Fiction
Cincin Merah Delima [3]

25 Sep 2016



Bagian 3

Kisah sebelumnya:

Duma seorang wanita muda yang sedang patah hati berusaha meredakan kesedihan hatinya dengan pergi ke Yogyakarta. Di kawasan Kota Tua, ia mendapatkan cincin merah delima yang membawanya melompat ke tahun 1990-an, semasa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Duma bertemu dengan Danur, yang gigih melawan Belanda.
 
Pendopo itu terletak di tengah-tengah pekarangan. Seperti pusat atau inti dari sebuah hunian. Di depannya, ada dua buah pohon sawo kecik. Menandakan bahwa pemiliknya adalah seorang bangsawan Jawa. Di belakangnya, terpisah oleh pringgitan, ada bangunan yang disebut dalem ageng, berfungsi sebagai  tempat tinggal bagi Raden Hendrasworo dan keluarganya. Di samping kanan dalem ageng, ada gandhok yang berfungsi untuk menerima tamu yang akan menginap. Di situlah Duma tinggal untuk sementara.
Gandhok di sebelah kiri dalem ageng, khusus untuk menyimpan kayu bakar. Di belakang dalem ageng, terdapat gadri yang merupakan teras belakang, lalu pawon atau dapur. Pekiwan atau kamar mandi merupakan bangunan yang terpisah dan terletak di sebelah kiri dapur.
Duma masih asyik berlatih bersama Danur, ketika kereta berkuda itu datang. Jongos Pawiro turun dari kereta dan membukakan pintu kereta sebelah kiri. Maka, turunlah Noni Belanda itu dengan anggun. Danur pernah menyindir dengan halus kehadiran Corie di tengah-tengah kelompok tayub yang dipimpinnya. Corie dikatakan Danur, seperti seekor merak yang bersinar namun kesepian, dikelilingi oleh burung-burung lain yang tidak seanggun dirinya.
“Selamat pagi Danur. Je punya penari baru rupanya?” sapa Corie.
“Oh, Nona Corie. Perkenalkan ini Duma Renata, penari yang menggantikan Sri Moelatsih. Setelah menikah, Sri tak boleh lagi menari.”
Ehemm... Volks vrouwen (perempuan kebanyakan)?”
“Ya, tapi dia bukan gadis biasa. Ia seorang pelukis yang datang dari Batavia.”
Wow... pelukis?” teriak Corie, berbaur kagum.
Corie meraih tangan Duma yang terulur, lalu menjabatnya erat.
“Batavia, tempat yang jauh. En je bent beeldschoon (kamu cantik sekali), Duma. Ik senang berkenalan dengan je. Semoga kita bisa menjadi teman baik, ya. Tapi, jangan sampai kamu orang jatuh cinta sama Danur. Hmm... un roman d’amour a Java (kisah cinta di Jawa).”
“Maksud Nona Corie?” tanya Duma dengan kening berkerut.
“Sudahlah, laat maar (biarkanlah). Ik hanya bercanda.”
Satu per satu, para penabuh gamelan mulai berdatangan. Latihan menari pun dimulai. Mula-mula Corie Ababell hanya menyaksikan dari tepi pendopo. Namun ia mulai tak bisa menahan diri ketika bunyi gendang mulai mengentak. Ia pun melangkah ke tengah arena, menari bersama Duma dan Danur.
Usai latihan, Corie mengajak bicara empat mata sesaat sebelum ia menaiki bendi yang dikemudikan oleh jongos Pawiro.
“Duma, berterus teranglah kepada ik, apakah je memiliki hubungan khusus dengan Danur?”
Kening Duma berkerut sesaat sebelum ia menggelengkan kepalanya.
“Asal je tahu, akan ada seorang perempuan yang hatinya hancur, ketika je berusaha mendekati Raden Danurwendo. Ik berharap, kita tetap menjadi dua orang sahabat yang baik Duma,” ucap Corie, sambil menepuk bahu Duma perlahan.
Duma mengantar kepergian kereta berkuda itu dengan tatapan tak mengerti.
 
