Fiction
Cerpen: Kain Truntum Ibu

25 Mar 2017


 
Alma termenung, siang ini jasad ibunya tentu sudah dimakamkan. Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa sebagian hatinya telah ikut terkubur. Dan, di sebagian hati yang melompong itu, ia berusaha jejal-jejalkan kenangan manis bersama ibunya. Namun, yang muncul hanyalah rasa perih, pertengkaran-pertengkaran, adu argumentasi, dan tonjolan urat di kening.

Tak ada air mata yang mengalir, walau Alma ingin menangis sekeras-kerasnya. Dirinya serasa tak lagi menapak bumi. Ia seperti terempas ke bukit cadas kering.  Wanita yang dibencinya, sekaligus diam-diam dicintainya, telah pergi untuk selamanya. Wanita yang membuat dirinya lari ke belahan bumi ini bertahun-tahun silam.  

Minggu depan Alma baru akan pulang ke Jakarta.  Ia tak bisa begitu saja menutup galeri kecilnya di sini. Ada beberapa hal yang harus dikerjakannya, agar kegiatan di galeri berjalan seperti  biasa selama kepergiannya. Sesungguhnya ia tak ingin pulang. Ia merasa hampa karena hanya segunduk tanah merah yang menantinya di sana. Tetapi, kedua orang kakaknya telah beberapa kali menghubungi  untuk memastikan kepulangannya. Ketika kini akhirnya ia memutuskan untuk pulang, itu lebih karena paksaan Naomi, gadis Kaukasia yang selalu bersamanya beberapa bulan belakangan ini. Bahkan gadis itu bersedia menemaninya sampai ke tanah air.
 
JAKARTA TAMPAK BERBEDA dengan saat Alma tinggalkan dulu. Perubahan besar telah terjadi pada wajah kota ini. Mal besar dan gedung pencakar langitnya bertambah banyak. Jakarta memang pandai bersolek. Alma duduk berdampingan dengan Naomi di jok belakang taksi berwarna biru laut. Pendingin udaranya bersaing dengan udara di luar yang membakar. Makin mendekati rumahnya, jantung Alma  makin berdetak kencang. Namun, genggaman hangat tangan Naomi sedikit meringankan kegelisahannya.

Rumah besar itu ternyata masih sama seperti dalam kenangan Alma di  tiap malam gelisahnya. Pagar tinggi dengan tanaman Bougenville yang rimbun dan deretan palem Chrysalidocarpus di sepanjang jalan masuknya. Kursi-kursi bambu ukuran besar masih ada di teras depan. Kalaupun ada yang berbeda, kini rumah itu terlihat murung.

 Kedua   kakaknya,  Robin dan Jaka,  menyambut Alma dengan wajah lelah. Tak tampak sisa kesedihan di sana, yang terbaca lebih mirip lega daripada duka. Kelak baru Alma mengerti bahwa kehadirannya akan membuat proses pembagian warisan menjadi lebih cepat. Alma menyimpan kekecewaan di sudut hatinya bersama seonggok duka. Ternyata dirinya hanya bernilai sebatas coretan di atas kertas.
 
ALMA LEBIH BANYAK mengurung diri di dalam kamar. Di dalam kamar pun ia selalu membatu. Selimut duka telah kuncupkan jiwanya. Naomi setia di samping Alma tanpa pernah mau mengusiknya.

Percakapan di meja makan selalu seputar masalah warisan, dan itu tak membuat Alma nyaman. Jaka menganggap surat wasiat ibunya tak cukup adil. “Bagaimana dengan kau? Apa kau setuju saja dengan surat wasiat itu?”

Alma mengangkat wajahnya dengan pandangan muak dan diam beberapa jenak.  “Surat wasiat itu dibuat Ibu sebelum sakit. Lalu apa lagi?”
“Tapi ini tidak cukup adil! Kita tidak tahu apakah Ibu bebas dari pengaruh siapa pun saat membuat surat itu,” sahut Jaka tajam.

