Fiction
Cerpen: Gelas Ketiga

11 Mar 2017



 
Dia bosku. Langkahnya ringan tenang memasuki ruang dengan busana sederhana dan tata rambut pendek simpel menampilkan sepasang daun telinga beranting permata merah delima. Seorang wanita mungil kuning langsat. Tulang pipinya tinggi dan bermata cokelat. Tercium segera aroma parfum moringa nan lembut di ruang kami yang lengang.  

“Si Mercy datang,” bisik Obid kepadaku, sambil memasukkan berkas-berkas ke dalam laci. Wanita itu tersenyum pada kami.  

Teman-teman menjuluki dia ‘Mercy’ karena kehadirannya tidak tertandai dengan tak-tok suara hak sepatu, langkahnya nyaris tak terdengar, tetapi tahu-tahu ia sudah ada dan mengunci mata untuk terus menatapnya, kecuali aku. Aku tak pernah menatapnya lebih dari tiga detik. Bukan karena aku buta terhadap wanita cantik, tetapi mata itu, aku memang tak sanggup menatapnya lebih lama karena takut dadaku pecah. Terus terang, mata itu mengingatkanku pada mata Rani.

“Ini data keluar-masuknya sudah saya cek dan tanda tangani,” ucapnya dengan intonasi yang baik.

“Aduh, Ibu repot-repot mengantarnya ke sini, mengapa tidak memanggil saya saja untuk mengambilnya,” Obid berkata entah mungkin demi kesopanan, tetapi ia menjawab tenang, “Tak apa, sekali-sekali,” kemudian pamit keluar ruang.

Obid bilang, belum ada satu semester ia di sini, menggantikan kakaknya yang pindah mengurus renovasi cottage di Lombok. Ketika aku menerima panggilan wawancara di sini empat minggu yang lalu, ayah dan kakaknya yang menerimaku, bahkan aku tak melihat dia waktu itu.

Baru ketika aku masuk seminggu kemudian, aku menemui dia sebagai bosku, yang kepadanya aku harus mempertanggungjawabkan pekerjaan. Mengurus interior dan lay-out yang bagi pengamatanku memang butuh penyegaran. Aku menyukai tempat ini sejak awal. Resort cukup mewah dilengkapi dengan butik dan kafe di Gianyar.

“Ambillah kopi kalau kau suntuk, Ke. Bos kita memang serius, tetapi dia bukan operasional robot, kok. Kulihat kamu tadi tegang sekali saat dia masuk ke sini,” Obid, tetangga meja itu, selalu berkomentar apa pun, termasuk hal-hal yang terlewat mata kami.

“Dia itu sebenarnya soliter dan pelamun.” Aku terperanjat mendengar kesimpulannya yang kuanggap gegabah.

“Aku kerap mengamati jika ia berjalan pada petak setapak menuju kantornya atau saat lunch di pantry lalu sebentar menyempatkan membuka-buka majalah wanita, majalah seni atau resep masakan. Atau ketika ia memeriksa taman, display butik dan suvenirnya disertai Lidya, si asisten yang sudah mengurangi tebal riasannya sejak ada dia. Hahaha….” Celoteh serampangan, tetapi aku suka mendengarnya.

“Dia jauh berubah kurasa. Dulu ia ceria dan suka bercanda. Sekarang lebih suka menyendiri dan jarang mengajak ngobrol seperti biasanya jika ia mampir ke sini bersama beberapa temannya.”

Aku sebagai pengurus art dan tata letak, belum pernah dipanggil secara khusus untuk mendiskusikan tugasku. Dia lebih sering memanggil dan bicara dengan bagian keuangan, tata rumah tangga, dan administrasi. Tetapi, selepas siang itu, ia memanggilku dan mentah semua yang disimpulkan Obid tentang dia.

“Ibu Naradita memanggil saya?”
Ia mengangguk dan menyilakan aku duduk.
“Nama Anda? Maaf, saya lupa.” Ia mengepal ringan dua tangan di atas meja, sedikit terpejam memeras ingatan.
“Kenaf,” jawabku lekas.
“Kenaf bukan knife, ya?”
Aku terkejut karena bagaimana mungkin ia bercanda sementara yang aku dengar dia pemurung dan pelamun. Tetapi kemudian aku tertawa ketika ia lebih dulu tertawa melihat keterkejutan dan gugupku. Lalu aku iseng ingin melanjutkan canda itu, ketika ia belum selesai dengan tawa kecilnya.

