Fiction
Cincin Merah Delima [1]

25 Sep 2016



Bagian I
 
                                                                          
1. PENJUAL CINCIN DI SEBUAH KOTA TUA
Duma, apa lagi  yang bisa menembus ruang dan waktu selain cinta?
Kalimat tanya itu pernah dilontarkan oleh Glen. Sesaat sebelum pesawat Boeing 737-800 lepas landas membawa  tubuh kekasihnya itu ke Cork, kota besar kedua di Irlandia setelah Dublin. Dan itu sudah berlalu tiga tahun lalu. Baru-baru ini ia mendapat kabar bahwa Glen telah menikah dengan gadis Irlandia, setelah lulus dari program Master of Information and Communication TechnologydiInstitute of Technology, Ireland.
Dunia Glen memang sangat berbeda dengan dunia Duma. Glen tak mungkin kembali. Cinta Glen tak cukup kuat untuk menembus ruang dan waktu yang memisahkan mereka.
Pandangan mata Duma melayari deretan rumah  tua yang masih berjajar dengan rapi. Bangunan berarsitektur kolonial Hindia Belanda yang sungguh membuat bibirnya tak henti berdecak kagum. Sudah sejak pukul 10 pagi ia berada di kawasan itu, setelah menempuh perjalanan hampir 1,5 jam. Pesona kota tua itu begitu memikat hatinya. Seperti seorang pengelana yang telah menemukan oase di tengah gurun yang sunyi, semacam itulah perasaan Duma.
Duma memilih mengasingkan diri di kota tua itu. Mencoba mengobati perasaan sakit karena dikhianati oleh kekasih. Di Jakarta, ia sudah terlalu jenuh dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Mama. Bukannya menghibur, Mama justru malah menyalahkan Duma atas perih yang ia derita.
“Mama kan sudah bilang, kamu itu terlalu sentimentil, Duma. Kamu pikir cinta itu seperti burung merpati yang selalu ingat untuk kembali?”
“Lalu menurut Mama, apa yang harus Duma lakukan sekarang?”
“Tidak ada.”
“Mama?”
“Setahu Mama, seseorang yang sudah lulus S-1 itu, ya, hanya mempunyai dua kemungkinan. Bekerja atau kuliah lagi mengambil program pascasarjana. Setidaknya dengan bekerja, kamu tidak akan terlalu sedih dengan kejadian ini. Namun, apa coba yang kamu lakukan?”
“Duma juga bekerja, Ma....”
            “Menjadi pelukis? Kamu itu sarjana arkeologi, Duma. Sekarang kerjamu apa? Luntang-lantung tidak jelas sambil membawa-bawa kanvas. Rupanya papamu telah salah dalam mendidikmu!”
            “Mama, you don’t judge others, for often, you don’t know the whole story!” teriak Duma dengan kesal.
            Memang hanya almarhum papanya yang memahami kegemarannya melukis. Mama dan papanya sudah bercerai semenjak Duma berusia 2 tahun. Pengadilan memutuskan bahwa ia harus ikut papanya. Lima bulan lalu, papanya meninggal dunia karena stroke.
Sebelum meninggal, sang papa  berwasiat agar Duma tinggal dengan mamanya sepeninggalnya. Namun, setelah berpisah hampir 21 tahun, Mama tak ubahnya orang asing yang datang tiba-tiba dalam kehidupannya. Orang asing yang seenak-enaknya saja mau mengatur-atur dan menjajah kehidupannya.
Sekali lagi, ucapan Glen itu telah terbantahkan. Cinta memang tak pernah bisa menembus ruang dan waktu. Dua puluh satu tahun Mama tidak pernah menengok atau menanyakan kabarnya. Mungkinkah memang tak ada sedikit cinta di hati Mama?
            Duma mengerjapkan matanya. Merutuki diri sendiri yang hampir saja jatuh terpuruk oleh tangis. Sudah seminggu penuh Duma meleburkan dirinya dalam tangis, begitu mendengar berita tentang pernikahan Glen. Setelahnya, ia merasa harus bangkit. Seseorang seperti Glen, tak pantas untuk ditangisi.
Namun, selain Glen, ternyata sikap Mama pun sekarang acap membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Untunglah nasihat Papa selalu terngiang di telinganya.
