Fiction
Cerita Tahlilan

3 Jun 2016


 
RUMAH KUMALA ramai malam ini. Ruang tamu yang semula dikosongkan dari beragam perabotan, kini mulai diisi para lelaki berpeci. Mereka akrab mengobrol.

Sementara itu, ia dan beberapa perempuan, berkutat di dapur, menyiapkan hidangan. Uap dari kuah rawon dan nasi yang baru saja matang, meruap menggapai langit-langit. Kue wajik dan puding cokelat mulai dipotong dan diletakkan di piring-piring.
"Coba kau cicipi ini." Bu Liesta menyodorkan semangkuk kecil kuah rawon. "Enak tidak?"
Kumala mengambil sendok dan menciduk kuah rawon itu. Mencicipinya. Rasa rempah-rempah yang bercampur dengan kaldu, merambati lidahnya.
"Enak, Bu!" Kumala berdecak. "Saya suka."
Bu Liesta tersenyum mendengar pujian itu.

Kumala balas tersenyum. Ia merasa amat lega mendapati para tetangganya yang baru sebulan ia kenal, mau membantunya menyiapkan prosesi tahlilan demi mengenang tahun ketiga kematian suaminya. Terlebih Bu Liesta, yang seminggu sebelumnya menolak rencana Kumala untuk memakai jasa katering saja, dan menawarkan diri untuk jadi juru masak di acara tersebut. Katanya, biar lebih akrab dengan warga sekitar.
"Sebentar, saya tinggal dulu." Kumala beringsut meninggalkan dapur, saat ia mendengar ada yang memanggilnya.
Kumala tahu apa maksudnya. Ia mengambil secarik kertas dan menuliskan nama suami, orang tua dan mertuanya. Lantas menuju ruang tamu dan menyerahkan kertas itu pada ustaz yang bakal memimpin tahlilan.

Kemudian, ia bergegas kembali ke dapur. Menginstruksikan untuk bersiap-siap mengisi piring-piring dengan nasi, sebelum nantinya diguyur dengan kuah rawon, menjelang akhir acara.
"Banyak yang datang?" tanya Bu Liesta.
"Sekitar seratusan orang mungkin," balas Kumala, seraya menangkupkan nasi di piring dan menyusunnya di meja.
Bu Liesta melirik meja di tengah dapur, yang seperempat bagiannya sudah diisi barisan piring—nasi dan kue.
"Kita siapkan separuhnya saja dulu, separuhnya lagi nanti," Bu Liesta memberi usul, sambil meletakkan dua potong daging empal di tiap piring berisi nasi.
Semuanya mengangguk setuju.
Di ruang tamu orang-orang mulai membaca surat Yasin.
"Ah, apa mereka nanti bakal suka dengan rawon saya, ya?" suara Bu Liesta meluncur di sela-sela kesibukan di dapur.
"Saya justru khawatir suami saya bakal minta dibuatkan rawon seperti buatan Bu Lies nanti," kata salah seorang ibu muda di sana.

Wanita berusia lima puluhan itu tersipu mendengar pujian tersebut.
"Saya khawatir ada yang kurang. Soalnya sudah lama sekali saya tidak masak rawon," jelas Bu Liesta.
"Terakhir kapan, Bu?" tanya Kumala.
"Sekitar sepuluh tahun lalu mungkin. Tapi ... entahlah, saya lupa."
"Kok, lama betul, Bu?" tanya seorang ibu muda lagi.
Bu Liesta meneguk ludahnya, lantas memasang senyum kecut. "Saya sebenarnya tidak terlalu suka rawon. Saya biasanya masak itu buat…," terdapat jeda tiga detik, sebelum dilanjutkan, "suami saya."
Tiba-tiba semuanya bungkam. Kumala menatap dengan bingung, namun enggan bertanya.
"Namun, sejak kami bercerai dan dia pergi, saya sudah tidak pernah masak rawon lagi," suara Bu Liesta terdengar serak. "Memang siapa yang mau makan rawon sepanci. Bisa kembung saya." Bu Liesta mencoba bercanda, memaksakan seulas senyum bertengger di wajahnya.
Semua orang ikut tersenyum. Seolah leluconnya berguna.
"Suami saya dulu juga suka makan rawon. Kalau dia masih hidup, dia bakal lahap makan rawon Bu Lies," Kumala menambahkan, agar suasana sedikit mencair.

Namun sebenarnya, Kumala sedikit penasaran dengan alasan perceraian Bu Liesta. Ia menduga-duga berdasarkan fakta yang tampak di permukaan. Hingga ia sampai pada kesimpulan bahwa keduanya berpisah karena masalah anak yang tak kunjung hadir.
"Dik Kumala lebih beruntung daripada saya," kata Bu Liesta tiba-tiba, sambil tangannya terus bekerja.
Kumala mengernyitkan kening. Tidak paham.
"Suami saya itu pergi dengan kenyataan: sudah tidak mencintai saya lagi. Sejak dokter menyatakan rahim saya bermasalah, sikapnya berangsur berubah. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk bercerai," Bu Liesta menjelaskan. Seolah membenarkan dugaan Kumala.

