Jika aku tidak bisa memuaskan seleranya dengan masakan tim dagingku – tim daging ala Tata– wajar, kukira. Sebab, hingga Mama meninggal sembilan tahun yang lalu, sependek ingatanku belum pernah sekali pun Mama menyajikan menu tim daging. Sehingga aku tidak berkesempatan melihat bagaimana Mama mengolah tim daging andalannya, yang kukira kini dikangeni Papa untuk disantapnya lagi. Mbak Sitha, kakak sulungku yang kini menetap di kampung halaman, Semarang, dan juga Mbak Mitha, kakak keduaku, menyarankan agar aku membeli saja menu tim daging istimewa dari restoran yang secara khusus menyajikan masakan Tiongkok. Tim daging dikenal sebagai salah satu kuliner warisan leluhur mereka.
“Beli sajalah, Dik. Dengar-dengar, tim daging di restoran Evan juara. Beli seporsi dulu, nyoba. Siapa tahu Papa suka,” kata Mbak Sitha dari ujung sana, saat aku mengadukan Papa yang tak menyentuh olahan tim dagingku. Padahal, aku sudah melakukan sesuai petunjuk resep step by step.
“Papa maunya masakan sendiri, Mbak. Kayak yang enggak kenal Papa. Kata Papa, dia ingin mencium aroma tim daging yang menggelegak langsung dari panci tim,” aku bersungut. Papa bilang, rasa tim daging yang sempurna akan terdeteksi bahkan hanya dari baunya. Dan itu yang belum bisa aku lakukan untuk Papa. Aku sendiri bingung dengan keinginan Papa. Meski dari gambar dan petunjuk yang kulihat, bisa kuterka rasa dan bentuk makanannya, tetapi seistimewa apakah tim daging yang pernah diolah Mama sehingga Papa begitu kecewa saat tak mendapati sajian yang sama seperti yang dimintanya? Untuk pertama kali aku menyesali, mengapa Mama tidak pernah memasakkan menu itu sebelumnya. Atau barangkali pernah? Hanya aku yang lupa?
Topic
#fiksifemina