“Duma, saat perhatian terpusat pada diri sendiri, maka waktu seolah berhenti berputar. Meskipun saat itu kamu sedang jatuh terpuruk karena berjalan terlalu cepat. Sebab fokus perhatian adalah pada jam yang berdetak di dalam dirimu sendiri. Begitu perhatianmu kamu alihkan ke sekeliling, maka kamu akan menyadari betapa waktu berjalan sangat cepat, dan banyak hal terlewatkan tanpa kita sadari. Do you understand, Sweety?”
Suara Papa terekam sempurna dalam kotak kenangannya. Sehingga, meskipun Papa sudah tiada, ia seperti mendengar secara langsung suara bariton itu.
Lamunannya terhenti, ketika pandangannya tertumpu pada sebuah fondasi melingkar dengan diameter hampir 2 meter. Ada sebuah tulisan yang terpahat di dinding bagian luar. Dengan kuku-kuku jarinya, Duma berusaha membersihkan lumut yang menempel di atas tulisan itu… SUIKERFABRIEK SEWOEGALOER inlandsche benaming WONOPETIE....
            Naluri Duma sebagai seorang arkeolog segera bekerja. Reruntuhan fondasi dan bata beton yang ada di depannya adalah bekas sisa cerobong asap dan tungku pembakaran sebuah pabrik gula.
Kondisi cerobong hanya menyisakan bekas reruntuhan yang telah usang dimakan waktu. Berarti perjalanannya kali ini tidak salah. Saat browsing di internet, bekas suiker fabriek (pabrik gula) itu memang berada 27 km arah barat daya Yogyakarta. Perjalanan menelusuri kota tua selalu memberikan pengalaman yang menyenangkan baginya. Ia  merasa seperti tengah memasuki sebuah dunia asing dengan hal-hal yang telah berlalu.
            “Sedang mencari apa, Mbak? Kok, koyo wong bingung (kok, seperti orang yang sedang kebingungan)?” sebuah suara tiba-tiba mengetuk gendang telinganya. Sedikit mengagetkan, dan memaksa kepala Duma untuk menoleh.
            Seorang lelaki tua berpakaian surjan, pakaian adat laki-laki Jawa, dan memakai blangkon di kepalanya sedang tersenyum kepadanya. Dua gigi depannya ompong. Celana hitam selutut yang dibalut dengan kain batik khas Yogya, mengingatkan Duma  pada kusir andhong yang sering wara-wiri di Jalan Malioboro dan Stasiun Tugu.
            “Eh... ehmm sedang jalan-jalan saja, kok, Pak. Di sini dulu pernah berdiri sebuah pabrik gula ya Pak?”
            “Jarang ada orang yang mengingat bahwa di sini pernah berdiri sebuah pabrik gula besar, Mbak. Padahal seandainya saja tidak terjadi mallaise pada tahun 1931, Pemerintah Hindia Belanda bahkan berencana untuk membangun pelabuhan di daerah pesisir pantai selatan Yogyakarta.”
            “Bapak tahu tentang sejarah pabrik gula Sewugalur ini Pak? Bisa kita berbincang-bincang sejenak?” tanya Duma dengan sangat antusias.
            “Bisa Mbak, saya punya banyak waktu kok. Ning ono syarate. Tapi ada syaratnya Mbak,” ucap lelaki ber-surjan itu yang semakin membangkitkan rasa penasaran di hati Duma.
            Lalu lelaki itu mengajak Duma duduk di atas reruntuhan yang mirip tangga beton sebuah bangunan. Lelaki itu merogoh sesuatu dari balik baju surjan-nya. Sebuah wadah berbentuk mirip kepompong berwarna merah saga. Ia mengeluarkan sebuah cincin dari dalam wadah itu. Cincin bermata batu akik merah delima. Berkilau indah di atas telapak tangannya.
            “Ini namanya cincin merah delima, Mbak. Batu akik asli! Di dalamnya ada kekuatan gaib. Orang menyebutnya khodam1), yang bisa beranak pinak. Konon, babon atau induk dari seluruh merah delima di tanah Jawa adalah mustika merah delima yang dihadiahkan oleh Nyi Roro Kidul kepada Kanjeng Sultan Yogya yang pertama.”
            “Kenapa Bapak menunjukkan cincin ini kepada saya?”
            “Cincin ini tidak mau sembarang melingkari jemari seseorang, Mbak. Cincin ini selalu mencari jodohnya sendiri. Tadi saat Bapak lewat di dekat Mbak berdiri, tiba-tiba cincin bergetar di dalam wadahnya. Itu tandanya Mbak berjodoh dengan cincin ini!”
