Fiction
Cerpen: Pagi Harinya Aku Teringat…

25 Nov 2018

 
Mereka adalah irisan-irisan diriku, atau tokoh-tokoh dalam novel-novelku, atau beberapa orang asing yang kutemui di hostel anak muda di Bangkok. Pilihlah realitasmu sendiri.
 
Kami minum kopi di dasar samudra, di Palung Mariana, menatap nuansa-nuansa biru di atas kepala. Alyssa berkata, “Apakah kamu lupa siapa dirimu?”
 
“Wanita yang aku dambakan tidak ada di sini lagi, mungkin aku tidak ingin menjadi dirinya lagi,” jawabku.
 
Lisa dalam jaket kulitnya bertanya, “Kau ingin jadi wanita yang seperti apa? Lihatlah, sekarang kau dan aku sangat berbeda. Kau memakai rok, dan bagiku rok bukanlah pilihan.”
 
“Ya,” aku duduk di tengah mereka semua, “pada waktu itu, rok adalah tanda kepatuhan, pada peraturan orang tua, pada citra feminin yang umum. Tapi sekarang, memakai rok adalah keputusanku. Namun, aku kehilangan energi yang selama ini kurasakan.”
 
“Kau merasa tidak seproduktif sebelumnya?” tanya Elly.
 
“Aku rindu merasa kuat lagi, kuat dan berani sepertimu, dan tak butuh siapa-siapa untuk merasa bahagia.”
 
“Aku tahu kau merindukannya,” kata Mia.
 
“Tadinya kupikir jika kami bersatu, aku tidak akan perlu bersembunyi lagi. Kupikir kami, yang begitu serupa satu sama lain, akan bisa saling menolong dengan saling mencintai.”
 
“Kau sebaiknya berhenti menyaring realitas sehingga cocok dengan plot yang kaurencanakan,” kata Julita.
 
“Jika kau terus melakukannya, kau hanya akan menipu diri sendiri.”
 
Aku mengistirahatkan kepala di pangkuannya. Dia membelah dan mengelus rambutku.
 
“Selama ini aku senantiasa mengawasi diri sendiri, memonitor tiap gerak-gerikku dan menilainya. Aku hidup begitu terpencil dalam kulitku sendiri, tubuhku berjalan dari panggung ke panggung teater pinggir jalan tanpa kerumunan. Aku merasa tanganku senantiasa menggapai, tanpa pernah menyentuh seorang pun. Aku hanya tahu berpura-pura dan bersembunyi.”
 
“Mungkin ini saatnya kau menunjukkan dirimu kepada dunia, betapapun penuh perban, seperti yang kulakukan,” kata Nova.“Itu satu-satunya cara untuk menemukan seseorang yang benar-benar mencintaimu.”
 
“Aku khawatir jika ia, mereka, tahu diriku seluruhnya seperti apa, mereka takkan menyukaiku lagi.”
 
“Jika kau terus berpura-pura, itu adalah pengkhianatan dua arah, kau mengkhianati diri sendiri dan mengkhianati mereka,” kata Julita.
 
Aku memeriksa bayanganku di arus air jernih dan melihat banyak mata menatap balik kepadaku. Mungkin orang yang pergi di awal cerita ini sebenarnya tidak meninggalkanku dan aku tidak ingin mati. Mungkin aku yang meninggalkannya karena ingin bercinta dengan lelaki tampan dari seluruh dunia.
 
Apakah hal itu membuatmu marah?
 
Tak perlu.
 
Tak satu pun dari kisah-kisah itu nyata.
 
Yah, ada yang nyata dan ada yang lebih nyata daripada yang lain. Mungkin kisah-kisah itu nyata untuk orang lain, semesta lain, irisan lain yang hidup dalam diriku. Mungkin kisah itu nyata andai saja aku tidak lupa membawa baju renang hijau ke Prancis, dan karena itu segalanya akan
jadi berbeda.
 
Mungkin menurutmu aku semestinya menguatkan hati dan menjauh dari godaan. Tetapi, mungkin itulah makna sebenarnya ingin mati, menolak apa pun yang ditawarkan dunia ini, berpaling dari orang-orang elok yang mungkin jadi kekasihmu dan kota-kota permai yang mungkin jadi rumahmu.
 
Mungkin selama ini aku hanya mengira aku mencari kematian, padahal sebenarnya aku menjalani  kehidupan yang sangat indah…. Dan, astaga, sungguh sebuah kehidupan yang kujalani!
 
Mungkin semua ini ada maknanya. (f)
 
 
***
 
Eliza Vitri Handayani

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/

 


Topic

#fiksi, #cerpen

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?