Fiction
Cerpen: Pada Jarak yang Memisahkan Kami

6 May 2017

Kau bertanya padaku bagaimana rasanya berpisah dengan orang yang dicintai untuk jangka waktu yang lama dan berjarak 14.000 kilometer darinya? Begini ternyata rasanya. Aku akan ceritakan padamu. Begini ternyata rasanya. Ada lubang kecil, seperti peluru menembus dadaku, dan membuatku tertahan lama di atas kasur, hanya untuk menyadari betapa aku segera tersadar ia tengah dibawa pergi pesawat melintasi benua dan samudra. Bahkan sebelum aku mengingat yang lain-lain, semisal hari ini ada janji dengan siapa, ingin sarapan apa, mendadak desingan pesawat membuyarkan lelapku, lalu menggantinya dengan rasa ngilu di sekitaran lubang kecil.

Kau bertanya bagaimana rasanya melepas orang ke luar negeri, yang nun jauh di sana, bahkan setelah Air Asia QZ8501 jatuh dengan rute penerbangan yang tidak sampai memakan waktu lima jam. Aku hanya memberi tahunya, kalau ia naik Emirates, ia tak usah khawatir. Maskapai tersebut memiliki rekam jejak yang bagus soal keamanan dan keselamatan penumpang. Ia bilang, ia naik Garuda. Pesanku, “Jangan lewat Ukraina, ya. Bahaya.”

Sejujurnya, di otakku justru merekonstruksi kengerian yang ditimbulkan oleh pembunuhan aktivis di atas awan. Saat itu, Munir terbang hendak melanjutkan belajarnya ke Leiden. Dan ia tak pernah benar-benar menapakkan kaki ke kebun penuh tulip di Leiden.

Kau bertanya padaku, apakah ada drama bandara yang berhasil kami ciptakan? Apakah akan ada adegan semacam dalam film Ada Apa dengan Cinta? Kau membayangkan aku berlari menembus lorong menuju boarding room lalu memanggil-manggil namanya, lalu kami berpelukan erat dan aku menangis sesenggukan di bahunya? Seolah, tak satu pun kisah bandara dan keberangkatan ke luar negeri dan perpisahan antar muda-mudi yang tidak disangkutpautkan dengan Rangga, Cinta, dan purnama.
 
***
 
Ia pergi ke Belanda. Termasuk dari sekian banyak orang yang beruntung mendapat keuntungan dari investasi jangka panjang dana pendidikan nasional. Itu artinya, ia masuk dalam hitung-hitungan bonus demografi yang berkualitas yang tengah dipersiapkan bangsa ini. Begitulah. Aku tak sedang bermaksud membahas program pemerintah. Hanya saja, ini bukan perkara yang patut didramatisasi.
Ia hanya meneruskan sekolah. Bukan banting tulang seperti para TKI yang mengorbankan pertumbuhan anak-anaknya demi mengepulkan asap dapur. Ia lajang. Lajang yang tak mudah ditebak.
***
Kami bertemu pertama kali tepat di hari ulang tahun ibuku, dua tahun yang lalu. Aku hadir dalam seminar dan ia duduk sederet dengan pembicara yang lain. Tampak garang. Berapi-api. Pertanyaanku sempat membuatnya naik pitam.
“Kau ini mahasiswa. Advokasilah dirimu sendiri!” semprotnya.
Aku bisa merasakan seluruh bulir mata di ruang seminar menatapku.
Tak ada dari kami berdua yang menyangka bahwa kami akhirnya saling jatuh cinta dan memiliki hubungan yang absurd. Di usiaku yang berjarak tujuh tahun lebih muda darinya, aku benar-benar tak habis pikir mengapa ia bisa jatuh cinta padaku.
“Hidupku hanya dua tahun di  tiap kota.”
“Jadi setelah ini kau bakal keluar dari Yogya?”
“Ya.”
“Ke mana?”
“Aku enggak tahu. Mungkin balik ke Eropa, mungkin balik ke kampung.”
Ia tampak meyakini siklus hidupnya yang tak akan bertahan lama di satu tempat. Padahal, ia mencintai Yogya. Padahal, ia masih memiliki keinginan hidup seperti orang pada umumnya. Mempunyai istri, menjadi seorang bapak yang baik, tinggal menetap di suatu kota.
Dicintai olehnya adalah sebentuk kemewahan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mewah bukan berarti awet bahagia. Kadang-kadang kami ngobrol ngalor-ngidul, kadang pula kami cekcok. Makin lama, aku  makin sadar bahwa cepat atau lambat ia akan pergi. Dan sejak itulah aku mulai menabung kesiapan untuk ditinggalkan.

