Fiction
Cerpen: Rinai di Natuna

10 Nov 2017



Aku masih ingat hari pertamaku di Natuna. Sore itu adalah sore paling mistis yang pernah kujumpai selama hidupku. Setelah dua hari dua malam berlayar dari Tanjung Pinang, kuputuskan hari pertama sebagai acara jalan-jalan seorang diri di Ranai, ibukota Natuna yang berpagar laut lepas.

Kubayangkan jika aku punya sirip seperti puteri duyung, aku akan bebas meloncat sewaktu-waktu dari dermaga, menyelam di antara terumbu karang yang indah. Aku tidak pandai berenang, jadi kuhentikan imajinasiku. Dengan berbekal selebaran brosur dari agen perjalanan, aku menuju Pulau Sedanau.

“Kau sudah ke Pulau Tiga, Lang?” tanya seorang lelaki bertopi baret pada seorang lelaki berkucir yang duduk di sebelahku.

“Belum. Ada apa di sana, Bang?” balik tanya lelaki berkucir dengan suara berat yang terdengar menyenangkan. Kuputar sedikit kepalaku, mengamati sekilas lelaki tersebut. Tubuhnya penuh dibalut kaos putih yang mengusam.

“Terumbu karangnya indah sekali. Mainlah ke sana. Itu gugusan tiga pulau di seberang Selat Lampa. Dari Ranai ke Selat Lampa cuma satu setengah jam.”

“Kalau ada putri duyungnya, mau aku Bang!” ujar lelaki berkucir antusias.

“Bah! sudah urusi saja tuan putrimu di Jawa. Macam mana pula kau ini dengan si Juwita? Jangan kau gaet gadis Natuna!” larang lelaki bertopi baret dengan terkekeh. Logat batak kental menyeruak dari bibir kehitaman.

Lelaki berkucir itu tertawa. Ia merogoh ke dalam kantong ranselnya sesaat. Kulihat beberapa detik kemudian, ia sudah sibuk berdiam sambil menyulut sebatang rokok berfilter. Dahinya lebar, kulitnya kecoklatan dan matanya agak sipit. Saat ia tertawa, ia benar-benar sipit. Terdapat sisa-sisa kumis di antara hidung dan bibirnya yang tipis berwarna jelaga. Sebuah tas kamera terkalung di lehernya.

Kutebak ia turis, bukan wartawan. Ia tidak tampan—maksudku, bukan ciri lelaki segar dan wangi yang sering beredar di koridor-koridor mal di Jakarta. Tapi suaranya membuatku tersandera duduk di tempat. Tak lama kemudian, lelaki sipit berkucir itu beranjak dari duduknya.

Ada bagian dari tubuhku yang mulai mengedarkan sinyal, mencari teman di tempat asing ini. Tapi aku tidak butuh berkenalan dengan turis, simpulku. Tak boleh diriku terlalu antusias dengan pelancong yang mempunyai tawa renyah. Alangkah beruntungnya, pikirku kemudian, jika di hari pertama ini kutemui juga jurnalis lokal.
 
Kuedarkan pandanganku ke kabin feri, tidak kutemui sesosok manusia yang mengalungkan id card layaknya jurnalis. Tiba-tiba aku tersadar, aku terlalu menilai penampilan seseorang. Eh, mungkin lelaki sipit itu seorang jurnalis.

Kubalik tubuhku, lelaki berkucir telah menghilang dari pandangan. Mungkin tengah berada di buritan. Aku bergegas bangkit lalu mencarinya. Aku tidak tahu mengapa dorongan kuat ini muncul. Aku hanya ingin berkenalan dengannya. Tak peduli jika ia bukan seorang jurnalis.
 


Topic

#fiksifemina, #cerpenfemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?