Fiction
Cincin Merah Delima [4]

25 Sep 2016

 
Bagian 4 (Tamat)

Kisah sebelumnya:
Ketika pergi ke kawasan Kota Tua di Yogyakarta, Duma membeli cincin merah delima yang membawanya melompat ke tahun 1990-an, semasa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Duma bertemu dengan Danur, yang gigih melawan Belanda dengan kedok pemilik tayub. Duma pun menjadi penari tayub.
 

Danur menatap wajah ayu di depannya sambil tersenyum. Ia sudah tahu arah pembicaraan nona Belanda itu. Perlahan diraihnya jemari tangan putri kepala administrateur itu. Dengan tak melepaskan tatapannya, Danur berkata, “Nona Corie, sekarang gantian saya yang ingin bertanya.”
“Oh, silakan, Danur. Kalau ik bisa jawab, pasti ik kasih je jawaban,” ucap Corie, dengan dada berdebar. Berada dekat sekali dengan lelaki yang dipujanya membuat dada Corie serasa ingin meledak dalam kebahagiaan yang membuncah.
“Saya ini inlander, Nona. Dan Tuan Carl kurang suka kepada inlander. Apakah beliau tidak akan murka seandainya mengetahui bahwa putri satu-satunya bergaul sangat akrab dengan seorang... inlander?“
“Tapi, Danur inlander yang beda. Papi sangat mengagumi kesenian tayub yang je pimpin.”
Danur tersenyum tipis.
“Menurut kabar yang saya dengar, Nona sudah dijodohkan dengan...  Kapten Dwight?”
“Danur dengar dari siapa?”
“Dari Pak Lik Pawiro.”
Ne... ne... Itu kehendak Papi yang berusaha mengikat Kapten Dwight agar tetap di sini dan tidak kembali ke Semarang.  Ik sendiri tak ada cinta sama lelaki itu.”
“Nona, apakah Tuan Carl pernah mengkhawatirkan keamanan pabrik gula di Sewugalur ini?” tanya Danur, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Corie menarik napas panjang. Jawabannya terdengar seperti keluhan.
“Papi selalu merasa takut, suatu saat inlander akan menyerbu ke suikerfabriek. Maka, Papi meminta bantuan kepada burgemeester (wali kota) di Semarang untuk meminjamkan pasukannya, guna menjaga keamanan di sini, termasuk menyewa Kapten Dwight,” ucap Corie, sambil menyandarkan kepalanya di pundak Danur.
Sepasang burung emprit gantil di dahan sawo bercericit riang, seolah tak ingin kalah dengan kemesraan sepasang muda-mudi beda kulit itu.
“Mereka... membawa perlengkapan persenjataan dari Semarang?”
Ne... Danur.  Papi sudah menyimpan banyak senjata di suatu tempat.”
“Oh, ya? Di mana?” tanya Danur dengan dada berdebar.
Nona Belanda itu menyebutkan sebuah kamar rahasia di bawah tanah, di kompleks pabrik tebu. Danur mengangguk-angguk puas. Matanya berkilat-kilat menyimpan sebuah rencana.
@@
Hanya dalam waktu lima hari, Duma telah berhasil menyelesaikan lukisan pesanan Tuan Carl. Duma sengaja mempercepat pekerjaannya. Ia tidak tahan dengan meneer Belanda yang terus-menerus merayunya itu. Dalam beberapa kesempatan, Tuan Carl bahkan berusaha memeluk dan mencumbunya. Beruntunglah Mbok Cilik Giyah selalu datang tepat waktu. Dengan berpura-pura ingin membersihkan ruangan atau mengantarkan minuman, wanita paruh baya itu telah berhasil menyelamatkan Duma.
Saat Tuan Carl sedang meninggalkan ruangan, dan ia hanya tinggal berdua dengan Mbok Cilik Giyah, Duma sempat mengucapkan terima kasih.
Mas Ayu tidak perlu mengucapkan terima kasih. Saya memang diberi tugas oleh Den Mas Danur untuk melindungi Mas Ayu dari gangguan Tuan Carl.”