***
 
Danur memasuki ruang tamu dalam loji gedhe dengan dada berdebar. Baru kali ini ia memasuki loji gedhe secara resmi sebagai tamu. Biasanya ia masuk ke dalam loji gedhe milik Tuan Pieter Van Carl secara diam-diam seperti seorang pencuri. Mbok cilik Giyah, gundik (istri simpanan) tuan Carl yang akan membantunya meloloskan diri. Namun, selama ini ia masih gagal mencari informasi gudang senjata milik Tuan Carl.
Duma mengikuti langkah Danur dengan dada yang tak kalah berdebar. Keduanya mewakili kelompok tayub Roro Mentul, yang mendapat undangan khusus dari Tuan Carl. Pembesar Belanda itu ingin membicarakan tentang rencana pementasan kesenian tayub pada acara panen tebu, yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Tahun lalu, Tuan Carl sudah pernah mengundang kelompok tayub Roro Mentul untuk acara yang sama. Dan Tuan Carl merasa puas. Sekarang, setelah mendengar ada penari baru dalam kelompok tayub itu, Tuan Carl kembali dibuat penasaran.
Suara langkah sepatu yang beradu dengan lantai membuat Duma terlonjak kaget. Seorang lelaki kulit putih paruh baya tersenyum ramah sambil mengulurkan tangannya. Danur dan Duma menyambut dengan kikuk.
“Selamat datang Tuan Danur dan Nona Duma. Senang sekali bisa berkenalan dengan je, Nona Duma. Ik sangat mengagumi tari tayub, een levende inheemsche cultuur (budaya pribumi yang hidup).”
“Selain pandai penari, Duma juga seorang pelukis, Papi,” potong Corie, yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang papinya.
“Oh, de wetende, de kundige, de wijze vrouw (perempuan yang berpengetahuan, terampil dan arif),” puji Tuan Carl sambil menatap Duma lembut.
Mendengar kemampuan Duma di bidang melukis, dengan antusias Tuan Carl mengajak dua tamu pribuminya memasuki paviliun di samping kiri rumah utama. Di atas pintu masuk terpampang sebuah tulisan besar, HIER IS DE TEKENING. Duma terkagum-kagum menyaksikan koleksi lukisan milik Tuan Carl. Ada lukisan kincir angin besar di tengah ladang gandum. Lalu lukisan keluarga Tuan Carl dalam pakaian adat Belanda, lukisan Ratu Belanda, dan masih banyak lagi.
Danur tampak kurang suka melihat cara Tuan Carl mencuri-curi pandang ke arah Duma. Bahkan beberapa kali tangan petinggi pabrik gula itu mencoba merangkul pundak Duma dengan hangat. Betapa leganya Danur, ketika Duma menangkap isyarat matanya, bahwa Danur ingin secepatnya pergi meninggalkan loji gedhe milik Tuan Carl.
“Tuan Carl memiliki selera yang sangat baik dalam menilai lukisan. Senang sekali menikmati koleksi Tuan, sehingga tak terasa hari sudah beranjak menuju petang. Kami berdua ingin mohon pamit, Tuan,” ucap Duma dengan sopan.
“Duma, bersediakah je membuatkan sebuah lukisan untuk ik? Berapa lama je butuh waktu? Seminggu, dua minggu, sebulan? Je bisa melukisnya di ruangan pribadi ik ini,” tanya Tuan Carl tiba-tiba.
Duma dan Danur saling berpandangan, sementara Corie tersenyum-senyum penuh arti.
 
