Fiction
Cerpen: Sebuah Nomor yang Harus Kutelepon Hari Ini

10 Mar 2017


 
Biasanya, jarang sekali aku merasa sepi saat berada di ruang kerja. Di luar, suara cukup ramai. Suara papan tuts komputer. Suara orang saling sapa. Tawa yang pecah. Langkah kaki tergesa. Barang jatuh. Bunyi telepon yang tidak henti-henti berdering. Bunyi ponsel—begitu banyak bunyi ponsel dengan nada panggil beragam. Suara petugas pantri yang mengantar minuman panas ke meja-meja kerja. Suara-suara yang biasa kudengar. Suara-suara yang sangat kukenali. Namun, tak satu pun dari suara-suara itu yang membuatku merasa bahwa aku tidak sendirian di sini.

            Aku sendirian.
            Aku tidak tahu bagaimana perasaan itu bisa muncul dan tidak bisa kuatasi selama berjam-jam ini. Mungkin aku butuh sedikit hiburan sebelum membuka catatan rapat mingguan bersama seluruh tim pemasaran Senin pagi kemarin; beberapa komplain yang harus diselesaikan, barang produksi yang cacat, pengiriman terlambat, hingga ancaman pembatalan pesanan dari klien karena negosiasi harga yang tidak mencapai titik temu. Aku memilih judul lagu di play list komputer. Tidak satu pun yang membuatku berminat mendengarnya. Kuputar film Before Sunset—film yang sudah kuputar berulang-ulang di waktu senggang. Sepuluh menit berjalan, aku merasa dialog-dialog di dalamnya membuatku bosan. Aku membuka-buka folder foto liburan.
Semua itu tidak membuat hatiku bergerak dari perasaan asing, perasaan sendiri, perasaan sepi.

            Kemarin aku baik-baik saja. Aku pulang setelah pergi karaoke bersama beberapa rekan kerja dan klien. Lebih tepatnya, kami—aku dan salah seorang bawahan yang juga teman baikku—pulang berdua setelah karaokean dan duduk di bar sebentar. Aku mereguk satu gelas bir. Hanya satu gelas. Dan kupastikan aku tidak minum yang lain dan pulang tidak dalam keadaan mabuk. Bila aku membiarkan temanku masuk ke apartemenku dini hari itu karena ia memang sudah biasa datang ke sana untuk menjemput sesuatu yang berurusan dengan pekerjaan atau sesekali mengantar makanan untukku saat aku jatuh sakit. Ia tahu aku tidak punya siapa-siapa di kota ini. Aku sudah lama sekali tidak punya pacar—sebab di mataku semua lelaki itu busuk dan brengsek. Aku punya sedikit teman di luar rekan kantor, tapi mereka tenggelam dalam kesibukan pekerjaan dan nyaris tidak bisa diandalkan, selain berkumpul di pesta akhir tahun.

            Dini hari itu, entah bagaimana mulanya, kami berciuman. Serempak kami membuka dan melempar pakaian ke lantai. Kami berciuman lagi. Kami memasuki dunia yang membuat dada gemetar. Setelah itu, kami berbenah dan terdiam lama. Ia pulang. Aku tidur nyenyak. Aku bangun pagi-pagi dan berangkat ke kantor. Aku melewati mejanya dan ia berkata pelan, kejadian itu tidak ada hubungan dengan perasaan apa-apa.
            Kalimat itu masih berdengung dalam kepalaku.

            Kalimat itu satu-satunya kemungkinan yang telah membuatku merasa sangat sendirian sebab sebelumnya dunia ini tetap seperti biasa, tetap memiliki harapan-harapan di tengah ancaman rasa jenuh yang kerap menghampiri semua pekerja kantoran dan karena itu betapa kami semua sesekali butuh hiburan. Bercinta dengan seorang teman mungkin tidak termasuk kategori hiburan, terlebih jika orang itu memiliki seorang bayi yang setiap saat bisa saja menendang-nendang dadanya yang telah berdosa itu dan ia tidak tahan dihukum sedemikian rupa lalu keluarlah kalimat bahwa kejadian itu tak ada hubungan dengan perasaan apa-apa demi mengurangi rasa bersalahnya, demi meyakinkan dirinya sendiri kalau ia seorang suami dan papa yang setia. Ia mungkin tidak tahu, aku bahkan tidak lagi mengingat ciumannya atau apa yang kami lakukan setelahnya saat aku bangun tadi pagi. Namun, semua itu kini menjadi tak sederhana lagi.
Dari balik kaca bening ruang kerjaku, aku bisa melihat meja temanku itu. Meja itu kosong—seperti kebanyakan meja karyawan bagian pemasaran lainnya pada jam-jam menjelang siang. Ia sudah biasa keluar kantor untuk mengecek barang di tempat produksi atau pergi ke gudang atau berurusan dengan klien, tapi kali ini aku memandanginya dengan perasaan yang sangat aneh. Perasaan yang gelisah. Perasaan yang tidak biasanya.

