Fiction
Cerpen: Bunda Belia

12 Mar 2017


 
“Kita berkumpul bukan untuk menyesali masa lalu, justru untuk menyiapkan masa depan.”
Kalimat itu lebih menyerupai mantra yang dirapalkan  tiap kami bertemu. Malam Minggu, kami laksana para gadis yang sibuk menyambut kedatangan pujaan hati. Kami berdandan —entah untuk siapa— agar terlihat lebih cantik dibandingkan hari biasa (atau setidaknya begitulah pandangan kami). Muna sering mengingatkan, “Kita berdandan tidak mesti dikhususkan untuk orang tertentu. Berdandan sudah jadi kebutuhan, seperti makan dan minum. Bahkan,  dalam situasi tertentu lebih penting dandan daripada makan minum.”

Dia bisa berkata demikian karena berdandan baginya menjadi tuntutan pekerjaan sehingga harus dilakukan  tiap hari kerja. Sebegitu mahirnya ia berdandan sampai aku sering mengatakan ia bisa melakukannya sambil berlari. Sebagai karyawan di sebuah perusahaan kosmetik, ia memang dituntut pintar berdandan. Beda dengan guru sepertiku yang hanya berdandan seadanya.

Malam ini menjadi istimewa sebab sudah dua tahun kami bertemu untuk membahas topik yang sama. Kami harus belajar dari sisi kelam masa lalu untuk menyiapkan masa depan gemilang. Kegagalan masa lalu menjadi pelajaran, agar tidak lagi salah menilai dan memilih pasangan hidup. Sedikit ilmu psikologi menjadi penting, tak salah kalau kami sesekali mengundang psikolog. Tentu saja wanita, meski ada yang mengusulkan mengundang psikolog laki-laki sebagai variasi.

Ini bukan organisasi, bukan pula geng atau komunitas, meski kami dipersatukan oleh masalah serupa. Karena itu, Muna bukanlah ketua —dia menolak dipanggil ibu ketua— dan bukan pula seorang tenaga administrasi. Dalam istilahnya sendiri, ia sering menyebut seksi repot karena dialah yang menghubungi kawan-kawan. Malam ini, dia mengharapkan semua hadir karena ada kabar penting yang harus disampaikan. “Semua wajib hadir. Penting!”

Kami berkumpul di City Coffee, sebuah kafe baru yang punya teh hijau supernikmat, meski jualan utama mereka kopi. Aku pernah dua kali ke sana, seorang diri, dan membuktikan kabar tentang teh hijau yang harum dan nikmat itu memang benar adanya. Karena rumahku paling dekat dengan City Coffee, kupikir akulah yang pertama hadir. Ternyata justru Muna yang lebih dulu tiba di sana dan sudah menghabiskan satu gelas es teh hijau.

Kami berbasa-basi sejenak sambil menunggu yang lain. Muna tampak lebih serius dibanding biasanya. Dia tidak banyak bercanda, kupikir berkaitan dengan kata ‘penting’ dengan tanda seru yang ia kirim di grup chat kami.
Aku baru memesan teh hijau ketika Asma dan Nanda datang bersamaan. Mereka bersepupu, unik juga mengalami nasib sama. Tak lama kemudian muncul Zahra dan Dira yang juga bareng karena rumah mereka searah.

Inilah kami. Enam wanita muda yang seharusnya sedang berkutat dengan skripsi atau tesis atau sibuk mencari pekerjaan seusai kuliah. Seharusnya demikian, tapi faktanya kami disibukkan dengan pekerjaan dan mengurus anak seorang diri. Kami menjadi orang tua tunggal karena situasi yang memaksa kami menjadi ibu di usia belia.
Muna membuka dengan kalimat di atas seperti biasa. Kemudian dia membahas alasan kami berkumpul, menjelaskan sejumlah manfaat positif jika kami bersama dan dampak negatif  bila menghadapi masalah sendiri. Itu pun kalimat yang sering ia sampaikan hingga kami hapal di luar kepala. Yang tak biasa adalah kalimat berikutnya, bahwa; “Aku harus mundur dari pertemuan rutin kita selamanya.”

