Fiction
Cerpen: Otobiografi Pohon

6 Jan 2018


Sayangnya adik-adikku belum sekolah dan aku baru kelas empat SD. Aku sudah tahu tanda-tanda alam, seperti pergantian musim kemarau menuju hujan, yang artinya membuat air dan pohon bersinergi membangun kebersamaan mereka. Kalau itu terjadi, alangkah bahagia aku dan adik-adik dan ibuku. Kami berputar di alam dan merasa kami kumpulan pepohonan yang tumbuh kuat dan tegar dari jutaan tetes air kiriman Tuhan yang duduk santai di langit. Tuhan tidak bersalah karena Dia
pencipta keindahan.

Pelangi di mata Ibu tercipta setelah ia mengguyuri kami dengan cinta; aku tidak tahu makna tangisan itu, tapi kukira itu
cinta, karena ketika kutanya, “Kok, Ibu menangis?” Ibuku pasti menjawab, “Ibu cinta kalian.” Ia memandang kami --aku dan adik-adikku-- dengan tatapan seakan inilah akhir dari derita selama setahun kemarau berlangsung.

Kami patut bersyukur. Cara Ibu merayakannya cukup sederhana: mengajakku dan adik-adik makan di rumah makan cepat saji. Di situ aku pesan burger. Mudakir suka ayam goreng yang dibaluri tepung. Tapi Sarmila, yang gendut dan lumayan tolol, minta burger dan ayam goreng. Ibu tidak melarang apa kemauan kami, selama kami sanggup menelan semua biar tidak dibuang. Membuang makanan adalah perbuatan setan.

Tapi, Mudakir tidak suka Sarmila seenaknya makan ini-itu, sementara kami baru lepas dari derita setahun penuh. Katanya,
Sarmila harus menjaga kelakuan. Kamu juga harus menjaga kelakuan, kata Sarmila. Mereka bertengkar dan lemparlemparan gelas sampai seisi rumah makan melihati kami. Aku jadi malu. Untung angin yang tolol di musim hujan mampir dan bergelayut di dahan-dahan sehingga sisa air yang genang di beberapa ceruk pada batang ikut terseret.

Ibu bilang, “Sudah, jangan berantem. Kalau tidak habis, nanti mubazir, Nak.” Seorang yang juga pergi bersama kami, yang kutahu bukan ayahku, yang pernah jadi teman ibuku pada zaman dahulu kala --aku tahu dari foto yang disembunyikan Ibu di lemari-- bilang, “Santai saja. Habis, kok.”

Sarmila pun mendapat kesenangan. Sebagai ganti, karena dapat seporsi makanan, Mudakir boleh beli mainan nanti kalau
kami pulang.
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?