Fiction
Cerpen : Yustina

9 Dec 2018


Dilihat selintas, keluarga besan sayang kepadanya. Tetapi yang sesungguhnya, Yustina merasakan iri hati di bidang segalanya. Kakak Erik tidak kawin, hidup serumah dengan seorang aktivis politik golongan oposisi. Seolah-olah peduli lingkungan, selalu ikut serta dimana pun terjadi unjuk rasa mengenai soal ekologi. Tetapi bila dicari namanya, tak satu pun organisasi Lingkungan Hidup yang mencatatnya sebagai anggota. Dia hanya ikut-ikutan. Yang pasti, dia memang mempunyai kartu tanda  anggota Partai Sosialis negeri itu.

Pekerjaan yang menopang hidupnya adalah tata kota di suatu provinsi terdekat dengan Paris.  Maka tidak jarang dia tiba-tiba muncul, sendirian atau didampingi kakak perempuan Erik. Mereka sengaja datang untuk turut bersama makan siang di hari libur, atau makan malam di hari biasa. Tetapi bukan itu yang mengganjal bagi Yustina.
           
Kalimat-kalimat yang diucapkan orang tua dan saudara-saudara Erik selalu siap menghunjam dada anak perempuan satu-satunya si Bapak bertangan emas itu. Yustina dan kakak-kakaknya memang terpelajar karena mempunyai gelar sarjana. Tetapi pengetahuan mereka terbatas. Mereka tidak tertarik pada hal-hal di luar bidang masing-masing. Apa lagi Yustina. Bahasa Prancisnya maju karena dia menggunakannya untuk berbicara sehari-hari. Tetapi jika harus menulis atau membaca, matilah dia. Dia juga berbicara bahasa Inggris. Tetapi ilmunya memudar terdesak oleh tahun-tahun yang hilang.
           
Maka dalam perbincangan bersama saudara, orang tua, atau lingkungan besan itu, Yustina hanya diam. Nyata lingkungan barunya tidak mempedulikannya. Mereka tidak menganggapnya sejajar karena setiap kali dimintai pendapat, jawabannya kekanak-kanakan atau meleset jauh dari pokok persoalan. Bahkan dua atau tiga kali terluncur kata-kata kakak Erik yang jelas ditujukan kepadanya.
           
“Orang-orang kaya di dunia inilah yang memelihara kemiskinan. Karena, kalau mereka memang rela menghapus kemelaratan, sebenarnya bisa. Kaulihat misalnya ayah Tina, dia menjadi tuan tanah ukuran raksasa. Apakah dia menjamin pendidikan para pekerjanya supaya lebih pandai. Tidak, bukan. Karena bila pekerja diberi tambahan pengetahuan, mereka akan meninggalkan kebun, bekerja pada orang lain!”
           
Lalu di kesempatan yang berbeda, sedang asyiknya mereka minum kopi sesudah makan, ayah Erik melirik ke arah menantunya wanita Indonesia itu.
           
“Aaaah, kopi dari Jawa! Inilah nikmatnya mempunyai menantu orang berasal dari Jawa. Anak orang kaya pula! Jadi simpanan kopi tidak bakal habis karena selalu menerima kiriman.”
           
“Ya, benar,” adik Erik yang juga bekerja sebagai insinyur menunjang . “Tahukah Ayah, Tina sering menerima kiriman langsung dari Jakarta dibawa pesawat sehari semalam tiba di sini. Begitu itu kalau menjadi anaknya orang kaya! Seperti Duta Besar saja!”
           
Nada-nada suara mereka bukannya bercanda, melainkan diselubungi iri hati. Walaupun semula Yustina menanggapinya serius, kemudian ganti dengan sikap ringan seolah-olah tidak memperhatikan, lama kelamaan dia merasa kesal juga. Hingga pada suatu ketika, keluarlah kalimat lain, “Kita ini ‘kan harus bekerja  untuk menutupi kebutuhan kita. Bukan begitu, Ayah?”

Dan, ipar Erik melayangkan pandang ke arah suami Yustina sekaligus mencari di mana si nyonya rumah duduk, kemudian meneruskan. “Tidak seperti Erik. Sesungguhnya dia tidak perlu ke kantor setiap hari. Hidupnya sudah dijamin mertua!”
           
Ibu Erik menyahut,“Kalau Erik tidak bekerja, bayangkan, badannya akan menggelembung seperti disengat lebah karena semakin tidak bergerak hanya makan melulu kegiatannya.”
           
“Ya, Ibu benar,” ipar itu setuju. Dia sudah melihat dimana Yustina duduk, maka katanya kepada istri Erik itu,” Dan kamu, Tina, kapan kamu akan mulai bosan sehari-hari berbelanja, bersolek, dan bersenam saja? Kapan kamu akan mulai bekerja seperti orang-orang lainnya”.
           
Kali ini Tina, Neng Yustin atau Yus tidak bisa lagi menahan dirinya. Santai dia menjawab, “Kalau aku bekerja, namanya bukan lagi anaknya orang kaya. Anda mestinya juga tahu, bahwa orang tuakulah yang membayari belanja kebutuhan pokok kami yang selalu Anda makan baik siang atau malam di sini. Padahal Anda semua bukan orang-orang miskin peliharaan ayahku!”
           
Malam itu Yustina tidak keluar lagi mengucapkan selamat jalan kepada keluarga Erik. Langsung terjadi pertengkaran hebat pertama di antara suami istri. Di lain waktu telah pernah ada perselisihan. Namun masih bisa dianggap kecil. Sepele. Lumrah, karena ‘hanya’ mengenai anak sakit, anak menangis, anak tidak mau makan.
 


Topic

#fiksi, #cerpen, #NHDini

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?