Foto: 123RF
Jangan sebut angin, karena ia tidak tahu urusan. Di kota ini, pepohonan bergerak atas kehendak pohon itu sendiri. Memang
benar, angin mampir ke pucuk daun, tapi ia sekadar bergelayut sebelum pergi. Asal kau tahu, angin sangat tolol. Kerjaannya
main ke sana kemari dan kalau salah jalan, jadi kambing hitam.
Teman Ibu mengajariku berbagai nama angin yang aneh. Namanya sulit disebut, karena saking bagusnya, tapi nasib angin tidak lebih baik dari toilet. Angin tidak cuma dibenci, tetapi juga dikutuk karena membunuh banyak nyawa. Semua mati oleh angin. Aku rasa, ia pantas dibenci. Dan teman Ibu itulah angin, meski bukan hanya dia angin di kehidupan kami.
Perlu kau tahu, pohon tidak suka disangkut-pautkan dengan apa pun, termasuk angin, kecuali air. Air pengasuh. Kalau ia berwujud, bentuknya persis ibuku. Hidung bangir, rambut panjang, wajah tirus, tubuh jangkung, dan bola mata sebening pelangi.
Seberapa sering kau lihat pelangi? Aku tiap hari. Pelangi selalu ada di rumah dan kami tidak bosan karena asal-muasalnya. Di mata Ibulah pabrik pelangi berdiri. Tapi, kau tak bisa melihat beberapa puluh atau beberapa ratus pelangi sekaligus di sana. Masa di mata ibumu ada pabrik pelangi? Teman-temanku tidak percaya.
Berani sumpah, kataku, di mata Ibu ada pabrik pelangi. Tidak semua tahu. Adakah semua memahami pelangi muncul sekali
dan berjumlah satu pada suatu sore sehabis hujan? Lalu, ia muncul lagi esok sorenya, juga satu, sehabis hujan. Di rumahku,
hal ini lumrah, sebab di mata ibuku ada pabrik pelangi.
Mungkin karena itu, pohon-pohon lebih mencintai air, karena selain ia baik, juga menghadirkan pemandangan indah tiap sore. Taburan gerimis dari langit membuat pelangi ada dan tiap hari di rumah kami, para pohon, ada pelangi yang indah—
kecuali di musim kemarau, tentu saja.
Topic
#FiksiFemina