Fiction
Cerpen: Setabah dan Seharum Kenanga

7 Oct 2017



Suatu hari, Tanjir, seorang pemuda kampung tetangga tiba-tiba kembali dari kota, muncul dengan mengendarai sedan keluaran terbaru. Tanjir dan kedua orang tuanya yang berpenampilan seperti gaya keluarga pejabat kota itu datang melamar Nurmala. Karena terlalu percaya bahwa gadis itu tidak bakal bisa menolaknya, Tanjir tidak pernah memberitahukan lebih dulu maksudnya, seolah-olah kedatangannya yang mendadak itu untuk memberikan suatu kejutan berkah penuh kebahagiaan kepada Nurmala.

Tak ada yang kurang pada Tanjir: dia memiliki banyak kelebihan dibandingkan dua puluh enam orang yang sebelumnya telah melamar Nurmala. Bahkan, dia lebih rupawan dan lebih kaya dibandingkan mereka yang pernah melamar gadis itu. Tanjir juga punya kekuasaan besar setelah bergabung dengan Partai Merah yang dibentuk mantan pemberontak  usai perang Aceh, dan berkali-kali partai lokal itu memenangkan pemilu.

Lima tahun lalu, Tanjir bukanlah siapa-siapa, hanya seorang pemuda berandal yang merantau ke kota, membawa sebuntal baju dan celana kumal, sedangkan sejumlah kancut koyak semua di bagian pantat. Namun, sekarang dia mendadak kaya raya, punya kekuasaan lagi. Tidak seorang pun tahu bagaimana nasib bisa begitu cepat mengubahnya. Dari desas-desus yang beredar, kekayaan Tanjir itu sering dikait-kaitkan dengan kiprahnya dalam perdagangan ganja dan sabu yang memang sedang marak-maraknya sekarang.

Bagi Tanjir, di dunia ini, uanglah yang paling berkuasa. Maka, Partai Merah yang beranggotakan orang-orang putus sekolah yang keras kepala, dengan senang hati menerimanya sebagai orang penting, mengusungnya sebagai calon anggota dewan pada pemilu mendatang. Jika saja Nurmala menerima lamaran Tanjir, kemungkinan besar kelak dia akan menjadi istri anggota dewan terpandang yang kakinya tidak boleh menyentuh tanah, apalagi lumpur sawah, dan dia tidak perlu lagi turun ke sungai mencuci pakaian.

Nurmala melihat sendiri sosok Tanjir yang bagaikan pemuda idaman banyak gadis. Tetapi, setelah memberikannya kesempatan berpikir, Nurmala pun menolak lamaran pemuda itu. Tanjir yang sejak awal begitu sesumbar, yakin pinangannya tak bakalan ditolak, begitu kecewa dan sakit hati. Dia menanggalkan jas dan celana mahalnya, mengenakan celana jins, kaus oblong, dan sandal kulit, lalu pergi ke kedai kecil  Kampung Mulieng dengan menumpang sebuah kereta motor tua. Di kedai itu, diam-diam dia menunggu Nurmala. Tetapi, hingga petang hari gadis itu tak kunjung keluar rumah.

Keesokan harinya Tanjir melakukan hal serupa, dan setelah hampir putus asa menunggu hingga petang, tiba-tiba gadis itu muncul, melangkah anggun di jalan berbatu laksana putri malu, elok parasnya tiada bandingan. Tanjir yang tak bisa menahan diri, segera memburu, mencegatnya di jalan dekat kedai situ. Pemuda itu langsung menanyakan alasan penolakan lamarannya. Tanpa berubah pendirian, gadis itu memberikan alasan serupa bahwa hingga saat ini dia belum berkeinginan untuk menikah.

 “Kenapa?” tanya Tanjir gelisah, dengan raut wajah pucat. “Bukankah sekarang usiamu sudah dua puluh?”
Nurmala tersipu, menundukkan kepala hingga anak-anak rambut lurusnya menutupi wajah. Dia terlihat cantik alami di sore muram itu.

“Tidak apa-apa,” jawab Nurmala menghindar, berlalu tanpa memberikan keterangan lanjut.

Tanjir makin resah tidak menentu. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya, antara bingung, sakit hati, dan tak berdaya. Namun, dia sudah kepalang basah dan pantang menyerah. Tiba-tiba saja wajahnya berubah padam, kembali mengejar gadis itu, dan mencegatnya.

“Sekarang katakan, lelaki bagaimana pula yang kauidamkan?” sembur Tanjir kesal.
Mendadak langkah Nurmala terhenti, tubuhnya kaku, wajahnya tegang. Dia tertekan, terancam, dan kesulitan menjawab.
“Siapa pun lelaki tidak masalah bagiku,” ucapnya penuh keberanian. “Tapi, perlu kau tahu, aku bukanlah gadis yang mudah tertarik pada kekayaan....”
“Sok suci!” sembur pemuda itu, dan meludah.
Wajah Nurmala padam, tidak berusaha menanggapi. Dia menggeserkan tubuh ke sisi kanan, melanjutkan langkahnya. “Maaf, aku terburu-buru....”
“Dengar!” seru Tanjir mulai berang. “Kau akan menyesal. Kau akan menyesal seumur hidupmu!”
Tanjir kembali meludah-ludah lagi, melindas-lindas rumput dengan ujung sandal karetnya. Wajahnya tegang, geram, berlaksa dendam merasuki dirinya. Dia mengepal-ngepalkan tinju dengan menggigit geraham.
 


Topic

#cerpen, #fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?