Duma mengangguk-angguk penuh haru. Diam-diam ia merasa tersanjung dengan perhatian Danur yang sedemikian besar terhadap keselamatan dirinya.
Dan sekarang, kata-kata terakhir dari Tuan Carl sebelum ia berpamitan pulang, masih saja terngiang-ngiang di telinganya.
“Kalau je bersedia menjadi istri simpanan ik, derajat je akan naik, Duma. Je akan menjadi seorang nyai. Hidup senang tak kurang suatu apa di dalam loji gedhe ini!”
Duma bergidik ngeri. Bukannya mendapatkan informasi tentang gudang tempat penyimpanan senjata, kehormatannya justru nyaris terkoyak, kalau saja tidak ada Mbok Cilik Giyah di loji gedhe itu.
“Berkali-kali aku sudah mengingatkanmu, Diajeng. Tuan Carl itu, selain licik dan kejam, juga suka main perempuan. Tapi, kau tak pernah mau percaya.”
“Maafkan aku, Kangmas. Jangankan mendapat informasi tentang gudang senjata itu, bahkan kehormatanku sendiri hampir terenggut.”
“Jangan khawatir, Diajeng. Aku sudah mendapatkan informasi tentang keberadaan gudang senjata itu dari Nona Corie.”
“Oh, ya? Tentunya karena nona kulit putih itu jatuh cinta setengah mati kepada Kangmas!” ucap Duma, dengan raut muka cemberut.
Danur tertawa tertahan melihat ekspresi gadis yang ada di depannya. Diam-diam ia menangkap nada kecemburuan dalam kalimat yang dilontarkan oleh Duma. Dan entah mengapa, hal itu membuat hatinya seperti dipenuhi kelopak-kelopak mawar.
“Tapi terus terang, aku sangat berterima kasih atas penjagaan Kangmas melalui Mbok Cilik Giyah, selama aku berada di loji gedhe,” lanjut Duma, sambil tersenyum.
Danur balas tersenyum dan menatap Duma penuh arti.
“Kau harus percaya bahwa aku sangat mengkhawatirkanmu. Entahlah, sejak berjumpa pertama kali dengan dirimu, ada sesuatu yang tumbuh dalam hatiku. Kau percaya dengan pepatah, ‘Witing tresno jalaran soko kulino’, Diajeng?”
Duma menggeleng tak mengerti.
“Tumbuhnya cinta itu karena sering bertemu.”
Duma menunduk dengan muka memerah, saat mendengar kata-kata dari Danur. Kalau mau jujur, sebenarnya kehadiran Danur telah membuat Duma sedikit demi sedikit bisa melupakan Glen dan luka dalam hatinya.
Tiba-tiba Danur meraih jemari tangan kanan Duma, dan mengelus batu akik merah delima itu dengan penuh perasaan.
“Cincin ini yang telah mempertemukan kita. Aku harap cincin ini tetap menjadi penghuni jari manismu sampai kapan pun. Berjanjilah kepadaku untuk tidak melepasnya,” ucap Danur, sambil mengalihkan pandangannya ke wajah cantik yang ada di depannya.
Duma menunduk kelu, mencoba menyembunyikan raut wajahnya yang bersemu merah. Mereka begitu  larut dalam suasana syahdu yang melenakan, hingga tak menyadari ada sepasang mata biru yang sedang mengawasi keduanya.
Sepasang mata yang tiba-tiba membasah. Hari ini jongos Pawiro sedang sakit, sehingga noni Belanda itu memutuskan untuk pergi ke pendopo kawedanan dengan berjalan kaki. Ketika dilihatnya Duma dan Danur yang sedang berbincang mesra di lincak tepi pendopo, ia memutuskan untuk bersembunyi di balik rimbun semak asoka. Dan perbincangan sepasang muda-mudi yang baru saja didengarnya itu membuat hatinya serasa diguncang badai. Dengan hati-hati ia mengendap-endap, membalikkan badan dan berlalu.
 