Dengan sekali sentakan, aku berdiri. Aku sama sekali tidak bisa bekerja. Aku muak mendengar telepon kantor yang tidak henti-henti berbunyi. Aku harus keluar dari sini. Kuambil tas di atas kursi yang disediakan untuk tamu. Kusingkirkan vas bunga dengan kembang plastik (atau kertas?) ke dalam laci. Aku berjalan keluar dan melewati meja kosong temanku itu dengan tergesa. Aku berharap saat kembali nanti, semua sudah baik-baik saja seperti sedia kala. Aku akan melewati meja temanku itu dan dia mungkin menyapaku dan aku mengembangkan tawa di bibirku sambil berkata kalau dasi yang ia kenakan kurang cocok dengan kemejanya—setiap hari ia memang datang ke kantor dengan penampilan yang selalu tidak pas, terutama soal paduan warna. Kadang aku tidak tahan untuk mengomentarinya panjang lebar. Seolah-olah aku ini ibunya. Barangkali bukan begitu, melainkan seolah-olah aku ini istrinya yang sangat cerewet.
Istri? Aku semakin buru-buru keluar. Bagaimana bisa aku berpikir seolah-olah aku ini istrinya. Beberapa hari lalu, saat aku berpikir begitu, aku merasa itu bukan masalah sama sekali. Namun, hari ini, aku merasakan jantungku berdebar. Aku merasakan kulit pipiku panas. Aku merasa tidak seharusnya aku berpikir begitu tentangnya.

Aku melewati pintu. Udara yang kering menyentuh kulitku. Baru hari ini aku sadar betapa selama ini aku sudah bertahun-tahun terkurung di sebuah tempat dan berada di tempat terbuka dengan matahari langsung menyiram kulit membuatku agak terharu, dan ini berbeda sensasinya dibanding aku keluar untuk urusan kerja atau liburan singkat ke pantai atau pulau-pulau. Ini seperti sebuah kebebasan atau perjalanan kembali kepada apa-apa yang dulu begitu dekat dengan perasaan riang sebelum kutukan menjadi manusia dewasa datang. Selama ini, aku nyaris tidak tahu apa aku hidup bahagia atau tidak. Tak ada waktu untuk memikirkan hal semacam itu. Waktu bergerak sangat cepat dan aku bagai  mesin otomatis, dari hari ke hari. Aku bahkan tidak tahu kapan terakhir aku benar-benar merasa merindukan sesuatu. Barangkali ketika nenekku sudah meninggal dunia. Waktu itu aku menelepon ibuku dan memberi tahu bahwa aku terbangun tengah malam dan tiba-tiba ingat Nenek. Kusampaikan kepada ibuku rasa bersalah yang dalam karena tidak pulang di hari Nenek dikuburkan. Tidak apa-apa, kau kan harus bekerja keras, kata ibuku. Setelahnya aku menangis seorang diri di tempat tidur, sebab aku tidak akan pernah bertemu nenekku lagi, tidak akan pernah merasakan jari-jarinya menyisiri rambutku.

Namun, kini, aku meragukan kesungguhanku itu. Segala sesuatu dalam diriku bergerak ke arah kepalsuan-kepalsuan yang mulai mengerikan. Aku bisa dengan mudah tersenyum kepada seseorang, padahal sesungguhnya itu bukan sebenar-benar senyuman. Aku berada di antara orang-orang, tertawa bersama mereka, padahal aku sama sekali tidak ada di sana.