            Mulut Duma menganga keheranan. Matanya membelalak takjub menatap cincin bermata sebesar biji buah delima yang bersinar kemerahan itu. Ia tak habis pikir. Berniat ke kota tua untuk melupakan kesedihan karena tidak berjodoh dengan Glen, dan... ia justru berjodoh dengan sebuah cincin. Luar biasa. Bapak tua pemilik akik ini mampu membuat Duma ingin tertawa lepas, setelah hampir lima bulan Duma dilanda kesedihan sepeninggal papanya dan juga Glen yang mengkhianatinya.
            “Bapak berniat memberikan cincin ini kepada saya?” tanya Duma, mencoba menahan geli di hatinya.
            “Waduh, yo ojo to Mbak, jangan! Tolong Mbak membayar cincin ini dengan harga lima ratus ribu rupiah saja. Sekadar untuk membeli bibit padi dan ongkos saya pulang ke Gunung Kidul. Percayalah sama Bapak, batu akik merah delima ini jauh lebih mahal daripada batu akik jenis blue saphire, yellow saphire, zamrud, maupun topas.”
            “Tapi....”
            “Jangan khawatir, Mbak. Cincin ini mustika asli. Nanti Mbak bisa mengetes keaslian cincin ini dengan merendamnya di dalam air. Jika bilasan warna merahnya bisa menembus 21 sampai 40 gelas, berarti merah delimanya asli. Ditembak dengan peluru pun, gelasnya tidak akan pecah. Wooo.. ini kalau saya ketemu dengan para konglomerat, mereka pasti mau membayar miliaran. Tapi, belum tentu berjodoh. Kalau tidak berjodoh, biasanya cincinnya akan raib dan menghilang dari yang empunya.”
            Bulu kuduk Duma meremang mendengar kedahsyatan cincin itu. Namun, Duma justru mulai tergoda. Ia mengeluarkan dompetnya untuk membeli cincin itu. Setelah cincin berpindah tangan, Duma segera menagih janji. Dan lelaki tua itu pun memenuhi janjinya.
            “Ketika tanaman tebu termasuk komoditas dalam program Tanam Paksa sekitar  tahun 1830-an, maka berdirilah Pabrik Gula Sewugalur ini. Tepatnya pada tahun 1881. Pemrakarsanya 3 orang Belanda, yakni Tuan Hoen, Tuan Van Der Berg, dan Tuan Raaf.”
            Duma mengernyitkan dahinya. Mencoba mengingat kembali pelajaran sejarahnya waktu SMA.
            “Kok, Bapak bisa tahu persis?”
            “Ya, tahulah Mbak, saya kan abdi dalem Ngarso Dalem Kanjeng Sultan yang ditugaskan untuk menjaga kelestarian cagar budaya di sini. Rumah saya di Gunung Kidul. Tapi, seminggu sekali saya pergi ke sini, ngiras ngirus menengok cagar budaya dan membeli bibit tanaman.”
            “Berarti sawah-sawah di sini dulu ditanami tebu ya, Pak?”
            “Betul. Para meneer Belanda itu menyewa tanah milik anggota bangsawan Kadipaten Pakualaman di Kabupaten Adikarto dengan sistem kontrak jangka panjang. Tujuh puluh tahun, lho, Mbak sekali kontrak. Sampai rakyat yang biasanya menggarap sawah dengan sistem bagi hasil, menjadi kelaparan dan harus rela makan thiwul dan gogik.”
            “Kalau thiwul saya tahu, Pak. Itu semacam nasi dari gaplek atau singkong yang dikeringkan. Nah, gogik itu apa, ya, Pak? Kok, saya baru dengar.”
            “Gogik kuwi thiwul sik dipepe. Thiwul yang dikeringkan di bawah panas matahari....”
            Jadi, seperti apa rasanya gogik? Duma pernah mencoba makan thiwul saja terasa kasar di lidah. Sungguh tak terbayangkan rasa kerasnya. Mungkin sekeras kehidupan di masa lalu.
            “Tidak ada rakyat yang protes, Pak?”
            “La wong namanya saja tanam paksa, Mbak. Cultuur stelsel. Ya, rakyat terpaksa menurut.”
“Tidak adakah  perlawanan dari rakyat setempat?”
