Fiction
Cerpen: Otobiografi Pohon

6 Jan 2018


Jangan salah, di kota kami tidak ada pembagian musim sebagaimana di kota-kota lain di seluruh dunia. Itu yang kubaca dari buku dan aku tak berminat seandainya orang mengajakku ke sana, ke tempat dengan musim yang berubah-ubah.
Di kotaku, musimnya satu sepanjang tahun, yakni setahun ini musim hujan, setahun berikutnya musim kemarau.
Memang aneh, tapi itu kenyataan.

Kata Ibu, musim di kota kami bukan pengaruh apa-apa, melainkan karena ulah kami. Ini bukan salah Tuhan. Dia tidak bersalah karena Tuhan tidak punya urusan selain menghukum dan memberi hadiah bagi para makhluk. Ibu juga tidak menyalahkan kami, anak-anaknya, tetapi ‘kami’ yang ia maksud, ‘kami’ yang salah adalah manusia dewasa penghuni dunia yang kami pahami sebagai keluarga. Begitulah.

Bila kemarau tiba, pepohonan cuma bisa bicara atau bergumam dengan hanya satu cara: merontokkan beberapa ranting dan daun. Ini terjadi karena langit begitu panas dan angin yang suka berbuat semaunya tidak sejuk, melainkan panas sebagaimana uap dari oven yang menyala. Angin berubah setan bila musim kemarau dan sepanjang tahun aku hanya bisa berdoa semoga pohon-pohon tidak mati.

Aku suka pohon, seperti juga ibuku, yang rutin menyiram bunga-bunganya di teras depan. Ibu punya beberapa jenis bunga hias yang tidak kutahu nama-namanya. Kalau bukan karena sibuk dan ayahku yang sangat kejam, barangkali Ibu rela mengabdi tiap hari pada pohon dan bunga di seluruh kota kami.

Sayangnya, Ayah tidak suka pohon dan bila musim kemarau tiba, aku tidak berani melihat matanya. Aku juga tidak berani melihat pukulan Ayah pada Ibu yang membuat bekas kebiruan di pipi dan terkadang punggung. Ibu bilang, “Nak, kalau sudah gede, jadi anak pintar, ya.”

Aku mengangguk. Adik-adikku juga mengangguk. Aku punya dua adik. Mudakir dan Sarmila namanya. Namaku? Mau tahu? Jangan. Khusus namaku, rahasia. Aku dan adik-adik mematuhi, menyayangi, dan mengasihani Ibu tanpa berbuat apa-apa. Kami cuma menggelosor di kolong tempat tidur ketika Ayah mengisap tenaga Ibu sebagaimana angin kering kemarau menguapkan air di segala sumber.

Adik-adik sepertiku, juga suka pepohonan. Mereka tahu pohon-pohon di sini tetap tumbuh meski musim kemarau setahun penuh. Tidak peduli ranting dan dedaunan rontok, tak peduli angin terus menampar seluruh tubuh mereka semaunya dan makin menabung koin caci-maki dari luar kota, dari pencinta lingkungan hijau yang membenci angin karena suka membunuh.
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?