Aku berjalan menembus kepadatan lalu lalang orang menuju atau meninggalkan gedung perkantoran. Temanku itu mungkin sudah kembali ke meja kerjanya dan sibuk menerima panggilan di ponselnya sambil mengetik beberapa data atau mencatat permintaan dari klien baru. Di tengah kesibukannya itu, barangkali ia agak penasaran denganku dan sesekali memandang ke arah kaca pembatas ruang kerjaku. Ia sudah pasti tak menemukanku di sana. Sebelum ini, aku tentu sering tak di sana, tapi adakah ia merasa berbeda saat hari ini mendapati ruanganku kosong? Adakah ia bertanya-tanya dan gelisah?
Agak keras, kugigit bibirku. Begitu caraku mengingatkan kalau apa yang kupikirkan di luar yang semestinya.

Aku memasuki jalan raya. Kendaraan padat seperti biasa. Namun, tidak kusangka, jalan juga dipenuhi oleh orang-orang berpakaian kantoran yang berjalan kaki. Mau ke mana mereka pada jam kantor begini? Kenapa semua orang seolah sengaja keluar? Dengan cepat, aku terseret dalam kerumunan orang-orang itu. Aku tidak tahu bergerak ke arah mana. Tubuhku terbentur tubuh-tubuh lain. Kepalaku mendadak berdenyut-denyut. Aku berseru saat tubuhku didorong dan aku hampir terjerembab. Susah payah, kuambil ponsel dalam tas yang sengaja kumatikan. Aku menghidupkannya lagi karena harus menelepon seseorang. Begitu banyak pesan masuk. Tidak satu pun dari pesan itu yang ingin kubaca. Aku mesti keluar dari kerumunan ini secepatnya dan kembali ke kantor saja. Aku teringat kepada temanku itu. Kalau sedang butuh bantuan, aku memang selalu mengandalkannya. Kucari-cari namanya. Kali ini, nama itu tak mudah kutemukan di deretan nama-nama dengan suku kata yang mirip. Mungkin karena aku tidak sepenuh hati menginginkan ia membantuku. Mungkin karena aku tahu mulai hari ini semuanya sudah berbeda dan kami tidak mungkin kembali ke waktu kemarin. Aku berhenti mencari namanya.

Tubuhku makin terseret-seret. Orang-orang mulai saling memaki. Lantas aku teringat adikku. Ia berhenti bekerja dan memilih menjadi seorang ibu. Terakhir menelepon ia menceritakan tentang bayinya yang menggigit puting susunya keras-keras hingga berdarah dan ia mengatakan itu sambil tertawa-tawa. Adikku itu sudah pasti tidak bisa menolongku saat ini. Selain berada di kota yang berbeda denganku, ia juga pasti sedang bermain bersama anaknya, dan tidak bisa diajak bicara untuk sekadar minta saran atau kalimat yang bisa membuatku tenang. Aku melewatkan nama adikku di daftar kontak. Biarlah ia menjalani hidup damai bersama bayinya.

Orang-orang semakin ramai. Aku mulai berpikir jangan-jangan semua orang yang berada di kantor sengaja turun ke jalan untuk sebuah urusan kerja atau ingin merayakan kebebasan. Tentu saja aku bisa bertanya kepada salah satu dari mereka, tapi itu tetap saja tidak sopan, terlebih mereka semua tampak terburu-buru. Aku kembali berpikir tentang sebuah nomor yang harus segera kuhubungi. Nomor orang yang mungkin bisa membantuku mengatasi kebingungan luar biasa ini. Orang yang memberiku kalimat sederhana saja dan setelah itu aku dapat merasa waktu berbalik lagi ke titik sebelum semua ini terjadi dan aku menemukan diriku duduk di ruang kerja dengan kesibukan yang tak memungkinkanku memikirkan hal-hal lain.  Akan tetapi, aku tak menemukan nomor itu sama sekali. Aku tetap berada di jalan, di antara tubuh-tubuh yang saling berdesakan, sampai kemudian aku tenggelam dalam lautan tubuh itu. Aku berteriak. Kugapai-gapaikan tangan dengan harapan ada yang melihat dan menarikku. Tak ada yang melihatku. Tak ada yang menarik tanganku.

Sebelum aku tenggelam makin dalam, kucoba membayangkan semua orang yang kukenal dalam hidupku dan perlahan perasaanku menjadi damai. Aku seakan tengah berlari-lari kecil di sebuah jalan kosong. (f)
***

YETTI A.K.A

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:

http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?