Fiction
Cerpen: Wanita Siam

7 Dec 2018


"Kakak Anda mengidap penyakit paru-paru warisan dari pengembaraannya di rawa-rawa sewaktu kerja paksa di Birma, di hutan-hutan Semenanjung Malaysia," wanita muda itu memulai ceritanya.

"Bagaimana dia sampai di sana?" Aku tidak dapat menahan keherananku. 

"Tentara Jepang mengangkutnya dengan kapal dari salah satu pelabuhan di selatan pulau Jawa. Mereka sebanyak enam atau tujuh ribu orang. Menurut ceritanya banyak kawannya yang meninggal karena kekurangan makan serta tidak adanya pemeliharaan kesehatan. Mereka baru mengetahui bahwa Jepang telah kalah perang setelah beberapa pemuda berhasil melarikan diri dan mencapai sebuah kota.” 

Tentara penjajahan semua sama sifatnya. Yang dari Jepang tidak pula terkenuali. Setelah dewasa aku sering mendengar, bahwa pada waktu pendudukan bangsa itu, pada saat-saat diperdengarkan sinyal tanda bahaya. sebenarnya tidaklah disebabkan oleh datangnya pesawat musuh yang terbang di wilayah tanah air, tetapi karena bala tentara Jepang sedang mengangkuti hasil pengumpulan minyak tanah, barang perhiasan maupun bahan makanan keluar kota atau menuju ke pelabuhan untuk diteruskan ke negeri mereka.

Kuingat bagaimana setiap kepala rumah tangga harus menyerahkan barang-barang berharga kepada kepala kampung pendudukan. Katanya itu diperlukan untuk membiayai perangnya pemuda-pemuda tanah air. Demikian memikat serta berkobarnya propaganda penjajah hingga kebanyakan penduduk menyerahkan hak milik mereka dengan patuh.

Kakakku Mahadi bersama ibuku rupa-rupanya mempunyai pikiran lain. Di pojok salah satu dari kamar kami, mereka mencukil beberapa segi lantai serta membuat lubang disana. Sebagian barang perhiasan, jam-jam tangan atau saku yang masih bagus dimasukkan di dalam sebuah setoples kaca, kemudian dikubur di lubang tersebut. Mungkin Mahadi dan ibuku tidak sendirian punya pikiran demikian. Tetapi pada waktu itu, tindakan keduanya kuanggap sebagai sesuatu yang luar biasa, yang sungguh-sungguh berani dan sekaligus menakutkan! Dan oleh karenanya pula aku semakin mengagumi serta mencintai keduanya lebih dari pada ayahku. 

Kemudian hari, setelah perang dan revolusi berakhir, berkat perhiasan dan barang berharga yang disembunyikan itulah ibuku dapat membiayai tahun-tahun pertama sekolah kakak-kakakku yang lain yang sekarang menjadi insinyur pertanian, dokter gigi, dan guru pendidikan jasmani. 

“Kami kawin empat belas tahun yang lalu. Anak kami tiga orang, dua laki-laki, seorang perempuan.” 

Aku hampir tidak mendengarkan kawan bicaraku. Alangkah asingnya perasaanku. Tahun-tahun berlalu, kami di rumah tidak pernah menganggap Mahadi hidup, kecuali ibuku. Kalimatnya seperti ”Kelak bila kakakmu Mahadi kembali . . .” atau ”Kakakmu Mahadi tentulah gembira melihatmu demikian” dan sebagainya, menunjukkan betapa kebenaran perasaannya sebagai seorang ibu telah menguasai pikirannya. Kini aku menyadari bahwa memang selama ini ibukulah yang benar. 

”Mengapa dia tidak mengirim kabar, surat atau telegram melalui kedutaan misalnya," kudapati diriku mengucapkan kalimat penyesalan. 

”Selama empat tahun kakak Anda hampir terus menerus tinggal di rumah sakit. Dia bekerja digedung percetakan kepunyaan ayah saja. Keduanya berkawan baik. Selama di rumah peristirahatan penjakit paru-paru, semua biaya datang dari ayah saja. Setelah kami kawin, kakak Anda memutuskan akan menetap di negeri ini dan menjadi warga negara yang baik. Menurut katanya kemudian, itu adalah caranya untuk membalas kebaikan budi orang-orang yang selama itu melingkunginya dengan keramahan. Katanya hidupnya yang lalu sudah lewat. Dia tidak pernah menyebut sesuatupun mengenai keluarganya di negeri lain. Hingga pada suatu hari dia mengira telah melihat Anda di hotel.” 

”Mengapa dia tidak menegur saja?” 

”Dia ragu-ragu apakah benar Anda adalah adiknya atau bukan. Sewaktu dia meninggalkan rumah, Anda masih kecil menurut katanya. Setelah bolak-balik berulang kali, akhirnya atas anjuran saya, dia memberanikan bertanya di meja penerima tamu hotel siapakah Anda dan nama Anda sekalian. Tetapi terlambat, pesawat Anda telah berangkat. Sejak waktu itulah dia mulai bercerita mengenai keluarga di Indonesia. Berkali-kali saya usulkan agar dia meminta tolong kepada ayah saja supaya membiayai perjalanannya menengok kalian, tetapi dia menolak. Dia bahkan dengan keras melarang saja membicarakan hal tersebut kepada ayah saya.” 
 


Topic

#fiksi, #cerpen, #NHDini

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?