“September, aku berangkat ke Amsterdam,” kabarnya, suatu ketika.
Tak lama berselang, ia berubah pikiran.
“Agustus tahun depan, aku berangkat ke California,” kabarnya, suatu ketika.
Aku sempat bersorak. Artinya ia  makin lama di sini. Artinya harapan untuk terus bersamanya melambung tinggi.
“Desember, aku berangkat ke Den Haag.” Ia mengabarkan pilihan terbarunya.
Aku terbelalak. Bagaimana bisa seorang lelaki tampak begitu mudah lompat dari tiga kampus di dua benua seperti oper angkot antarterminal?
“Kau sudah bosan dengan Yogya?” tanyaku hati-hati.
“Aku butuh uang.”

Aku menghela napas. Selebihnya, di sela-sela hubungan yang naik turun, aku hanya menanyakan: Apakah mahal tiket ke Belanda? Berapa uang sakumu di sana? Apa kamu akan mengenakan syal? Apakah kau mau mengirimiku kartupos? Apakah semua kamar mandi di Eropa memakai pancuran? Apa semua toilet di sana memakai WC duduk? Apakah selalu ada penghangat ruangan? Apakah di Eropa ada micin? Apakah kau berniat beli sepeda onthel di sana?
“Apa kau akan menemui mantan pacarmu yang ada di gantungan kuncimu itu?” tanyaku, menunjuk benda kecil yang selalu ia bawa-bawa karena mengikat kunci kamar dan kunci motornya. Artinya, ia selalu bawa-bawa fotonya dengan seorang bule cantik. Aku sedang menontonnya menata isi koper. Koper yang sangat besar. Koper yang biasa dibawa-bawa jemaah haji dan biasa dipenuhi oleh beras dan Indomie.
Enggak. Ia udah enggak ada di Eropa,” jawabnya ringkas sambil menarik ritsleting koper. Aku sempat melihat kertas warna-warni dan sebundel spidol. Apa, sih, benda-benda yang menurutnya penting dan penuh kenangan itu?

Aku bersorak dalam hati. Kurasa, bule cantik itu adalah bule Kolombia yang pernah ia ceritakan dulu.
“Menurutku, tidak enak sekali berangkat di pertengahan Desember. Pertama, cuaca pasti sangat ekstrem. Salju di mana-mana, dan sungai-sungai beku. Kedua, libur Natal dan tahun baru. Semua orang diliputi kehangatan. Berkumpul bersama keluarga dan kerabat. Kampus pun libur. Kau bisa mati kesepian di sana.”
“Aku berangkat Januari.”
Aku melongo. Dan kemudian tertawa kering. “Selalu, ya.”
Keributan terjadi kembali. “Hei, aku memakai kacamata lulusan S-1 dan heran melihat orang S-3 bisa sangat mudah ganti-ganti jadwal akademis, apa pandangan seperti ini menyinggungmu? Yang benar saja!”
Jadi, Januari pun tiba. Aku tidak bertanya padanya kapan tanggal keberangkatannya. Jauh-jauh hari aku terus melafalkan kalimat bahwa Belanda itu sedekat Bali. Belanda itu Bali. Pindah antarbenua sama dengan pindah antarpulau di tahun 2016. Sugesti itu cukup berhasil. Aku menjadi lebih relaks.
Hingga dua hari menjelang keberangkatannya. “Kau mau kuantar ke bandara?” tanyaku.
Enggak.”
Lihat! Ia tidak membutuhkan drama. Ia tidak membutuhkanku.
“Oh, aku tahu fungsimu sekarang. Tolong antarkan buku-buku ini ke rumah Bang Johan, aku titip ini saja,” ujarnya sambil mengangsurkan sekardus dokumen.
 
***
Saling mencintai benar-benar tidak sederhana, kau percaya? Ditambah bahwa terakhir kali kami bertengkar, ia menyatakan bahwa ia tak mencintaiku. Betapa melelahkan harus mengidentifikasi, mana ucapannya yang benar-benar akurat dan mana yang benar-benar asal bunyi. Ia membungkus perasaannya dengan sangat menyebalkan. Hingga hari perpisahan itu tiba, tabungan mentalku tiada berguna.
Betapa pun perpisahan baik adanya, sama baiknya dengan perjumpaan, tidak ada satu orang pun yang siap menghadapi perpisahan. Sampai di sini, kau mengharapkan akhir cerita yang seperti apa?
 