@@
Nyala pelita di dalam gadri (teras belakang rumah kawedanan) tampak bergerak-gerak pelan. Malam itu, beberapa pemuda terlihat berkumpul dan terlibat pembicaraan yang cukup serius. Suasana menjadi hening ketika Duma menaiki undak-undakan gadri. Ia membawa nampan berisi sepiring singkong rebus dan  sepiring thiwul yang masih hangat. Mbok Cilik Hendras mengikuti di belakangnya sambil membawa nampan berisi satu cerek besar minuman hangat beserta beberapa cangkir kosong.
Diajeng Duma, aku harap kau ikut duduk di sini. Urun rembug, memberikan pendapatmu tentang rencana penyergapan kita ke dalam pabrik, untuk mencuri persenjataan di gudang senjata mereka.”
Duma tertegun sejenak sebelum akhirnya mengangguk, mengiyakan permintaan Raden Danurwendo.
“Nah, teman-teman, mari kita lanjutkan pembicaraan tentang rencana besar kita!”
Pembicaraan pun dilanjutkan. Akhirnya, setelah melewati permusyawarahan yang agak alot, kesepakatan pun telah didapatkan. Mereka akan menyusup ke dalam gudang senjata itu, tepat ketika Tuan Pieter Van Carl sedang mengadakan pesta panen tebu di loji gedhe. Penyusupan dan pengambilan senjata akan dipimpin oleh Sumidi. Sedangkan Danur, Duma, serta rombongan tayub Roro Mentul tetap akan menari di loji gedhe untuk mengalihkan penjagaan keamanan, sambil mewaspadai  tiap perubahan suasana yang mungkin akan terjadi.
Raden Danur tidak menyadari, ada sebuah senyuman yang berbeda yang disunggingkan oleh seorang anggota pejuang bawah tanah yang dipimpinnya. Sebuah senyuman milik seorang pribumi yang rela menjadi telik sandhi (mata-mata) pihak Belanda. Orang yang rela menjual harga dirinya dan mempertaruhkan kepercayaan teman-temannya, demi mendapatkan harta untuk kesenangan  sendiri.
@@
Rombongan tayub Roro Mentul akhirnya memenuhi permintaan Tuan Pieter Van Carl. Halaman loji gedhe yang biasanya lengang kini terdengar lebih ingar. Kepala administrateur suiker fabriek Sewoe Galoer itu terlihat sangat gembira. Apalagi saat menyaksikan penampilan Duma yang begitu eksotis dalam balutan kain batik pamiluto. Setelah berlatih berminggu-minggu, Duma bisa tampil dengan luwes. Senyum sesekali menghias bibir tipisnya.
Di luar pagar benteng loji gedhe, penduduk berdesak-desakan ingin menyaksikan penari baru di kelompok tayub itu. Sementara para serdadu Belanda berjaga-jaga di depan pintu gerbang loji dengan senapan terkokang di tangan.
Sebenarnya, Tuan Carl sering mengadakan pesta dansa di rumahnya. Namun, tak satu pun penduduk kampung yang berani mendekat saat pembesar di pabrik gula itu mengadakan pesta. Tetapi, khusus untuk pesta panen tebu, Tuan Carl agak memberi kelonggaran. Diizinkannya penduduk Kawedanan Banaran ikut menyaksikan pesta itu, meskipun hanya diperbolehkan di luar benteng.
Malam  makin larut dan suara kendang  makin mengentak. Duma Renata mendekati tempat duduk Tuan Carl, lalu tiba-tiba dikalungkannya sampur sonder kuning gading yang dipegangnya. Tuan Carl mengikuti tarikan sampur sonder yang dipegang oleh Duma menuju ke tengah arena. Sekejap kemudian, kepala administrateur itu terlihat sangat menikmati dansa ala Jawa bersama Duma.
Sementara itu Duma justru terlihat resah. Beberapa kali ia melirik ke arah Raden Danurwendo yang sedang memainkan kendang. Ingatan kedua muda-mudi itu sama-sama melayang ke suatu tempat di kompleks pabrik gula. Teman-teman pejuang sedang berada di sana di bawah pimpinan Sumidi. Berhasilkah misi para pejuang bawah tanah yang berusaha membobol gudang persenjataan milik Tuan Carl?
@@
 