“Kenaf, tetapi terkadang bisa menjadi knife untuk memotong dan membuang yang tak perlu.”
“Contohnya?”
“Saya bermaksud menggunting dan menghilangkan gazebo yang ada di sebelah sana, jika Ibu setuju,” tunjukku ke arah utara.

Ia mengerut kening, belum lagi ia menyampaikan maksudnya memanggilku, aku sudah mendahului bicara.
Begitu menyadari keliruku, aku meminta maaf, tetapi ia justru kepingin melanjutkan apa yang aku ungkap, karena ternyata apa yang akan ia sampaikan tak jauh juga dari pokok bicaraku tadi. Ia ingin mengubah beberapa bagian ruang dan lay-out.

“Mengapa kamu mau menghilangkan?”
“Menghalangi pandangan,” kataku, sambil berusaha menghindari mata itu.  Bagaimanapun juga, aku tak gampang melupakan tatapan terakhir mata Rani.
“Jelaskan lebih detail,” pintanya tak sabar.

“Kita lihat teras-teras tiap kamar itu tertuju pada area persawahan, tetapi pandangan yang seharusnya luas itu harus terpotong gazebo. Memang asyik ketika nongkrong di gazebo sambil melihat hamparan padi, tetapi itu hanya bisa dinikmati beberapa tamu saja. Bagi yang hanya ingin duduk di teras, gazebo itu mengiris ruang, menyekat imajinasi menurut saya.”  Ia manggut-manggut.  

Jelang sore itu akhirnya kami berdiri di dekat gazebo, menghadap arah matahari tenggelam. Menimbang usulku dan meneliti detailnya dengan turun langsung ke lapangan. Tetapi, rupanya perbincangan kami harus disudahi karena ada yang perlu segera dikerjakannya usai menerima telepon entah dari siapa.

“Pak Kenaf, kita tunda dulu obrolan ini. Kita akan lanjut besok.” Aku mengangguk menyetujui. Lalu menjajari langkahnya sampai ke pintu ruangannya. 

Di antara semua karyawan di sini, aku selalu pulang paling akhir, termasuk sore ini. Hanya untuk duduk merasai keheningan dan memikirkan apa yang harus aku kerjakan untuk esok hari.  

Saat akhirnya aku memutuskan pulang, aku berpapasan dengan bosku yang juga baru keluar ruangan. Ia kaget melihatku.
“Baru pulang?”
“Saya biasa pulang lambat, kecuali buru-buru,” jawabku.
“Berarti sekarang tidak sedang buru-buru?” Aku menggeleng dan akhirnya batal pulang karena menerima tawarannya untuk ngopi di sudut kafe, melanjutkan obrolan soal gazebo yang belum selesai.
“Intinya aku setuju. Aku akan bicarakan ide itu kepada Papa. Tolong beri detail pelaksanaan dan segala yang dibutuhkan. Nanti kami akan sediakan waktu untukmu mempresentasikan.” Aku mengiyakan.

Hingga sore seperti itu terulang lagi pada besoknya, besoknya dan besoknya lagi. Tahu-tahu kami sudah membelok mengobrolkan hal di luar rencara penataan interior dan eksterior yang rasanya makin melebar. Ia yang memulai menceritakan perihal keberadaannya di tempat itu.  

Pada situasi seperti itu, aku justru sulit melepas bayangan Rani. Bagaimana ia menatapku terakhir kali sebelum akhirnya pergi karena kalah dalam pertempuran dengan maut. Memang benar akhirnya keluarganya menuntut karena dokter salah mendiagnosis yang berbuntut salah memberikan obat, tetapi kemenangan tuntutan itu tak bisa mengembalikan kekasihku.