***
A.A. Navis menulis cerpen yang rinci sekali mengenai orang-orang dari luar negeri. Ia sangat menyukai cerpen ini. Baginya, Navis berhasil menulis dengan sangat lugas bagaimana tipe-tipe orang yang selesai mengenyam pendidikan dari luar negeri lalu pulang ke kampung halaman. Menurutku, cerpen itu tak akan usang, karena masih bertebaran orang-orang yang seperti digambarkan Navis dalam cerpennya. Perlente, keminggris, penggerutu dan keminter. Hanya saja, cerpen itu bersetting puluhan tahun silam. Luar negeri terasa berkali-kali lipat jauhnya. Orang dari luar negeri masihlah langka saat itu.
Dan kini, film AADC masih menunjukkan bahwa luar negeri masihlah jauh. Mengharukan. Luar negeri membikin drama laris manis bak kacang goreng. Tapi laki-laki ini tak pernah sama dengan tokoh-tokoh yang diciptakan Navis. Ia tidak peka harga di mal, tidak bisa tidak membeli barang bermerek, gemar mengkritik, dan masih bisa tak peduli pada penampilan dan dapat tidur beralaskan tanah.
 
***
Yogya hari itu terkungkung hujan lebat. Aku terkungkung dinding kamar. Kamarku morat-marit. Perasaanku lebih dari sekadar morat-marit. Aku tidak bisa memutuskan apakah harus menyusulnya ke bandara kala sore hari di tengah cuaca yang sama sekali tidak mendukung.
Ia berpamitan di WhatsApp. Meminta maaf. Dan aku benci mengapa ia harus meminta maaf setelah kami saling mengenal baik dan setelah segala insiden yang berangsur-angsur membaik sesuai kadar emosi kami.

Aku pikir, dengan menuruti kemauannya, untuk tidak berusaha menciptakan drama bandara, maka kami akan baik-baik saja. Berteman seperti biasa. Tidak ada beda antara Den Haag dan Yogya. Kami masih bisa chatting, berkirim e-mail dan mengirim banyak emoticon favorit di WhatsApp.
“Kau punya Line, ‘kan? Line dilengkapi dengan video call seperti Skype. BBM juga bisa buat telepon. Fitur ini katanya akan ada di WhatsApp juga, tapi entah kapan,” ujarku, di malam yang rintik, di acara makan malam terakhir bersamanya dua hari sebelum keberangkatan.

Aku pikir, dengan menggunakan kacamatanya, aku telah melepas ego. Aku tidak akan terisak-isak di bandara. Aku hanya akan menanggung isakan di kamar dengan lusinan lembar tisu. Aku pikir… ia tidak menginginkanku di bandara.
Lalu ia pun berangkat. WhatsApp-ku berdenting. Kita lihat nanti masa depan akan berbuat apa. :*
Tanpa purnama, matahari, bintang dan penanda langit yang lainnya, aku tersenyum dengan mata sembap.
 
***
 
Menurut Google, Jakarta-Amsterdam 17 jam perjalanan. Namun, maskapai nasional punya penawaran istimewa. Tanpa transit di Dubai dan hanya membutuhkan waktu 14 jam. Hmm, Belanda tidak jauh-jauh amat. Kuatur jam di ponsel pintar menjadi dua bagian, waktu Jakarta dan waktu Amsterdam. Kucek pesanku di WhatsApp dan mendapati ia online sebentar. Ia menyapa teman-teman yang ada di grup—kami tergabung dalam beberapa forum obrolan yang sama di dunia maya. Aku bahagia sekali. Artinya ia selamat sampai tujuan.

Ia pun membaca pesan hangatku di WhatsApp. Dua centang warna biru, itu artinya pesan sampai dan dibaca. Ia tak membalas.
Aku menatap layar ponsel yang menunjukkan status bahwa ia sedang online beberapa detik lamanya. Aku tahu, layar tak akan mampu menyalurkan kerinduanku. Layar belum mampu mengidentifikasi tatapan kerinduan. Layar juga belum mampu mengidentifikasi bahwa perempuan yang tengah menatapnya cukup norak. Belum 24 jam ditinggalkan sudah menangis lagi. Aku hanya menatap layar dan tak menyentuhnya. Berharap ia membalas dan mengabarkan bahwa ia baik-baik saja di sana. Tapi ia tak membalas. Mungkin sibuk. Mungkin pula enggan.

Demikian, kau merasa cukup banyak mendapat informasi yang berguna?
Apa? Kau merasa tidak puas membaca kisah ini? Ayolah, tonton saja drama Korea. Kau tidak bisa mengharap lebih dari ini padaku. Aku hanya bisa bilang, kukatakan padamu ya, inilah jarak yang sesungguhnya terjadi. (f)


***
 
Amanatia Junda
Finalis Sayembara Cerpen Femina 2016

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:

http://www.femina.co.id/fiction/
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?