Fiction
Cerpen: Dia Masih Bisa Tergelak

19 Mar 2017


 
TIDAK sampai sebulan setelah persalinan, Nurmala mulai membantu pekerjaan Munah, istri tuan rumah tempat dia menumpang, yang merupakan kerabat jauh ayahnya. Sekalipun tubuhnya masih pegal-pegal, dia bangkit pagi-pagi sekali, menanak nasi dan menjerang air, menyeduh kopi buat Basyah, suami Munah, yang setelah sarapan mengeluarkan becak mesinnya, mengantarkan dua anak lelakinya ke sekolah dasar,  lalu menarik penumpang hingga petang, bahkan malam. Hanya waktu makan siang lelaki itu pulang sebentar.

Sebelum matahari terbit Munah sudah pergi ke dua rumah orang kaya yang bekerja di kantor pemerintah, mengupah cucian. Di Lamlhok, pekerjaan yang paling mudah bagi wanita adalah membantu pekerjaan rumah tangga orang, sebab jasa penatu belum begitu terkenal dan hanya terdapat beberapa buah saja yang letaknya di pusat kota. Nurmala belum cukup kuat untuk bekerja, selain mengurusi dapur dan menyapu pekarangan rumah tempatnya menumpang, sebagai balas jasa yang bisa dilakukannya.

Tiap bayinya menangis, dia menyumpalkan susunya karena bayi merah itu belum bisa makan. Ketika sinar matahari terbit, dia memandikannya, menaburi bedak, membebatnya dengan popok yang semula dilakukan begitu canggung. Lama-lama dia terbiasa, setelah bidan yang membantu persalinannya mengajarinya cara yang benar.

Di sela-sela kesibukan mengurus rumah dan bayinya, dia rajin mengoleskan bio krim ke permukaan kulit wajahnya yang terkena siraman air keras pada malam tragis, saat dua lelaki meringkus dan memerkosanya semasa di kampung dulu. Luka bakar siraman air keras itu sudah sembuh, tetapi meninggalkan parut pada kening, lajur bekas luka itu menyatu ke pipi kirinya, hanya sedikit parut yang terdapat di pipi kanan. Berkat obat oles itu, permukaan kulitnya yang luka itu sudah samar.

Tiap dua pekan sekali, ibu Nurmala datang menjenguk, membawakannya beras dan sedikit uang, menginap barang dua tiga malam di bilik Nurmala tinggal. Wanita empat puluhan itu sering menatapnya lama-lama seperti tanpa sadar, tercenung seperti orang gamang. Sesaat kemudian air matanya berlinang dalam diam, dan berkali-kali ketahuan oleh Nurmala.
“Ibu tak usah sedih,” ucap Nurmala, meneguhkan hati ibunya dan berusaha menguatkan hatinya sendiri. “Inilah hidup yang sebenarnya.”
“Ibu tak pernah membayangkan hidupmu begini, Nak,” ucap ibunya dengan mata berkaca-kaca.
“Bukankah saat perang dulu hidup kita lebih susah? Malahan, tidak ada orang Aceh yang tidak menderita. Ayah sering bilang, dunia ini bukan surga. Jadi, hidup pun harus bersusah-susah.”
“Oh, Nurmala,” desah ibunya setengah memeluk wanita itu. “Tabahkanlah hatimu....”

Ketika bayinya berumur enam bulan, Nurmala memberikannya nama Kawi. Dia menyeduh tepung beras merah, menyuapkan pada bayinya. Begitu bahagia dia, begitu bayi mungil itu menyantap dengan lahap. Sehabis dimandikan, dia menggendongnya ke pekarangan, seolah ingin mengenalkan Kawi pada dunia luar yang belum pernah dilihatnya sejak lahir, sebagai pengganti hajat turun tanah yang tidak bisa dilaksanakan.

