Foto: Freepik
Saya hampir yakin, kebanyakan wanita merasa bebas merdeka ketika sampai di rumah dan bisa melepas bra, semahal apa pun bra tersebut. Meski bra disebut-sebut punya berbagai benefit kesehatan, saya,sih,lebih suka berkeliaran di rumah tanpa bra. So liberating!
Bagi saya, bra begitu menekan dada, dalam arti sesungguhnya. Jadi, tiap kali ada kesempatan untuk membuka kaitannya yang sungguh mengikat itu, saya akan melakukannya.Hayoo…siapa yang sama dengan saya, tunjuk jari….
Sudah tentu saya tidak bisa braless di kantor, sekalipun AC kantor mati(yang terjadi cukup sering) dan keberadaan si bra seperti membuat saya merasa makin gerah. Tapi, begitu mobil meluncur di jalan tol, tangan kiri saya sudah begitu terampil membuka kaitan bra, sambil tangan kanan memegang setir mobil. Hanya membuka kaitannya, kok….tidak sampai melepasnya, ha… ha… ha….Fiuhhh…lega!
Well, paling tidak saya masih bisa menahan diri untuk tidak membuka kaitan bra ketika masih berada di parkiran kantor. Kebiasaan braless di rumah terkadang bikin saya ribet sendiri. Sebab, saat weekend, saat sedang‘merdeka-merdekanya’, ada saja tamu yang nongol di pintu pagar. Mulai dari pak pos, tukang tahu sutra langganan, hingga satpam kompleks.
Begitu terdengar bunyi bel, penghuni rumah yang isinya wanita semua saling memandang. Mata kami seolah mengatakan, “Kamu saja, deh, yang keluar.” Biasanya,sebelum lari ke kamar untuk menyambar bra, saya mengulurkan kepala keluar jendela ruang tamu atau membuka ruang tamu dan memperlihatkan kepala saja.
“Bentar, ya, Pak!” saya berteriak. Kalau yang datang adalah tukang tahu, ada tambahannya,
“Tahu sutranya lima, ya, Pak!”
Jadi, kalaupun belum ada penghuni rumah yang keluar, paling tidak mereka tenang karena usaha berteriak menjajakan dagangan atau usaha menekan bel tidak sia-sia. Yang lebih ribet adalah ketika tukang bubur ayam atau tukang roti keliling lewat. Masalahnya,keputusan membeli kadang kala memang dadakan juga.Sangat tergantung mood.Jadi, mereka juga tidak ditunggu dengan sengaja.
Begitu mendengar suara penjual sarapan itu, dan memutuskan untuk membeli, salah satu dari kami langsung melesat ke kamar (bukan keluar, ha… ha… ha...) untuk pakai bra dulu, baru lari keluar untuk mengejar tukang bubur, yang sudah jauuuh…entah menghilang di pengkolan mana. Yah… gagal, deh, sarapannya.
Kami menyusun strategi baru. Saat suara mereka mulai terdengar di kejauhan, satu orang (dengan suara terkeras) siap di jendela, memanjangkan leher. Kala ujung gerobak terlihat, ia berteriak, “Bang!”dengan suara sekeras-kerasnya. “Bubur tiga, ya. Semua pakai kacang dan seledri. Dua pakai sambal, yang satu enggak.”
“Iya, Neng.”
Aman. Setelah satu orang berkorban untuk pakai bra dan keluar rumah, kami bisa sarapan dengan tenang. Suatu malam saya lembur, baru meninggalkan kantor lebih dari pukul 22.00. Seperti biasa, saat sudah ambil tiket di gerbang tol, bra langsung saya unhook. Kali ini saya sampai melepas bra dan melemparnya begitu aja ke tempat duduk sebelah. Toh,sudah malam. Bra itu pasti tak terlihat dari luar.
Saat mendekati area rumah, terlihatlah lampu-lampu mobil berwarna biru.Dugaan saya, itu mobil polisi. Tidak hanya satu, mobilnya berderet-deret. Wah, razia, nih! Saya harap-harap cemas mobil saya tidak sampai tercegat. Tapi, harapan itu sia-sia. Polisi berjalan ke tengah jalan dan meminta mobil saya menepi. Mati gue! Surat izin kendaraan, sih, komplet. Yang enggak komplet adalah pakaian saya! Oh, no!
Tangan saya meraih bra dan memasukkannya secara paksa ke dalam tas, seolah-olah bra itu adalah barang curian yang harus disembunyikan. Perlahan saya membuka kaca jendela. Tentu saja tidak sampai pol. Mungkin hanya sepertiganya, sampai kira-kira pak polisi bisa melihat wajah saya.
“Selamat malam, Mbak.Boleh saya lihat SIM dan STNK-nya?” tuturnya, sangat santun. Tangan saya meraih tas, lalu mencari dompet. Aduh, ini bra pake nyembul-nyembul segala! Seandainya saja hari masih siang, pasti pak polisi itu bisa melihat bahwa wajah saya memerah panas. Sambil mencari dompet, tangan saya menekan bra supaya masuk lebih ke dalam lagi. Setelah beberapa detik, saya menemukan dompet.
Segera mengambil SIM dan STNK, lalu mengulurkannya kepada pak polisi. Ia hanya memeriksa sekilas, lalu menyerahkannya kembali kepada saya. “Silakan jalan kembali, Mbak. Hati-hati di jalan,” katanya. Sekilas saya melihat ia senyum-senyum. Ih, kok,dia senyum-senyum, sih? Eh… tapi dia itu tersenyum ramah atau senyum-senyum, ya? Oh,no!
PendarAyu – Jakarta
Kirimkan Gado-Gado Anda maksimal tulisan sepanjang tiga halaman folio, ketik 2 spasi. Nama tokoh dan tempat kejadian boleh fiktif. Kirim melalui e-mail: kontak@femina.co.id atau pos, tuliskan di kiri atas amplop: Gado-Gado
Topic
#gadogado, #fiksifemina