***

Dalam perjalanan pulang dari loji gedhe, Duma dan Danur terjebak dalam perdebatan panjang yang sengit.
“Apa maksud Diajeng mengiyakan permintaan Tuan Carl untuk melukis di ruang pribadinya? Harusnya tadi Diajeng tolak  ajakan kumpeni itu!"
Kangmas, dengar dulu! Kangmas harus tahu bahwa tujuanku adalah semata-mata ingin membantu Kangmas dan teman-teman di pergerakan. Bukankah Kangmas ingin tahu  letak gudang persenjataan milik Belanda?”
“Tapi itu terlalu berbahaya, Diajeng. Aku tak ingin kau celaka!”
“Percayalah Kangmas, aku bisa jaga diri!”
“Biarlah aku saja yang akan mencari tahu tentang gudang penyimpanan senjata itu. Aku yakin, cepat atau lambat pasti aku akan berhasil. Kau belum tahu Diajeng, Tuan Carl itu selain licik, dia juga kejam dan suka main perempuan!”
“Ingat, Raden Danurwendo! Aku sekarang adalah anggota kelompok tayub Roro Mentul, yang artinya aku juga anggota pergerakan. Aku wajib ikut  berjuang mencari tahu tentang gudang persenjataan Belanda itu!” ucap Duma sambil menatap Danur tajam.
Danur terdiam. Rupanya selain galak, Duma juga keras kepala, persis seperti dirinya. Ia seperti bercermin dan melihat dirinya sendiri di dalam tubuh gadis yang datang dari masa depan itu. Dan hal ini tiba-tiba membuat dada Danur berdesir lembut. Ia  makin takut kehilangan gadis itu.
Tiba-tiba Duma menangkap sekelebat bayangan seorang laki-laki di balik pohon randu alas.
“Sepertinya ada yang sedang mengikuti kita, Kangmas!”
“Oh ya? Siapa?”
“Aku menangkap kelebat bayangannya tadi, tapi terus hilang di balik pohon besar itu!”  Telunjuk Duma mengarah ke pohon randu alas di belakang mereka.
Woy... Siapa itu yang bersembunyi di balik pohon?” teriak Danur.
Lalu keluarlah seorang lelaki tambun sambil tersenyum malu-malu.
“Maaf Den Mas, saya tak berniat menguping pembicaraan Den Mas berdua. Tapi kalau Den Mas butuh bantuan, saya siap membantu!”
“Untuk sementara ini, kami tidak butuh bantuanmu, Surip. Pulanglah!”
Surip berlalu meninggalkan Duma dan Danur.
“Siapa Surip?” tanya Duma.
“Surip anggota baru di pergerakan. Dia anaknya jongos Pawiro, kusir bendi yang bekerja pada Tuan Carl.”

***

Duma berdiri sendirian di dekat ladang tebu yang hampir panen. Ditatapnya cincin batu akik merah delima yang melingkari jari manisnya. Dielusnya perlahan. Tanpa sepengetahuan Danur, ia memutuskan untuk melepaskan sejenak cincin merah delima itu. Ia ingin kembali ke tahun 2015, mengambil kanvas dan peralatan lukis lainnya.
Tadi pagi, sendirian Duma pergi ke loji gedhe untuk memenuhi permintaan Tuan Carl -melukis meneer Belanda itu di ruang pribadinya. Tuan Carl menyambutnya dengan ramah. Kedatangan Duma itu membawa kesadaran bahwa ternyata Tuan Carl tidak punya kanvas dan peralatan melukis. Hal itu membuat Duma berpikir untuk kembali sejenak ke penginapannya di Yogya, yang berarti ia harus kembali ke tahun 2015. Batu akik itu berkilau ditimpa cahaya matahari sore. Mengingatkannya kembali kepada pak tua penjual cincin. Kata-kata pak tua itu kembali terngiang di telinga Duma. Mbak berjodoh dengan cincin ini.... mbak berjodoh dengan cincin ini….
 Jodoh yang telah melemparkannya ke masa lalu. Pada suatu kehidupan di sebuah pabrik gula, awal abad ke-20. Suatu masa, di mana urutan kelas sosial masih mengungkung pribumi. Ironisnya, pribumi sebagai tuan rumah di tanah kelahirannya sendiri justru menempati kelas sosial terendah. Betapa ia sedikit merasa tak enak hati ketika melihat seorang perempuan pribumi yang terbungkuk-bungkuk takzim saat membawakan segelas minuman untuknya.
“Ibu siapa?”
“Saya Mbok Cilik Giyah, Ndoro Putri.”
Mbok Cilik tidak perlu membungkukkan badan di depan saya. Kita sederajat, Mbok, sama-sama pribumi, sama-sama orang Indonesia!”
“Tapi Ndoro kan tamunya Tuan Carl, jadi saya….”
“Panggil saya Duma, Mbok!” ucap Duma sambil merangkul pundak perempuan berkebaya brokat itu. Mbok cilik Giyah melongo keheranan.
Suara gemerisik di dekat kakinya membuat Duma terlonjak kaget. Rupanya ada seekor kadal yang menyelinap di sela rimbun rumpun tebu. Perhatian Duma kembali tersedot oleh batu akik merah menyala. Saat pertama kali menyadari bahwa cincin itu membawa kekuatan mistik yang aneh, ia telah mencoba melepasnya. Sayang sekali tindakannya itu telah dicegah oleh Danur.
Setelah menghela napas panjang, dengan sekali sentakan, direnggutnya cincin merah delima itu. Dan suasana tiba-tiba berubah. Tidak ada kebun tebu dan asap pabrik gula yang menjelaga di langit biru. Yang ada hanya batu-batu nisan bertuliskan nama-nama Belanda. Rumput-rumput ilalang menyemak, di sela-sela batu nisan yang terlihat tidak terawat. Pada batu marmer di salah satu batu nisan itu bertuliskan sebuah nama yang sangat dikenalnya. MARIA CORIE ABABELL . Duma terenyak. Rupanya ia sedang berada di sebuah kerkhof (kompleks pemakaman Belanda).
Rupanya di kerkhof inilah jasad gadis putri Tuan Carl itu.  Tiba-tiba bulu kuduk Duma berdiri. Dengan tergesa, Duma berlari keluar makam dengan dada berdebar. Hampir saja ia terjatuh saat sepatunya terantuk akar pohon beringin yang mencuat.
 