Robin termenung. “Bagaimana dengan keponakan dan sepupu Ibu yang juga mendapat bagian?  Kita tidak pernah kenal siapa mereka sebelumnya.”  Alma mengangkat bahunya dan tidak bicara apa-apa lagi. Ditinggalkannya meja makan secepat ia datang tadi. Naomi membuntutinya dalam diam. Gadis itu tak memahami isi pembicaraan dalam keluarga Alma. Tetapi, dari wajah-wajah tegang mereka, ia tahu telah terjadi perselisihan pendapat.
 
DI HARI KELIMANYA di Jakarta, Alma baru merasa kuat untuk masuk ke kamar mendiang ibunya. Naomi bersikeras ingin menemani, tetapi Alma lebih suka sendiri. Pintu kamar dari kayu jati itu didorong Alma dengan sedikit gemetar. Kesenyapan menyergapnya tiba-tiba. Ia seperti dilempar kembali ke masa-masa silam dalam kehidupannya. Tahun-tahun yang selalu dirindukannya di alam bawah sadarnya.

Perlahan Alma duduk di ranjang ibunya.  Ia diserbu perasaan yang tak dapat diurainya.  Jemarinya meraba lembut seprai di ranjang yang terpasang rapi, sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Lamat-lamat tercium sisa wangi parfum kesukaan ibunya. Kamar ini masih beraroma sama seperti terakhir ia tinggalkan beberapa tahun silam. Alma tercekat. Di meja rias, peralatan rias ibunya juga masih  tersusun rapi seakan-akan menunggu yang empunya kembali kelak.

Digerakkannya kakinya lambat-lambat ke arah almari jati tua di pojok kamar.  Almari yang selalu terkunci sejak dulu, walau anak kuncinya selalu saja tergantung di situ. Dibukanya almari dengan gerakan ragu. Ia tercenung sejenak. Deretan pakaian ibunya masih tergantung rapi dan wangi seperti dulu. Di dalam laci juga masih tersimpan kotak perhiasan. Dibuka dan ditutupnya kembali kotak itu perlahan tanpa mengusik isinya sama sekali.  
Baru saja Alma bermaksud menutup pintu lemari, ketika tiba-tiba matanya tertumbuk pada salah satu raknya yang berisi tumpukan  kain batik. Alma meraih selembar kain batik tulis milik ibunya dengan tangan gemetar. Motifnya truntum. Ia ingat ibunya suka sekali dengan motif bunga pada kain itu. Kemudian perlahan dibukanya lipatan batik itu dengan hati-hati sekali. Seketika menyeruak wangi khas batik tulis yang menggetarkan seluruh sel penciumannya.

“Truntum biasa dipakai oleh orang tua pengantin. Kelak Ibu akan memakai kain ini ketika engkau disunting pangeranmu.“  Seperti film yang diputar mundur ke belakang, terdengar suara ibunya bicara pada gadis cilik berponi. Almalah  si gadis kecil itu. Sayang, sampai akhir hayat, ibunya belum sempat memakai kain itu.

Alma mencium dan mendekap kain batik truntum itu dengan sepenuh perasaan. Ia merasa seperti sedang mencium pipi ibunya.  Air matanya perlahan menetes.  Air mata pertama yang mengalir sejak kabar kematian ibunya. Makin lama makin deras air matanya dan ia pun menangis tersedu-sedan, membasuh semua perih dan sesalnya.

“Kalau yang ini namanya batik Sidomukti, biasa dipakai oleh pengantin dengan harapan kehidupannya di kemudian hari akan penuh kemapanan,” terngiang suara ibunya menjelaskan. “Sidomukti inilah yang akan kau pakai saat di pelaminan nanti.”