  1. CINTA YANG TEREMPAS
Para pejuang bawah tanah berjalan mengendap-endap ke arah gedung utama suiker fabriek. Mereka sengaja masuk dari arah belakang. Siang harinya, beberapa pejuang telah mengadakan penyelidikan. Cerita dari para buruh pabrik ternyata benar. Penjagaan yang sangat ketat oleh tentara Belanda hanya terjadi di gerbang depan. Maka, dengan leluasa  para pejuang itu masuk ke dalam gedung di bawah komando Sumidi.
Ruangan utama pabrik yang agak gelap memudahkan gerak para pejuang. Sesuai dengan petunjuk dari Raden Danurwendo, mereka segera mencari tangga menuju ruang bawah tanah yang berada di sebelah kiri kamar mandi.
“Cepat kalian turun, sementara aku dan Kamiso akan berjaga-jaga di atas!” perintah Sumidi.
Setengah jam kemudian, laskar pemberani itu telah naik kembali dari ruang bawah tanah dengan membawa puluhan senapan. Para pejuang saling melempar senyum gembira. Namun, saat keluar dari pintu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan sengau seorang serdadu Belanda.
God verdomme zeg jij inlander! (keparat kau, dasar pribumi)! Jangan coba-coba lari para pencuri! Diam di tempat, lemparkan semua senjata ke tanah dan angkat tangan!”
Muka para pejuang pucat pasi. Puluhan serdadu Belanda dengan senjata terkokang di tangan, siap memuntahkan peluru, jika sedikit saja mereka bergerak untuk lari. Sekejap kemudian, bunyi puluhan senjata yang beradu dengan bebatuan di tanah memecah kesunyian di dalam kompleks suiker fabriek
Dengan tanpa perlawanan, para pejuang digiring masuk ke ruang samping gedung utama. Di sana ada penjara khusus untuk para buruh  inlander yang terlihat malas-malasan dalam bekerja.
@@
Suasana pesta di  halaman loji gedhe tiba-tiba menjadi kacau saat beberapa kali terdengar letusan senjata yang ditembakkan ke udara. Penduduk yang semula berkerumun di luar benteng loji gedhe menjadi ketakutan dan berlarian tak tentu arah. Mereka takut akan menjadi sasaran tembak serdadu Belanda.
Para nayogo (penabuh gamelan) menghentikan aktivitasnya. Secara otomatis, Duma menghentikan gerakannya. Tiba-tiba perasaannya menjadi tak enak. Apalagi saat dilihatnya seorang pimpinan serdadu Belanda yang menghampiri Tuan Carl, memberi hormat ala militer sebelum memberikan laporan.
“Gudang senjata kita dibobol inlanders, Tuan! Para pejuang itu telah saya penjarakan di suiker fabriek. Namun, justru pimpinannya masih berada di sini!” lapor pimpinan serdadu itu.
God verdomme! Siapa pemimpin para inlander keparat itu!? teriak Tuan Carl, dengan muka merah padam.
“Pemimpin mereka adalah yang juga memimpin kelompok tayub ini, Papi. Tuan Danur dan juga Nona Duma!” teriak Corie, sembari berdiri dari duduknya.
“Corie, benarkah?”
“Benar, Papi. Corie telah mendengar cerita dari mata-mata kita. Rupanya Tuan Danur telah lama merencanakan ini semua. Kelompok tayub Roro Mentul sebenarnya adalah kumpulan inlanders yang sangat membenci kita. Mereka mendapat tugas khusus untuk mencuri persenjataan kita!”
“Jadi inilah sebenarnya tujuan kamu orang? Berkedok sebagai kelompok penari untuk mengelabuhi kami?” teriak Tuan Carl sambil menunjuk muka Danur.
 Tiba-tiba Duma merasa tulang-tulangnya seperti diambili dari tubuhnya. Tamatlah sekarang riwayatnya. Sebentar lagi ia akan menjadi tawanan tentara Belanda yang sudah pasti akan berujung pada kematian.
Danur segera menangkap tubuh Duma yang terhuyung hampir ambruk.
“Untunglah Corie segera melaporkan rencana mereka kepada Kapten Dwight, Papi,” ucap Corie, sambil melirik petinggi tentara Belanda itu.
Kapten Dwight tersenyum sambil membusungkan dada. Harapannya bersemi kembali setelah beberapa waktu yang lalu cintanya sempat ditolak Corie.
Dengan nyaris tanpa perlawanan, seluruh anggota kelompok tayub Roro Mentul ditangkap dan digiring menuju penjara di kompleks suiker fabriek. Raden Danurwendo tak pernah menyangka bahwa ada salah seorang di antara mereka yang telah berkhianat. Ia adalah Surip, anak dari jongos Pawiro. Diam-diam pemuda itu meminta kepada ayahnya agar  dipertemukan dengan Maria Corie Ababell.
Di saat teman-teman lainnya hanya memegang kepingan sen, ketip, maupun benggol, Surip menerima beberapa lembar gulden dari Nona Corie, atas laporan yang telah disampaikannya.
 
