayah, prata buatan Ibu yang terlalu asin dan artifisial, seperti cerminan Ibu. Membosankan, kuno dan kaku.
Andai Ibu tahu, kau sengaja menyembunyikan rahasia itu darinya, ia pasti menghukummu. Ibu Guru Maryam bukan pencuri resep prata. Kau percaya itu. Tapi, ia telah mencuri pendamping prata dari Ibu. Pendamping Ibu yang sesungguhnya, yang mutlak milik Ibu seorang. Pendamping Ibu yang kini terbelah hatinya. Sejak pertengkaran itu, Ayah tak pernah pulang.
 
“BOLEHKAH ARIMBI menikah dengan Pradith Khan?” kau berharap. Ibu terdiam. “Pradith pria yang baik dan bertanggung jawab. Arimbi percaya Pradith tak akan menjadi seperti laki-laki di masa lalu Ibu. Memilih pendamping seperti Pradith dan menikahinya, berarti akan ada prata menyertai. Tetapi, jika Ibu tidak mengizinkan, Arimbi tak akan menikahinya.”
Ibu mengangguk pelan. Matanya berkaca-kaca, seolah sedang menahan tangis. Ibumu telah bersusah payah membuang prata jauh dari hidupnya. Namun, tanpa sengaja kau membawanya pulang kembali. Berilah maafmu, Ibu. Kau memeluk kaki Ibu yang duduk di pinggir ranjang putih itu. Tangan halus itu mengusap-usap kepala putri yang paling dicintainya. (f)

***

E. Rosalina


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?