Di jalan depan rumah, jalan yang menghubungkan kampung dan kota, banyak dilalui kendaraan; kebanyakan kereta motor, beberapa mobil, dan ada juga satu dua sepeda. Akhir-akhir ini Nurmala sering melihat sejumlah mobil yang dicat merah, sebagaimana bendera Partai Merah. Memang musim kampanye sudah dekat, orang-orang mulai riuh membicarakan soal politik. Sebagian mengeluhkan keberadaan mobil bercat lambang partai lokal itu, yang terlalu berkuasa, agak ugal-ugalan, pamer, dan merendahkan pengguna jalan biasa.
 
Nurmala melangkah mendekati pintu pagar, seraya berujar pada Kawi dalam gendongannya. “Lihatlah betapa luas dan indahnya dunia ini. Nanti kau tahu sendiri bagaimana hidup ini. Kau  jangan sempat terkelabui. Dalam keadaan bagaimanapun, kau harus tegar, Nak. Meskipun dunia ini bukan surga, kau bisa menikmatinya. Keindahan itu ada, terletaknya dalam dirimu sendiri....”

Begitu membuka pintu pagar, Nurmala sampai ke jalan, tanpa berusaha menghindari tatapan orang-orang yang penasaran terhadap parut wajahnya. Dengan menunjukkan parut luka itu pada orang-orang, dia bisa belajar banyak tentang hidup, perasaan, dan sikap orang-orang di sekitarnya. Karena dia menerima keadaan dengan ikhlas, maka lukanya tidak terlalu sakit, dan dia yakin kelak parut itu juga menghilang, sekalipun tetap meninggalkan bekas.

Dia melangkah ke utara, sebuah sedan yang melaju dari arah belakangnya berlahan-lahan berhenti. Si sopir menurunkan kaca mobilnya, membuka kacamata hitamnya, dan menjenguk ke luar. Awalnya Nurmala tidak menyadari dan memang agak tidak peduli pada kendaraan yang mendadak berhenti di sisinya.
“Hai,” sapa si sopir, menegurnya dengan wajah menyeringai.

Nurmala sontak memperhatikan raut wajah lelaki itu, lalu membuang muka cepat-cepat sambil menahan debaran dadanya. Dia masih berdiri di situ, membelakangi mobil itu, berharap kendaraan itu cepat-cepat berlalu. Namun, mobil sedan itu tidak bergerak.
“Apakah sekarang kau menyesal?” tanya si sopir dengan nada melecehkan.

Nurmala membalikkan tubuh ke arah berlawanan, melangkah perlahan tanpa peduli, seraya berucap, “Aku tidak pernah menyesal, sekalipun tubuhku terpenggal dua seumur hidup....”
Ketika mobil menghilang, Nurmala cepat-cepat menuju rumah, meletakkan bayinya di ayunan, lantas tercenung sendiri. Tubuhnya agak bergetar, kenangan malam nahas itu menyergapnya kembali. Ingatan buruk tentang ancaman Tanjir dan malam nahas yang terjadi sekitar setahun setengah lalu, sungguh tidak dapat dia pilah. Kini setelah dia berusaha menjauhi kampung dan berupaya melupakan kenangan yang menyakitkan itu, justru lelaki itu tiba-tiba hadir kembali, berjumpa seolah tidak sengaja.

“Aku tidak pernah menyesalinya. Justru aku bersyukur...,” gumamnya.

Seminggu kemudian ayah Nurmala datang, mencarikan tanah bersewa murah di dekat rawa-rawa yang tidak jauh dari permukiman penduduk, lalu mendirikan rumah tepas sederhana untuknya. “Hanya inilah yang bisa Ayah lakukan untukmu,” ujar ayahnya tak berdaya. Nurmala sangat berterima kasih punya rumah sendiri, sekalipun gubuk, sekalipun didirikan di atas tanah sewa yang buruk.
“Aku ingin belajar menerima apa adanya,” ucapnya.