Masih lekat dalam ingatan ketika ibunya membawanya ke kampung batik Laweyan. Bukan hanya mengenalkan proses pembuatan batik, ibunya juga bercerita mengenai filosofi batik dalam kehidupan manusia Jawa dari bayi sampai meninggal dunia. Zaman dahulu, karena begitu seriusnya para pembatik, sebelum mengerjakan selembar batik biasanya pembuatnya akan berpuasa supaya tercipta karya yang terbebas dari nafsu duniawi. Kenangan-kenangan lama hilir mudik dalam benak Alma. Wanita-wanita yang menggambar kain mori dengan canting, dan bau lilin malam yang cokelat pekat itu seperti baru kemarin saja.

Alma masih ingat betul ketika ibunya merawat kain-kain batiknya dengan larutan lerak, sambil bercerita dari mana tiap lembar kain itu didapat, dan bagaimana membedakan batik cetak, batik cap, dan batik tulis. Batik tulis ibunya kebanyakan didapat dari pemberian Eyang Putri, dan Ibu menjaganya dengan sepenuh jiwa. “Kelak batik-batik ini semua akan menjadi milikmu, Cah Ayu,” janji ibunya, sambil tersenyum.

Namun, ibunya tetaplah manusia biasa dengan kelemahannya.  Emosi kerap mengombang-ambingkan hatinya. Lebih mudah membuat ibunya kecewa daripada membahagiakannya. Menjalani kehidupan sebagai janda yang harus mengelola perusahaan peninggalan mendiang suami, tidaklah mudah. Kurangnya penghargaan dari kerabat ayahnya acap kali membuat ibunya sedih dan tak dapat mengendalikan emosi. Wanita itu sering kali menenggelamkan diri dalam kekecewaannya. Ia menjadi sosok yang emosional, juga otoriter. Pemaksaan kehendak atas jalan hidup anak-anaknya menjadi hal yang lumrah di masa itu.

Perjodohan dan pendidikan Robin dan Jaka diatur oleh sang ibu. Keduanya tak biasa memberontak dan lebih banyak mencari aman. Tidak bagi Alma, makin hari ibunya  makin membuatnya lelah. Alma terperangkap dalam kebingungan-kebingungan. Ia merasa sendiri. Sampai suatu ketika ia merasa harus berbuat sesuatu. Alma tak bisa mengorbankan cita-citanya hanya untuk memenuhi harapan ibunya. Ia ingin merencanakan sendiri masa depannya.

Gadis belia itu menolak mentah-mentah semua rencana ibunya untuk memasukkannya ke sebuah sekolah bisnis ternama, termasuk menolak calon suami yang disodorkan ibunya. Bentuk pemberontakan yang belum pernah dilakukannya. Tentu saja keputusan Alma membuat ibunya mencak-mencak.

Alma pergi menjemput impiannya dengan gagah berani. Ia berangkat ke Amerika dan belajar seni di sebuah universitas terkenal di sana. Rupanya, usaha ibunya memperkenalkan batik sejak Alma anak-anak, berdampak pada perkembangan minatnya. Di beberapa semester terakhir ia bekerja paruh waktu untuk membiayai sekolahnya. Tak tergantung secara finansial lagi membuat Alma bebas menentukan arah hidupnya. Lama-kelamaan hubungan komunikasi antara Alma dan ibunya entah bagaimana benar-benar terputus sama sekali, apalagi setelah ibunya terserang stroke. Tahun-tahun panjang dan sepi dalam kehidupannya di sana tak membuat Alma kerap menghubungi tanah air, karena ibunya sudah sulit diajak berkomunikasi. Robin hanya menghubunginya dua kali, saat ibunya sakit keras dan saat ibunya meninggal dunia.

Setelah lulus sekolah Alma pindah ke London, kemudian membuka galeri kecil di sana. Alma mendedikasikan diri pada pekerjaannya dan memutuskan tidak akan menikah. Di sanalah ia bertemu dengan Naomi, yang berambut hitam bergelombang dan bermata setajam elang. Sejak saat itu semuanya terasa tak lagi sama.
 