***

Diajeng, ke mana saja kau?” Danur menghadang langkah kakinya, tepat di depan tangga pendopo.
“Aku... aku.. ehm... pergi ke suatu tempat, mencari kanvas baru dan juga satu set cat minyak.”
“Sampai seminggu lebih? Tanpa ada sepatah kata pamitan kepadaku, atau kepada Pak Lik Hendras?”
Duma terkesima dalam keheranan yang mengungkungnya. Ia hanya pergi tak lebih dari 24 jam dan Danur merasa ia telah meninggalkan Kawedanan Banaran selama seminggu lebih?
“Aku takut kalian tidak akan mengizinkan,” ucap Duma sambil menunduk penuh rasa penyesalan. Oh, betapa tidak sopannya dia, pergi begitu saja tanpa pamit, kepada keluarga yang selama ini telah menerimanya dengan baik.
“Pasti aku tidak akan memberi izin, kalau tahu bahwa kau mencari kanvas khusus untuk melukis meneer itu. Kamu begitu mengutamakan kepentingan pimpinan kumpeni itu, sementara besok pagi mereka berencana akan menembak mati seorang pribumi.”
“Maksud Kangmas?”
“Kuncung adiknya Sri, tertangkap basah saat sedang mencuri beberapa batang tebu. Sudah lima hari ia disekap dalam penjara di kompleks suikerfabriek. Besok pagi ia akan menjalani hukuman tembak di alun-alun depan suikerfabriek.”
“Lalu apa yang bisa kita lakukan?” Duma menggeretakkan gerahamnya penuh amarah.
“Kita harus menemui Tuan Carl, meminta baik-baik agar hukuman itu diurungkan.”
Duma mengangguk setuju. Bergegas keduanya meninggalkan pendopo Kawedanan Banaran. Langkah keduanya seperti diburu hantu, ingin segera sampai ke loji gedhe. Mula-mula Tuan Carl menerima kedatangan dua seniman tayub Roro Mentul itu dengan kening berkerut. Ia merasa tersinggung, saat kebijaksanaannya diusik. Apalagi mengetahui bahwa Duma - yang berjanji akan secepatnya mencari peralatan melukis - datang seminggu lebih lambat dari janjinya.
Namun, Duma terus mendesak, agar Tuan Carl membatalkan hukuman itu, atau menggantinya dengan jenis hukuman yang lain. Akhirnya Kepala Administrateur Suiker Fabriek itu pun luluh. Apalagi saat putrinya ikut berbicara menyatakan pendapatnya.
“Papi, kesalahan anak itu tidaklah terlalu besar. Jauh berbeda dengan kesalahan seorang inlanderyang mencoba mengintip saat ik sedang asyik berenang lima tahun lalu. Laat maar, Papi. Ik setuju dengan pendapat Tuan Danur dan Nona Duma, sebaiknya Papi membatalkan hukuman tembak mati itu!”
Dengan berat hati, Tuan Carl pun membatalkan rencananya untuk menghukum mati pencuri tebu itu. Danur dan Duma tersenyum lega. Sebagai gantinya, Kuncung diwajibkan membersihkan seluruh ruangan di kompleks Suiker Fabriek, selama setahun penuh. Untuk menunjukkan rasa terima kasih, Duma akan segera memenuhi permintaan Tuan Carl, melukis kepala administrateur itu di ruang pribadinya.