“Kenapa?”
“Ada apa?”
“Tak ada jalan lain?”
Pertanyaan yang meluncur hampir bersamaan. Muna menarik napas panjang, pertanda ia akan bicara panjang lebar. Biasanya begitu. Jadi agak tidak biasa bila kemudian ia hanya berkata singkat, “Minggu depan aku menikah.”

Aku yang pertama kali membuka mulut setelah sekian lama kami terdiam, entah karena teman-teman kaget mendengar pengakuan Muna akan menikah atau malah kaget karena alasannya mundur dari pertemuan rutin kami. Kataku, “Kita sudah lama bersama, berbagi kisah, dan beban. Bukan hanya masalah keluarga, tapi semua beban hidup. Kita bersaudara. Bagiku, banyak hal yang lebih nyaman berbagi dengan kalian dibandingkan dengan saudara sendiri. Jadi...”
“Sepakat,” potong Dira. “Kita sudah jadi saudara. Mau kawin lagi atau tidak, bukan hambatan untuk ngumpul, saling berbagi. Kita ini bersaudara, bukan komunitas janda belia!”

Suara tawa terdengar berbarengan dengan berbagai komentar yang mendukung pernyataan Dira. Intinya, kami menolak Muna absen dari pertemuan. Bahkan ketika sudah nenek-nenek nanti, kami masih ingin tetap bersama. Itu kata Nanda.
“Aku sependapat dengan kalian,” sahut Muna kemudian.
“Nah, apalagi...” desak Dira.
“Jadi, tidak perlu mundur segala. Pejabat yang sudah terbukti korupsi juga menolak mundur,” timpal Zahra.
“Alasan itu sudah kusampaikan kepada calon suamiku. Bahkan aku sudah menceritakan tentang kalian.”
“Jangan cerita soal suamiku selingkuh...” cetus Dira.

“Tenang, tenang...” Muna tersenyum. “Soal pribadi tetap jadi rahasia kita. Soal suami Dira selingkuh, soal Asma tidak disenangi mertua, soal Lisa jadi korban KDRT, cukup untuk kita saja. Aku tidak akan cerita kepada siapa pun—tidak tanpa seizin kalian. Aku hanya menceritakan tentang kita secara umum. Tapi...” Muna terdiam, memandang kami semua, “calon suamiku tetap tidak setuju. Dia minta aku tidak bergabung lagi,” kalimat Muna yang terakhir disampaikan dengan suara parau seolah itu merupakan beban yang teramat berat.
“Jadi, dia memberikan pilihan sulit. Aku atau mereka, begitu?” tatap Dira.
Muna tidak menjawab. Tapi kami semua tahu jawabannya.
 
***
Kami masih berkumpul pekan berikutnya dengan tema utama bukan lagi masalah rumah tangga masing-masing, melainkan persoalan Muna. Dia beneran tidak hadir meski kami mengundangnya dan ia tidak mengundang kami dalam acara pernikahannya. Dira menelepon dan tragisnya, tidak diangkat. Sepulangnya dari pertemuan itu, diam-diam aku juga menelepon Muna dan berharap dia mau berbagi, ternyata juga tanpa respons. Aku masih berpikir positif dengan menganggap Muna sudah terlalu lelah setelah pernikahannya dengan —entah siapa pula namanya. Jadi, aku mengirim pesan untuk menanyakan kabarnya sekaligus mengucapkan selamat atas pernikahannya. Aku baru mendapatkan jawaban besok siang —atau hampir 12 jam kemudian— dengan dua kata; “Baik. Thanks.”

Pekan berikutnya, aku tidak hadir karena ada urusan pribadi. Tapi bukan berarti aku tidak tahu apa yang dibahas. Kawan-kawan kecewa dengan sikap Muna yang rela memutuskan silaturahim. “Menurutku, lelaki itu sedang menyiapkan penjara buat Muna,” kata Dira yang meneleponku saat aku sudah berada di tempat tidur.