“Oh, ada, Mbak. Pemimpin pergerakan bawah tanah di daerah Yogya bagian barat adalah seorang priayi. Bangsawan Jawa itu bernama Raden Danurwendo. Beliau gugur ditembak mati oleh Belanda. Darahnya membasahi tanah di desa ini. Ia adalah seorang pahlawan, meskipun namanya tak pernah disebut dalam buku sejarah mana pun.”
 Kening Duma berkerut. Rasa-rasanya ia belum pernah mendengar seorang pahlawan bernama Raden Danurwendo. Namun kenyataannya, cerita bapak tua penjual cincin itu telah menghipnotis Duma.
Ia terpesona dalam permenungan yang panjang. Sampai bapak tua itu berpamitan, pabrik gula yang cerobongnya menguarkan asap putih kehitaman itu seolah bisa dilihatnya dengan jelas dalam ruang khayalnya. Saat tersadar dari lamunan, matanya segera tertumbuk pada wadah mirip kepompong itu. Ditimang-timangnya wadah itu, sambil berjalan meninggalkan reruntuhan cerobong asap.
 
 
  1. LORONG WAKTU
Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala, ketika Duma memutuskan untuk mampir ke sebuah warung makan kecil di pinggir sawah. Angin bertiup mempermainkan anak-anak rambutnya, untuk kemudian menelusup ke dalam cuping hidungnya. Menguarkan aroma padi yang hampir panen.
Duma memesan sepiring mi lethek dan segelas dhawet ireng. Keajaiban kuliner di pelosok pedesaan selalu berhasil membiusnya lewat saraf-saraf di ujung lidahnya. Mi lethek hanya ada di Bantul dan Kulon Progo.
Warnanya yang  keruh kecokelatan tampaknya kurang menarik. Tetapi, sekali mencobanya, pasti akan nagih. Rasanya sangat ngangeni. Mi yang sudah ada sejak tahun 1940 itu tidak dibuat dengan mesin, tapi dengan bantuan seekor sapi. Jadi, sapinya berputar mengitari adonan mi yang dibuat dari tepung tapioka, sampai semua adonan tercetak menjadi mi.
“Mbak datang dari jauh, ya? Tapi, kok, suka mi lethek?” tanya pemilik warung.
“Iya, Bu. Saya dari Jakarta. Tapi, pernah kuliah di Yogya, jadi sudah tahu rasanya mi lethek,” jawab Duma.
Manisnya dhawet ireng segera lumer di mulutnya dan saat memasuki tenggorokan rasanya sangat menyegarkan. Tidak perlu khawatir akan adanya pewarna dan pemanis buatan dalam minuman manis gurih itu. Karena warna hitamnya didapatkan dari air rendaman abu merang. Sedangkan manisnya, asli terbuat dari gula merah yang sering disebut penduduk setempat sebagai gula jawa.
Setelah membayar makanan yang dinikmatinya, Duma segera meneruskan perjalanan. Ia harus mencari rumah peninggalan kolonial Belanda yang paling besar dan paling bagus untuk dipotret. Duma sedang mencari objek lukisan rumah-rumah tua yang artistik. Tahun depan ia bertekad mengikuti pameran lukisan bertema Pesona Kota Tua, di Pameran Seni Rupa FKY (Festival Kesenian Yogyakarta).
Duma menelusuri dan mengamati satu per satu dienstwoningen (rumah dinas) eks karyawan pabrik gula yang oleh penduduk setempat disebut sebagai loji gedhe mbabrik (rumah gedung besar di kawasan pabrik).
Di sebuah rumah yang paling besar, langkahnya terhenti. Pandangan Duma menatap lekat bangunan tua itu. Sementara tangan kanannya masih asyik menimang-nimang kotak cincin yang baru saja dibelinya beberapa saat yang lalu.
Rumah kuno bercat putih itu tampak sepi dan singup (angker). Terasnya tampak angkuh, dengan pintu masuk berbentuk kupu tarung yang lumayan tinggi. Pintu utama diapit oleh dua buah pintu tunggal berbentuk senada. Di kanan kiri teras dilengkapi dengan bangunan pavilion. Desain ornamen kolonial yang sangat kental membuat Duma berdecak kagum. Tembok tinggi, lantai bermotif kuno, handel jendela, juga furnitur klasik pada kursi teras. Pada salah satu temboknya terdapat plakat yang menjelaskan bahwa rumah tersebut termasuk kategori cagar budaya.