Ayah Nurmala tersenyum getir, mengusap-usap bahunya. Dunia seakan sudah terlalu jauh memisahkan dia dari anak gadis satu-satunya. Penduduk Mulieng tidak pernah tahu bila Nurmala hamil diperkosa, mereka tetap menuduhnya telah berzina dengan seseorang, sehingga dia diusir dari kampung halamannya, lalu hidup terasing di permukiman kumuh pinggiran kota, jauh dari kedua orang tuanya yang tidak berdaya.

Karena tidak ingin terus-terusan bergantungan pada orang tuanya yang berada jauh darinya, kini Nurmala mulai belajar cara bertahan hidup. Dia mulai menggendong Kawi, membawanya ke sejumlah rumah orang kaya sambil menawarkan tenaganya sebagai pekerja rumah tangga. Sementara itulah yang bisa dilakukannya karena belum terbukanya jalan lain. Nurmala percaya, jalan hidup itu banyak, dan dia punya banyak pilihan.
Di halaman sebuah rumah batu, Nurmala disambut seorang wanita. Dari penuturan orang-orang sekitar yang dia tanyai, suami wanita itu bekerja di bank swasta. Wanita itu menatapnya rendah, sebagaimana sikap istri-istri pejabat yang kurang pendidikan.

“Aku punya tiga anak, pekerjaan di sini banyak. Bagaimana pula kau bisa melakukannya, sementara kau menggendong anak?” tanya wanita itu.
“Aku bisa mengerjakannya…,” jawab Nurmala, tanpa begitu yakin dengan ucapannya sendiri.
Namun, wanita gendut dengan gumpalan lemak di perut itu langsung menolaknya. “Carilah rumah lain yang belum ada pembantunya. Aku tak ingin kau buat kepalaku tambah pusing!”

Nurmala juga mengalami perlakuan sama dari beberapa pemilik rumah yang didatangi selanjutnya. Hingga siang hari, sudah lima belas pemilik rumah yang dia tawari, tidak seorang pun menerimanya. Akhirnya dia pulang ke gubuk mungilnya, menanak nasi dan menidurkan bayinya. Petangnya dia keluar, menggendong Kawi ke rumah Munah, menanyakan apakah ada seseorang yang memerlukan jasanya untuk pekerjaan rumah.

“Kalaupun ada, sulit sekali menerima pembantu yang memiliki bayi,” ucap Munah polos. “Seandainya Kawi bisa kautitipkan pada seseorang, tentu mudah.”
“Tidak mungkin,” potong Nurmala. “Dia baru saja masuk usia tujuh bulan. Tak mungkin kutinggalkan. Dia butuh susu….”

Keesokan harinya, dengan tekad kuat, Nurmala kembali lagi mendatangi rumah-rumah pegawai kantoran sambil menggendong bayinya. Lebih baik berusaha dulu daripada hanya berdiam diri di rumah, pikirnya. Lagi pula, dia jenis wanita tak bisa diam, yang sudah terbiasa dengan kesibukan apa saja di kampung yang membuatnya tidak punya waktu memikirkan gunjingan dan omongan buruk orang-orang.

Setelah gagal mendapatkan pekerjaan dari lima pemilik rumah yang dia datangi karena melihatnya menggendong bayi, Nurmala menghampiri rumah keenam. Seorang wanita kurus setengah baya yang kelihatan sedang terburu-buru hendak berangkat kerja, menyambutnya ragu.
“Apakah kau bisa mencuci pakaian sambil menggendong bayi?”
“Dia tidak rewel,” ucap Nurmala sedikit bimbang. “Aku bisa menidurkannya di dipan.”
“Betulkah?” wanita itu segera berpaling karena telepon rumahnya berdering, dan sepertinya dia lupa dengan pertanyaannya sendiri.
“Kalau tak becus, aku siap dipecat.”

Karena memang si tuan rumah sedang membutuhkan tenaga untuk mengurus rumahnya, dan baru sekarang ada orang yang datang menawarkan diri, dia pun mempersilakan Nurmala masuk. Nurmala melangkah perlahan, begitu hati-hati menginjak lantai keramik, lalu terkagum-kagum sebentar memandangi sejumlah perabotan dan barang-barang antik di sana.

