KALI INI Anumbar tidak ingin bermain kejar-kejaran dengan Komala, putri tunggalnya. Dia biarkan saja bocah berumur tiga tahun itu sibuk berlarian ke sana kemari mengejar kupu-kupu bersayap kuning. Kadang-kadang Komala terjerembap di atas rerumputan. Anumbar tidak membantu Komala bangun. Terkadang bocah berpipi putih montok kemerahan itu pura-pura ingin menangis, berusaha menarik perhatian ibunya. Namun, Anumbar terlalu sibuk dengan pikirannya.
Akhirnya kembali bocah malang itu bermain sendiri, bersama kupu-kupu kuningnya dan rerumputan yang terkadang membuat betis mungilnya terluka. Angin membawa renungan Anumbar makin jauh. Seharusnya udara sejuk pagi hari membuat dadanya lega. Tapi, Komala selalu saja membuat jantungnya terluka.
Anumbar tergeragap ketika sekuntum bunga manggis jatuh menimpa kakinya. Sudah empat hari belakangan, pokok manggis liar ini menjadi tempat dia bernaung sembari menjaga Komala. Mungkin lebih tepatnya melepas Komala bersuka-suka di padang liar ini. Lahan ini tak sengaja ditemukannya ketika mengajak Komala jalan-jalan. Bocah itu mulai rewel terkurung terus dalam unit mereka yang mungil.
Anumbar bisa saja mengajak Komala ke taman kompleks rusun. Supaya Komala memiliki teman, dan dia pun bisa lebih akrab dengan para tetangga yang bertemu di taman. Tapi, pada hari kedua kedatangannya, Anumbar langsung menarik niat baiknya itu. Saat beberapa tetangga unitnya dengan tatapan sarat tanda tanya, menerima bolu gulung antaran perkenalannya. Besoknya, ketika sapaannya kepada tetangga di depan kamarnya tidak disahuti, Anumbar menyimpulkan, dia tidak diterima di rusun ini.
Topic
#FiksiFemina