****
  1. SEBUAH RENCANA
Corie masih merasa kikuk saat harus memakai kemben dari kain batik kawung. Beberapa kali tangannya harus membenahi kain yang terasa ketat membungkus badannya itu. Dengan sabar, Raden Danur melatih gadis Belanda itu beberapa gerakan dasar tari Jawa. Corie bisa leluasa berkunjung ke pendopo Kawedanan Banaran, senyampang papinya masih asyik dilukis Duma di pavilion-nya. Rencananya telah berhasil dengan baik. Rupanya Papi mulai jatuh cinta kepada Duma. Corie tersenyum licik.
Pendopo sepi. Mbok Cilik Hendras sedang ke Pasar Kliwon. Pak Lik Hendras ke kebun tebu sejak matahari mulai memancarkan sinar pertamanya di pucuk-pucuk pohon mahoni. Wedana yang bijak itu ingin bertemu dengan mandor Marto. Biasanya pak wedana akan menanyakan kesehatan para buruh yang bekerja di pabrik gula Sewugalur. Sebagian besar buruh pabrik adalah penduduk yang tinggal di wilayah kawedanan Banaran. Sebagai seorang pemimpin, Wedana Hendrasworo sangat peduli terhadap para buruh yang bekerja siang malam dengan upah hanya beberapa sen itu.
Latihan menari sebenarnya baru dimulai sore hari. Namun Corie sengaja datang pagi hari. Ia betah berlama-lama di pendopo kawedanan Banaran, asalkan selalu ada Danur di sampingnya. Corie beberapa kali harus menahan debaran dadanya saat bersitatap dengan Raden Danur. Pesona lelaki Jawa itu telah membuat kulitnya yang putih pucat beberapa kali menjadi memerah dadu karena jengah.
“Bagaimana Nona Corie? Sekarang sudah paham beberapa gerakan yang kuajarkan?”
Ne... ne... Ik merasa terlalu sulit jika menari dengan kostum tari Jawa ini. Tapi Ik harus beranie coba.”
Kostum berupa kemben dari jarik batik kawung itu membuat tubuh Corie kian tampak menjulang. Ia sungguh berbeda dengan gadis-gadis pribumi yang memakai kemben. Berbeda bukan dalam arti buruk. Pakaian Jawa yang dikenakan Corie, justru mempertegas kecantikan dara berumur dua puluh tahun itu. Keringat bertaburan di kening dan ujung hidung Corie, bagai manik-manik berlian di atas beledu berwarna putih tulang. Danur yang merasa kasihan mengajak Corie beristirahat sejenak di lincak (kursi panjang dari bambu) tepi pendopo. Di meja telah tersedia nasi thiwul beserta wedang serbat yang terasa hangat saat melewati tenggorokan.
“Danur, bolehkah ik bertanya?”
“Kalau saya bisa menjawab, Nona Corie.”
“Mengapa Danur tidak juga menikah? Tidak adakah salah satu penari yang telah mencuri hati Danur?”
Danurwendo tersenyum tipis. Betapa blak-blakan dan terbukanya nona kulit putih ini, pikirnya. Sungguh sangat berbeda dengan gadis-gadis Jawa yang dikenalnya.
“Saya belum akan menikah, sampai cita-cita besar saya tercapai Nona Corie.”
“Oh ya? Apa cita-cita besarmu?”
Danur ingin menjawab bahwa cita-cita besarnya adalah kemerdekaan negaranya. Tapi menceritakan hal itu kepada anak dari musuhnya, adalah hal yang tidak mungkin. Maka Danur terdiam agak lama.
“Danur,  je melamun?”
“Ehm... oh iya, cita-cita besar saya adalah membesarkan kelompok tayub Roro Mentul. Saya yakin, dengan penabuh gamelan yang kompak dan penari yang andal seperti Diajeng Duma, cita-cita saya akan tercapai.”
“Sepertinya Danur sangat terpesona dengan penari baru itu?” tanya Corie sedikit cemburu.
“Saya selalu mencoba membangun hubungan yang baik dengan setiap penari dan juga para nayogo atau penabuh gamelan di kelompok tayub Roro Mentul, Nona.”
“Danur, pernahkah je jatuh cinta dengan seorang... gadis kulit putih?” tanya Corie dengan wajah bersemu merah.
“Kalaupun itu terjadi, saya rasa adalah suatu hal yang tidak mungkin kan Nona Corie? Seperti burung gagak yang merindukan seekor merak.”
“Bagaimana kalau burung merak itu justru selalu merindukan kepakan sayap sang gagak?” (Bersambung)
 
***

Utami Panca Dewi
Pemenang 2 Sayembara Cerber Femina 2016


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?