Duma mencoba mengetuk pintu, tapi rupanya penghuni rumah sedang tidak berada di tempat. Dengan agak kecewa, Duma keluar dari teras, dan melangkah ke lorong samping rumah, di sebelah bangunan pavilion. Tiba-tiba kakinya tersangkut pada perdu yang tumbuh liar. Kotak cincinnya terjatuh. Duma mengambilnya. Diamat-amatinya cincin merah delima itu dengan perasaan yang senyap. Perhatiannya seolah tersedot oleh kilau batu mustika itu, sehingga untuk sejenak Duma lupa akan sekelilingnya.
Merasa khawatir kalau-kalau cincin itu terjatuh lagi dan lenyap dari genggamannya, akhirnya Duma memutuskan untuk memakai cincin itu. Kini jari manis tangan kanannya berpenghuni. Duma meluruskan tangan kanannya ke depan sambil mengagumi keindahan mata cincin itu. Hingga ia tidak menyadari bahwa keadaan sekelilingnya telah berubah....
Sebuah sentakan yang kuat pada lengan kirinya telah membawa kesadaran Duma, keluar dari pesona kilau merah delima itu.
“Jangan melawan atau kau akan celaka!” bisik seorang pemuda tepat di telinga kirinya. Tangannya telah menelikung kedua tangan Duma ke belakang hingga Duma tak bisa berkutik. Pakaian yang dikenakannya sama persis dengan pakaian yang dikenakan oleh pak tua penjual cincin itu. Surjan bermotif lurik, celana hitam selutut yang dibalut kain batik motif khas Yogya. Hanya bedanya, kepala pemuda itu ditutup oleh caping, topi lebar khas petani Jawa. Kenapa hari ini ia harus bertemu dengan orang-orang berpakaian adat Jawa? Pikir Duma sambil terus meronta. Namun, ia tak sempat berpikir lebih jauh ketika pegangan pemuda itu  makin kuat.
“Ini apa-apaan, sih? Lepaskan!” teriak Duma, marah.
Namun, bukannya dilepaskan, tangan kanan pemuda itu justru membekap mulutnya. Mata Duma membelalak jengkel. Mereka kini berdiri sangat berdekatan dengan jarak hanya beberapa sentimeter. Bahkan, Duma bisa merasakan dengus napas pemuda itu yang sedikit memburu.
“Tidak akan kulepaskan, sampai aku tahu siapa kau sebenarnya. Sekarang kau adalah tawananku!”  (Bersambung)
 
  1. Khodam: penjaga (bisa malaikat atau jin) yang didatangkan dari dunia gaib untuk menjaga manusia.
 ***
Utami Panca Dewi
Pemenang II Sayembara Cerber Femina 2016

“Mengolah ‘Warisan’ Keluarga”
Ide cerita memang bisa dari mana saja. Utami mendapatkan ide Cincin Merah Delima ini dari kisah dalam keluarganya. “Ibu saya bercerita bahwa adik dari nenek buyut saya ada yang menjadi nyai, namanya Mbok Cilik Giyah, yang menikah dengan Tuan Kal (meneer Belanda pegawai pabrik gula Sewugalur),” katanya. Pernikahan itu tidak dikaruniai anak. Ketika Mbok Cilik Giyah meninggal, beliau mewariskan harta kekayaannya (berbagai perhiasan, keris, barang antik, batu-batu mulia) kepada keponakan dan cucu keponakannya, termasuk ibunya.

“Tapi, ada satu perhiasan yang raib bersamaan dengan meninggalnya Mbok Cilik Giyah, yakni sebuah cincin merah delima,” lanjut Utami. Karena ia ingin sekali menulis cerita bergenre romance dan berlatar sejarah, ia lalu mengembangkan kisah leluhurnya itu dengan membuat beberapa premis, salah satunya, saat ini, cincin merah delima itu telah menemukan jodohnya, seorang gadis keras kepala yang sedang patah hati. Setelah itu, ia pun melakukan berbagai riset, termasuk mendatangi tempat yang menjadi setting cerita ini.

Bagi Utami, menulis adalah salah satu cara untuk menuangkan kegelisahan, kekecewaan, harapan, dan juga mimpi-mimpi. “Saya menulis untuk mendapatkan keseimbangan dalam hidup, seperti halnya kegiatan menari dan bermain musik sewaktu saya kecil. Menulis juga bisa menjadi sarana bagi saya untuk berbagi,” tutur wanita yang mulai serius menulis sejak masih kuliah ini. (f)
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?