Di HARI KEENAM Alma berziarah ke makam ibunya. Tak ada bunga tabur, tak ada air beraroma melati. Ia hanya membawa kain truntum ibunya di dalam tasnya. Sendirian saja ia melangkah ke areal pemakaman. Gundukan tanah merah bernisan itu ada di sana berdampingan dengan pusara ayahnya. Tampak damai di bawah naungan pohon kemboja. Alma bersimpuh di pusara sambil mengucap salam dengan lirih. Air matanya mengalir pelan-pelan dari sudut matanya. Terlampau banyak yang ingin disampaikannya pada ibunya. Sebelum senja datang sempurna, sayup-sayup terdengar Alma mengeja doa sambil memeluk erat kain batik truntum di dadanya. Barisan lisannya membubung naik ke langit. Warna jingga menghiasi langit, terdengar nyanyian angin yang mendesaukan nada-nada pilu lewat tarian daun-daun.
 
I don’t get it,ujar Naomi.
“Kau tidak perlu mengerti. Sudah kuselesaikan semua masalahku,” sahut Alma tenang.
Kening Naomi berkerut, wajahnya seperti menahan tangis. “Apakah ini berarti hubungan kita berakhir?”
Alma menatap mata Naomi dalam-dalam sambil mengangguk mantap. Naomi menjerit, “Kamu menyedihkan …!”
“Maafkan aku, ternyata ini bukan cinta. Baru aku sadar ini hanya caraku membalas dendam pada ibuku.” Alma tersenyum sedih. “Sudah selesai semuanya. Untuk apa kulanjutkan kemarahan yang meluap-luap untuk ibuku?”  Kali ini ia seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tampak kilat kemarahan bercampur putus asa di mata Naomi.

“Maafkan aku, Naomi. Terima kasih untuk segalanya. Aku tahu sejak awal ini adalah suatu kesalahan, tetapi aku tak pernah berani menghentikannya. Tidak sampai saat ini.” Alma diserbu rasa lega luar biasa. Hatinya seperti diguyur air, sesejuk saat ia bisikkan doa dalam rindu yang menyesakkan dada di pusara ibunya. Rasanya seperti menemukan oasis di tengah padang tandus.
 
LANGKAH ALMA terhenti oleh seruan kaget Jaka dan Robin yang baru saja tiba. “Kau berangkat hari ini? Kupikir baru bulan depan kau akan kembali ke London.”  Alma mengangguk mantap sambil tersenyum sekilas.
“Bagaimana dengan saham-saham bagianmu? Kau ingin kami mengurusnya untukmu?” tanya Robin kebingungan. “Semua ini belumlah berakhir.”
“Serahkan bagianku untuk rumah amal, aku cuma mau ini.” Alma menggeleng sambil  menunjuk tas berukuran sedang yang dijinjingnya.
“Maksudmu?”
Alma menjawab sambil menahan sesak di dadanya. “Kain-kain batik Ibu. Aku cuma mau kain-kain batik Ibu.”
Jaka tertawa parau bercampur bingung. “Simpanlah perhiasan-perhiasan Ibu juga kalau begitu.”
Alma menggeleng sambil melambai dan bergerak menjauh.
 
ALMA MENDEKAP kain truntum ibunya di dalam pesawat yang membawanya kembali ke London. Ia telah berdamai dengan dirinya sendiri. Seperti apa pun ibunya semasa hidup dulu, tetaplah ibu yang dicintainya sepenuh hati. Seperti kain truntum yang memiliki makna bahwa orang tua harus memberi tuntunan, ibunya juga memberi tuntunan dengan caranya sendiri. Ketidaksempurnaan ibunya adalah karena ia manusia biasa. Sama seperti batik tulis truntum dalam dekapannya yang dibuat dengan tangan sehingga motifnya tak sempurna. Namun, karena ketidaksempurnaan itulah batik tulis menjadi berharga, karena ada sentuhan manusiawi di sana. (f)

 
 Tantri Pranashinta

Finalis Sayembara Cerpen Femina 2016
 
 
***
 
 Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/  
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?