Entah sejak kapan persisnya, aku dan dia nyatanya sudah mempersempit formalitas baik dalam bahasa bibir maupun bahasa tubuh. Ia lebih santai dan aku juga. Bahkan ia memintaku untuk menyebut namanya saja tanpa didahului kata ‘Bu’, jika sedang ngobrol di luar jam kerja.

Aku cukup kaget betapa ringan ia mengungkap kepedihan yang mendesak-desak untuk ditumpahkan.
Masing-masing orang memiliki jalan dengan keterjalan yang berbeda, menggenggam kesedihan yang berbeda, pun aku dan dia.

  “Bagaimana mungkin tubuhmu yang kecil itu kuat menahan beban duka yang melampaui logikaku, Dita? Bagaimana hatimu yang kecil dan tak terlihat itu telah menyimpan kesedihan yang begitu menumpuk?”
Tetapi, dengan tenang dan senyum tulus ia menjawab, “Sama tak percayanya ketika kamu bercerita bahwa kakimu ternyata telah menjejakkan di banyak tanah. Tetapi mengapa sangsi? Toh, kenyataannya mata kita yang kecil ini juga telah melihat banyak sekali kejadian. Keindahan, kecantikan, keburukan dan banyak lagi. Otak kita juga sanggup mengingat banyak nama, banyak peristiwa….” Suaranya mulai terkikis oleh pisau kesedihan yang telah membawanya tinggal di sini.

Dan malam ini, aku masih duduk di hadapannya mendengar ia berkata-kata. Sudah dua gelas wine ia habiskan untuk mengurangi gugupnya atau gejolak hatinya. Tetapi, pada gelas ketiga, air matanya meluncur turun melintasi pipi lalu dagu, dan jatuh di pangkuan.

“Jadi itulah mengapa Papa mengirimku ke sini. Pikiranku harus disibukkan supaya tak terlalu lama aku meratapi peristiwa itu. Pengakuan Juan yang jatuh cinta kepada Mama bukan hanya melukai hatiku, tetapi juga hati Papa dan seluruh keluarga kami. Pengakuannya di selembar kertas bahwa ia yang meracun Mama, lalu ia sendiri minum racun setelah Mama sekarat, membuat kami semua terpukul. Mama pernah memintaku agar aku memutuskan cintanya, tetapi aku tak mau. Mama tahu ia akan menghancurkan keluarga kami, tetapi aku tak percaya.”

            “Apakah mamamu juga mencintai laki-laki itu?”
            “Justru karena Mama menolaknya dan bersikap tak lebih dari kasih sayang seorang calon mertua kepada calon menantu itu, ia harus meninggal karena racun.”

            Setengah gelas wine ketiga itu, ia tak sanggup membendung tumpah segala air mata yang selama ini membuat wajahnya mendung. Malam sudah  makin larut dan suara-suara serangga menyempurnakan heningnya. Aku membiarkan ketika Naradita menandaskan wine gelas ketiga. Tak apa jika itu bisa membuatnya istirahat sejenak dari jalan sengsara hatinya.

Saat ia sudah duduk lunglai di kursi dan menyandarkan kepala di dinding, aku hanya perlu menjaganya. Mataku terus menatapnya. Ia menjadi seperti peti kuno yang menyimpan banyak benda bersejarah. Begitu sunyi, dingin, dan penuh misteri.

Saat ia hendak meraih botol wine lagi untuk mengisi keempat kalinya, aku menahannya. Ia tampak kecewa. Ia sudah setengah mabuk.
“Mari kuantar pulang, saatnya kamu beristirahat,” kataku, setengah memaksa.
Ia tak menolak, menyambut tanganku yang terulur dan melangkah goyah.
“Cinta akan membunuhku,” ucapnya, setengah putus asa.
“Ia akan menghidupkanmu kembali, Dita, percayalah! Aku akan memberi pembuktian,” kataku kemudian, mengecup keningnya yang dingin, lalu memapah tubuhnya menuju mobil yang diparkir di sana.

Akan kuantar ia pulang. Dan kubuat ia menjadi kunang-kunang. Besok pasti ia akan tercengang saat mendapati dirinya bercahaya, berkelip seperti bintang. (f)

***

Indah Darmastuti


Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#FiksiFemina

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?