@@
Corie menatap pemuda yang pernah dicintainya itu dengan penuh kebencian. Betapa sakitnya hati Corie saat tanpa sengaja menyaksikan kemesraan antara Duma dan Danur. Cinta memang terkadang aneh. Rasa cinta Corie kepada Danur seketika berubah menjadi perasaan dendam penuh kebencian ketika ia tahu bahwa ia telah dikhianati. Dan sebentar lagi dendamnya akan terbalaskan. Sebentar lagi nyawa dua orang yang dibencinya itu akan berakhir di ujung senapan regu tembak.
“Nona Corie, yang memimpin dan mengendalikan gerakan para pejuang untuk mencuri senjata itu adalah saya. Nona Duma tidak tahu apa-apa. Jadi, tolong bicaralah kepada papi Nona, agar membatalkan segala hukuman untuk Nona Duma,” ucap Danur, lirih.
“Jadi  makin terang kan kalau je memang sangat mencintai penari ini, Danur. Hmmm... un roman d’amour a Java...!” teriak Corie, sambil bertepuk tangan dan tersenyum sinis. “Sayangnya, kesalahan kalian kali ini begitu berat,” lanjut Corie, pura-pura sedih.
“Hanya saya yang bersalah, Nona!”
“Perempuan ini juga!” teriak Corie penuh kemarahan.
Duma saling menatap dengan Danur, berusaha membagi kekuatan lewat tatapan mata. Dan ini  makin membuat Corie menjadi murka.
“Pengawal, masukkan kembali mereka ke dalam tahanan masing-masing!” perintahnya dengan geram. Duma dan Danur kembali hanya bisa saling menatap sendu ketika tubuh mereka diseret oleh serdadu Belanda ke arah yang  berlawanan.
 