“Mari berpikir positif, kita tidak tahu mengapa ia begitu. Dia pasti punya alasan.”
“Karena terlalu sering berpikir positif, kamu kena hajar suamimu berkali-kali.”
“Sudah mantan.”
“Berpikir positif, sepakat. Tapi jangan naif. Kita harus waspada terhadap lelaki seperti itu. Muna sendiri yang bilang, kita harus belajar dari pengalaman tanpa perlu paranoid dengan lelaki. Kewaspadaan jangan kendor. Masak jatuh ke lubang sama sampai dua tiga kali. Keledai pun cuma satu kali. Kurasa, serotonin di kepala Muna sedang meluap sehingga dia tak bisa berpikir logis. Masak dia mau meninggalkan kita untuk lelaki itu!”

“Kita belum tahu banyak tentang hubungan mereka. Banyak hal yang belum disampaikan Muna. Tapi, biarlah itu menjadi urusan dia saja. Sebagai sahabat, kita harus mendukung kebahagiaan Muna, meski ia meninggalkan kita. Kita harus bersabar, mungkin sampai mereka menggelar pesta. Jadi, tunggu saja, kita diundang atau tidak!”

 
***
Kami tidak mendapatkan kabar, apalagi undangan pesta pernikahan Muna sampai minggu-minggu berlalu menjadi bulan. Pertemuan kami tidak terlalu rutin dan tidak lagi mesti malam Minggu sejak Dira mengambil alih sebagai seksi repot. Kapan ada waktu, kami bertemu, meski tidak   harus selalu lengkap. Ada kalanya, kami disibukkan dengan persoalan keluarga atau pekerjaan. Satu hal yang kami syukuri, semua persoalan dengan pasangan sudah selesai. Luka masih ada di hati masing-masing, tapi sudah tidak lagi berdarah. Kami sedang menata hidup baru agar lebih baik dengan bercermin pada pengalaman buruk masa silam.

Sampai suatu malam —saat kami lengkap— sekonyong-konyong Muna tegak di samping meja kami. “Boleh bergabung?” suaranya yang terdengar mengiba membuat keterkejutan kami menjadi lebih panjang.
“Boleh, tentu saja!” Dira segera mencairkan suasana. “Kamu masih pemegang saham di sini,” lanjutnya, yang gagal membuat Muna tersenyum, apalagi tertawa.

Muna menarik kursi dari meja sebelah yang kebetulan kosong. “Aku minta maaf,” lalu ia diam memperhatikan kami. “Pernikahanku batal, ternyata dia masih terikat pernikahan dengan istrinya. Dan dia ternyata….”

Beberapa di antara kami berseru kaget. Muna lalu bercerita sambil mencucurkan air mata. Lelaki itu sangat posesif dan membatasi pergaulan Muna dengan siapa pun. Dia tak ingin masalahnya dengan istrinya terbongkar. Tapi, akhirnya ketahuan juga. “Istrinya ke kantor membawa dua anak. Dia marah-marah sampai membuatku malu. Kupikir, memutuskan hubungan dengannya adalah keputusan terbaik untuk menyelamatkan diriku, juga menyelamatkan dia dan keluarganya.”

Asma dan Nanda yang duduk di samping Muna mengusap-usap bahu sahabat kami itu. Suasananya menjadi sendu sampai terdengar keriangan Dira, “Ah, jangan larut dengan kesedihan. Kita sudah berkumpul lagi, dan itu sumber kebahagiaan.”
Semua berteriak setuju.
Dira menyambar lagi, “Aku punya kabar gembira. Bulan depan aku dan Dimas menikah. Orang tuanya setuju ia menikahi janda muda, hahaha... dan Dimas juga tak melarangku bersahabat dengan kalian. Bahkan ia minta izin bergabung kapan-kapan.”

Kembali terdengar seruan histeris, baik yang mengucap selamat maupun menggoda  Dira karena suaminya lebih muda dan masih jejaka. Aku menyimpan senyum dalam hati karena juga mempunyai kabar serupa dengan Dira. Biarlah kabar gembira ini kusimpan sampai pekan depan untuk memperpanjang usia kebahagiaan kami. (f)
 
 ***

Ayi Jufridar


Aris Kurniawan

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?