Nurmala meletakkan bayinya yang masih tertidur di sebuah ayunan rotan yang ditunjukkan si tuan rumah. Sekalipun ayunan tua, agak mewah, yang membuat bayi itu  makin nyaman. Di kamar mandi, Nurmala menemukan tumpukan pakaian kotor yang menggunung, di sampingnya sebuah ember besar, yang langsung diputarkan keran, menderum kucuran air yang riuh, yang segera dituangkannya detergen cair.

Selagi menunggu rendaman pakaian, dia berlalu ke bak cuci piring yang lintang pukang dengan peralatan masak yang kotor dan berkerak. Karena mencuci dari air yang langsung keluar dari keran, tidaklah sulit membersihkan semua peralatan itu yang segera diletakkannya di rak piring. Setelahnya, dia berlalu ke sumur, menyikati pakaian kotor, membilas dan memerasnya, kemudian dimasukkannya dalam keranjang. Keringat tidak saja membasahi wajah dan punggungnya, tetapi juga lengan dan betisnya.

Saat menyampirkan pakaian ke jemuran di pekarangan belakang, Nurmala mendengar bayinya menangis. Dia terburu-buru mengambil Kawi, menyumpalkan susu ke mulutnya yang membuat bayi itu terdiam. Sambil menyusui bayi dalam gendongannya, dia ke dapur, menampung air dari dispenser ke dalam gelas, dan meneguknya dengan begitu nikmat. Kerongkongannya yang kering kembali basah.

Seraya tetap menggendong Kawi, dia menyampirkan sisa pakaian ke tali jemuran, seraya sesekali berbicara pada bayinya, “Anak baik. Jangan merengek, ya. Ibu lagi bekerja. Inilah hidup, Nak....”

Siang hari, sehabis mengerjakan apa yang bisa dia kerjakan, wanita pemilik rumahnya muncul, seperti mengambil kesempatan jam istirahat kerjanya untuk pulang sebentar. Dia tertegun sesaat melihat sepenjuru ruangan yang sebelumnya berantakan, kini sudah rapi; semua yang kotor telah bersih, dan barang-barang yang berceceran telah kembali pada tempatnya.

Sebelum kembali ke kantor, si tuan rumah memintanya bekerja setengah hari pagi, selagi semua penghuni pergi dan anak-anak berangkat sekolah. Nurmala begitu gembira, sekalipun hanya menjadi seorang pembantu, setidaknya sekarang dia telah diterima bekerja, sekalipun sebagai seorang pembantu. Dia rela jadi apa saja demi masa depan Kawi, anak tanpa ayah yang sangat dicintai.

Sambil melangkah di jalan pulang, dia tersenyum-senyum sendiri, tanpa menghiraukan tiang pancang kayu yang mengibarkan bendera Partai Merah di sepanjang jalan kota dan jalan kampung yang dilaluinya. Selain bendera partai itu, tidak ada bendera partai lain yang berani berkibar. Nurmala tidak paham soal politik. Yang dia tahu, sekalipun orang-orang pemberontak telah berkuasa di bawah naungan Partai Merah, kehidupan rakyat tidak pernah berubah, bahkan  makin parah; partai dan demokrasi itu baginya hanya tahi ayam.

Nurmala tenggelam dalam pikirannya sendiri, ketika tiba-tiba sebuah sedan melaju kencang menyambar tubuhnya dari belakang. Tubuh Nurmala terpelanting ke parit kering, bayinya terlepas dari gendongan. Kepala wanita itu terbentur tembok, mengucurkan darah. Nurmala hanya sempat berteriak, memekik, sebelum kepalanya membentur, lantas tak sadarkan diri.