@@
Saat eksekusi pun tiba. Tubuh Danur dan Duma diikat berdekatan pada dua tiang yang berbeda. Sebelumnya, Danur harus menyaksikan satu per satu anggota pejuang bawah tanah yang dipimpinnya ditembak mati oleh regu tembak. Hal itu sudah merupakan pukulan tersendiri yang teramat berat bagi Danur. Duma bahkan memejamkan matanya rapat-rapat, tak kuasa menyaksikan peristiwa berdarah itu.
Eksekusi terakhir adalah eksekusi untuk sepasang kekasih yang selama ini dikenal sebagai seniman dan seniwati dalam kelompok tayub Roro Mentul. Pada detik-detik terakhir sebelum eksekusi dilaksanakan, Danur dan Duma saling bertatapan dan berpegangan tangan dengan erat. Itulah permintaan terakhir dari Danur sebelum eksekusi dilaksanakan. Ia ingin tangannya dan tangan Duma terbebas dari ikatan.
 “Diajeng, kau harus percaya bahwa aku sangat mencintaimu. Mudah-mudahan Gusti Allah akan mempertemukan kita lagi di alam kelanggengan nanti,” ucap Danur tersendat sambil menoleh ke arah Duma.
“Aku percaya, Kangmas. Dan untuk yang terakhir kali, aku ingin Kangmas tahu bahwa aku juga mencintai Kangmas Danur,” ucap Duma, sambil berlinangan air mata.
Regu tembak telah bersiap beberapa meter dari kedua pesakitan itu. Danur mendapatkan giliran yang pertama. Duma memejamkan mata sesaat sebelum senapan-senapan itu menyalak. Ia tak tega melihat timah panas itu menembus tubuh kekasihnya. Namun, refleks ia membuka mata begitu terdengar suara tembakan. Bukan karena suara pekikan “Allahu akbar” dari mulut Danur, tetapi karena tiba-tiba ia merasakan jemari tangan kiri Danur yang merenggut cincin merah delima dari jari manis tangan kanannya.
Duma masih sempat melihat darah mengucur dari dada Danurwendo, sebelum akhirnya suasana menjadi senyap. Tidak ada lagi para serdadu regu tembak itu. Tiba-tiba ia berada di sebuah lapangan berumput, sendirian. Tubuhnya yang tadi terikat pada sebuah tiang, mendadak telah terbebas. Sayup-sayup didengarnya suara kambing mengembik. Di tepi lapangan seorang anak lelaki berumur sekitar 11 tahun sedang menggembalakan puluhan kambingnya. Rupanya, waktu telah berputar dengan sangat cepat dan mengembalikannya ke tahun 2015.
Duma membungkukkan badan. Matanya nyalang, berusaha mencari-cari kembali cincin merah delima yang tadi dipakainya. Namun, ia tak berhasil menemukannya. Tiba-tiba pandangannya mengabur oleh air mata yang menyeruak. Pundaknya bergetar oleh gigil tangis. Cintanya telah terempas bersamaan dengan terlepasnya cincin merah delima itu dari jari manisnya. Masih terbayang di pelupuk matanya, sosok Danur yang beberapa saat tadi terkulai dengan beberapa butir peluru yang bersarang di dadanya.
Untuk menghilangkan kesedihan, Duma melangkah perlahan meninggalkan tanah lapang. Saat melewati kompleks Dienswoningen, ia kembali mencari-cari loji gedhe yang pernah ditempati oleh Tuan Pieter Van Carl.
Hatinya berdebar lebih kencang saat menemukan sebuah bangunan terbesar bergaya arsitektur Belanda, yang diapit oleh dua buah pavilion. Itulah loji gedhe, rumah tinggal dari Tuan Peter Van Carl dan anak gadisnya, Maria Corie Ababell. Perlahan dilangkahkannya kakinya menuju teras. Lalu diketuknya pintu berbentuk kupu tarung itu.
Seorang perempuan tua membuka pintu dan keluar dari dalam rumah.
“Maaf, Mbak mencari siapa, ya?”
“Saya... saya....” Tenggorokan Duma terasa tercekat saat melihat sebuah lukisan yang tertempel di dinding ruang tamu. Lukisan Kepala Administrateur Suiker Fabriek Sewoe Galoer, yang menjabat dari tahun 1908 sampai tahun 1928. Di bawah lukisan itu tertera dengan jelas tanda tangan si pembuat lukisan. Sebuah coretan kecil yang dikenalinya sebagai tanda tangannya sendiri. (Tamat)

***

Utami Panca Dewi
Pemenang 2 Sayembara Cerber Femina 2016


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?