Fiction
Cerpen: Bianglala

30 Sep 2018


Foto: Shutterstock

Desember 2016
 
Kamu menahan emosi, sebuah surat gugatan dibuka oleh tangan kekar pria berkemeja kotak- kotak dan bercelana linen, senyum puas tersungging di bibir hitamnya. Tanganmu gemetar, tatapan mengabut, memandang ke arah anak-anak yang sedang bermain riang.
 
“Apa akta tanah milikku tidak berguna lagi? Apa Anda tega menghilangkan tawa dari sekumpulan anak yang sedang semangat belajar?”
 
“Belajar? Cih! Mereka hanya bermain tanpa arah. Sudah jelas pengadilan memenangkan gugatanku, tanah ini milikku, bukan milik wanita jalang itu. Lagipula pemerintah melarang sistem pengajaran nonkonvensional yang kau kembangkan. Camkan! Kebodohanmu jangan kau tularkan pada anak-anak polos itu.”
 
“Apa Anda bisa memberiku waktu? Anak-anak pasti kecewa jika tidak mendapat penjelasan.”
 
“Waktu? Aku sudah lama memberimu waktu, sekarang pergilah atau orang-orangku akan menyeretmu.”
 
Dengan penuh tekad, kamu berjalan ke arah kumpulan anak-anak. Belumlah kaki menjejak sempurna di balai rumah panggung tempatmu mengajar, cengkraman tangan-tangan kokoh mencegah, menarik tubuh kecilmu, menyeret tanpa ampun. Kamu menggigit lidah, berusaha tidak berteriak, dari kejauhan tampak anak-anak tak berdosa itu menjerit ketakutan, diusir tanpa ampun, tempat bermain dan belajar mereka dihancurkan tanpa perasaan. Saat itu kamu hanya bisa tergugu menatap pagar besi yang dijaga orang-orang pria tadi.
 


Topic

#cerpen, #fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?