Fiction
Cerpen : Kembang Singkong

7 Sep 2018


Semuanya berawal saat Dayan masuk kuliah. Entah apa yang dilakukannya di kampus. Diskusi-diskusi, buku-buku yang bertebaran di kamar, dan akhirnya demonstrasi di jalanan. Ratmi masih menganggapnya wajar. Bahkan bagus. Demonstrasi menandai bahwa dia punya perhatian sosial. Tapi kemudian, Dayan tidak hanya demonstrasi di jalanan.
 
Dayan lebih keras demonstrasi di rumah. Awalnya karena teman-temannya mengadakan kegiatan amal dan kreativitas remaja, memasukkan proposal ke departemen yang dipimpin Ratmi. Setelah acara itu selesai, Dayan malah mendebatnya di rumah.
 
“Dayan baru tahu, ternyata dana kegiatan dari pemerintah dipotong 50%. Kenapa mesti dipotong, Mih? Buat siapa yang 50% lagi?” tanyanya keras. “Katanya, hampir semua proyek di departemen pemerintah ada potongan sampai 50%. Itu namanya korupsi, Mih! Negara dirugikan! Rakyat dirugikan! Pantas saja jembatan cepat ambruk, jalan cepat rusak, program pemberdayaan tidak sampai ke rakyat paling bawah.”
 
“Ah, baru jadi demonstran begitu saja sudah sok bersih!” balas Ratmi, tidak kalah keras. “Mamih ini dulu demonstrasi juga. Mamih menentang konglomerasi! Turun ke jalan!”
“Ya, Mih, memang seperti itu kenyataannya. Negara ini tidak bisa belajar dalam mengisi kemerdekaannya!” Dayan tetap mendebat. “Tahun 66 mahasiswa turun ke jalan, lalu sebagian demonstran jadi legislatif, jadi pejabat, akhirnya korupsi! Tahun 70-an juga begitu, para demonstran yang kemudian mengatur negara, malah korupsi! Mamih juga sebagai mantan demonstran tidak bisa berbuat apa-apa saat tiap proyek di departemen yang Mamih pimpin harus dipotong sampai 50%. Buat siapa yang 50% lagi? Atau Mamih sendiri kebagian?”
 
“Dayan!”
 
“Mamih kan pemimpinnya, masa tidak tahu apa-apa? Papih itu hanya dosen biasa saja, dosen yang idealis, tidak bisa berbisnis. Tapi, kita punya tanah seluas hampir dua puluh hektare di Kampung Cilembu, punya vila di Bogor, punya ternak ayam, kolam terapung di Jatiluhur, rumah makan, itu pasti dari Mamih! Apa bisa membeli semuanya dari gaji Mamih?”
 
“Kamu keterlaluan! Kamu makan, membeli buku-buku, pergi berlibur ke mana pun yang kamu mau, biaya kuliah, itu dari Mamih!”
 
“Iya, dari mana Mamih….”
 
Ratmi begitu saja menampar anaknya, sampai Dayan terjatuh. Sampai Dayan terdiam. “Pergi kamu! Berani-beraninya kamu menentang Mamih!” Ratmi masih ingat bagaimana tidak beraturannya napasnya waktu itu. Tidak ada rasa penyesalan di hatinya saat Dayan pergi membawa baju dan buku-bukunya. Sejak itu Ratmi tidak pernah melihat anak bungsunya itu. Kata Kang  Dira, Dayan kerja menjadi pengantar katering untuk menyelesaikan kuliahnya.
 


Topic

#fiksi, #ceritapendek

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?