Rasanya sulit percaya, apalagi kecelakaan ini terjadi secara kebetulan dan tidak sengaja, sebab sedan yang menabraknya itu milik Tanjir. Orang yang kebetulan ada di sekitar situ bisa mengenalnya melalui stiker calon anggota dewan yang memasang wajah Tanjir di depan, samping, dan belakang badan kendaraan. Namun, mobil celaka itu terus saja melaju kencang, tanpa memedulikan ibu dan anak itu yang terkapar di pinggir jalan.

Sejam kemudian Nurmala baru siuman, bingung mendapatkan dirinya berada di sebuah bangsal rumah sakit, meruap bau obat-obatan yang begitu asing baginya. Kepalanya terasa sakit, ada balutan perban di keningnya. Seketika saja dia teringat sesuatu, wajahnya padam serupa orang ketakutan, lantas berteriak, “Mana anakku?!”
Seorang perawat membawakan bayi yang sedang menjerit-jerit itu kepadanya, yang langsung disambar tak sabar, setelah berkali-kali gagal bangkit dari ranjangnya.

“Ternyata kau masih hidup, Nak....”
Nurmala tersenyum gembira, melihat bayi di sampingnya yang tidak mengalami cedera maupun luka. Bayi itu hanya kehausan, langsung menyambar susunya dengan rakus begitu disuguhkan. Tiba-tiba mata Nurmala mengeluarkan air, bersamaan suara gelaknya yang tak tertahan. (f)

Tentang Penulis:
Arafat Nur (42), Aceh
Pemenang II Sayembara Cerpen Femina 2016

 
Tahun 2016 disebut-sebut sebagai tahun darurat kekerasan seksual. Banyak kasus dari berbagai daerah yang menarik perhatian publik, tapi banyak juga yang tak tersentuh media. Salah satunya dikemas dengan baik oleh Arafat Nur dalam cerpen Dia Masih Bisa Tergelak.
 
Kisah yang dialami Nurmala, tokoh di cerpen ini sangat memilukan. Ia seolah tak usai-usai dirundung kemalangan. Namun, Arafat mengaku ingin menyampaikan ketegaran sang tokoh, bukan kesedihannya. Banyaknya kasus kekerasan seksual sadis terhadap wanita yang terjadi di Aceh setelah konflik membuat Arafat merasa tidak bisa tinggal diam. Ia menuangkan kegelisahannya lewat fiksi. Ada korban wanita yang dibunuh setelah dipukuli oleh pacarnya, ada juga kasus-kasus pemerkosaan yang tidak sampai ke proses hukum karena pelakunya memiliki kuasa.
 
“Masalah wanita di Aceh perlu perhatian khusus. Setelah menjadi korban perang, mereka juga kesulitan mendapat pekerjaan. Bahkan, ada yang harus merelakan keperawanannya demi pekerjaan. Yang lebih menyedihkan, media daerah juga tidak banyak mengangkat hal ini. Banyak fakta yang ditutup-tutupi. Lembaga-lembaga advokasi yang membantu juga masih terbentur kesulitan dana,” ia memaparkan.
 
Bagi Arafat, menulis adalah panggilan jiwa. Ia membaca dan menulis di malam hari setelah berladang. “Sebagai peladang, saya banyak menghabiskan energi fisik. Dengan menulis, saya menyalurkan energi jiwa,” ujar pelahap karya-karya Gabriel Garcia Marquez, Mo Yan, Orhan Pamuk, dan Leo Tolstoy itu. Ketekunannya menulis telah berbuah beberapa penghargaan. 
 
Kini, ia tinggal di Desa Paya Punteut, Muara Dua, Lhokseumawe, bersama istri dan tiga anaknya. Ia juga bergiat di Lembaga Sastra Lhokseumawe dan ikut mengampanyekan gerakan membaca. “Ini tantangan besar karena pelajar di sini masih tidak suka membaca buku. Ditambah lagi, akses pada buku dan bacaan bermutu juga masih sulit,” ia mengisahkan dengan nada prihatin. (RW)
                                   


Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?