Kumala memilih diam. Ia tahu kalau yang dibutuhkan oleh Bu Liesta adalah telinga yang mau menampung cerita sedih itu.
"Sebulan setelah kami resmi bercerai, dia pindah ke luar kota, dan saya dengar kabar: dia menikah dengan perempuan lain. Saya tidak tahu siapa perempuan itu dan saya pun tidak berminat untuk mencari tahu. Sejak saat itu saya benar-benar benci sama dia. Kami tidak pernah bertemu lagi setelahnya. Saya merasa dikhianati dan dicampakkan."
"Saya ikut bersedih," Kumala bersimpati.

Bu Liesta menggeleng. "Tidak, kau tidak boleh bersedih. Seharusnya kau gembira mendapati suamimu mencintaimu hingga akhir hidupnya."
"Saya rasa tidak ada orang yang bergembira atas kehilangan orang yang dicintainya," kata Kumala, sambil menyusun piring-piring berisi nasi di atas meja. "Meski dia tahu ada alasan kehilangan yang dirasa lebih buruk dari sebuah kematian."
Perempuan-perempuan lainnya tidak ada yang menyahuti percakapan tersebut, sebab mereka pikir nasib mereka masih lebih mujur dibanding kedua janda itu. Dan sudah tentu tidak tahu betapa menyedihkannya kehilangan suami.
"Kalau boleh saya tahu, menurutmu, siapa di antara kita yang nasibnya paling malang?"
Kumala mengernyitkan kening. Terganggu oleh pertanyaan Bu Liesta yang terdengar aneh dan tanpa peduli dengan orang-orang di sekelilingnya. Mengusik.
"Saya tidak bisa mengukurnya," jawab Kumala sekenanya.
"Saya, kok, tidak sependapat, ya?"
Kumala memilih bungkam.

"Saya yakin: orang bisa membedakan antara mangga yang manis dengan yang masam, setelah mencicipinya."
"Saya tidak berpikir demikian."
"Tapi saya yakin, ada orang yang justru lega ketika tahu nasibnya lebih mujur dari orang lainnya, meski sama-sama mengalami kesialan."
"Saya rasa: tidak sopan bergembira atas penderitaan orang lain."
"Ah, itu benar. Tapi saya rasa tidak akan jadi soal, bila orang-orang mau mengatakannya. Bukan begitu?"

Tiba-tiba seorang bocah lelaki berusia sembilan tahun, muncul di dapur. Menghampiri Kumala. Ia merasa lega dengan kehadiran anak lelakinya itu, sehingga ia tidak perlu menjawab pertanyaan Bu Liesta.
Bocah itu menudingkan tangan ke piring-piring berisi kue. Minta diambilkan. Kumala lantas memberinya sepotong kue wajik dan lemper.
Mata Bu Liesta mengikuti arah kepergian bocah lelaki itu. Terpaku, seolah matanya dan tubuh anak itu dihubungkan oleh seutas benang.

"Saya seolah baru melihat suami saya," kata Bu Liesta, saat bocah lelaki itu sudah hilang dari pandangannya.
Kumala melirik janda tua itu dengan kesal. Apa lagi sekarang? batinnya. Rasa syukurnya atas segala bantuan wanita itu, berangsur memudar. Kumala tidak mengacuhkan kalimat Bu Liesta barusan.

Namun lagi-lagi keberuntungan berpihak padanya, begitulah menurut Kumala. Seorang pria berusia lanjut masuk ke dapur, dan memberitahukan bahwa tahlilan sudah hampir rampung. Kumala dan perempuan-perempuan lainnya --tak terkecuali Bu Liesta-- makin sibuk menyajikan hidangan. Piring-piring berisi kue dan semangka, mulai dikeluarkan ke para undangan. Sementara piring-piring berisi nasi dan dua potong daging empal, mulai diguyur dengan kuah rawon.
Tibalah saatnya rawon-rawon itu disajikan. Para pria yang menyantapnya  pun berdecak kagum karena kelezatannya.
 
SATU PER SATU para undangan sudah pulang. Sedangkan para perempuan masih sibuk mencuci piring-piring dan perkakas masak yang kotor.
Para perempuan menyusul pulang, sejam kemudian. Kumala memberikan sedikit uang imbalan yang ia taruh di amplop. Juga mengizinkan mereka untuk membawa kue, buah, dan makanan yang begitu melimpah di dapur.
Mereka semua menerimanya, kecuali Bu Liesta.
"Sudah, saya tidak usah," tolak Bu Liesta.

Kumala berkali-kali membujuk janda tua itu, tetapi agaknya itu sia-sia belaka. Bu Liesta tetap enggan dibayar.
"Ah, kalau begitu saya banyak terima kasih pada Bu Lies. Saya sangat terbantu."
Bu Liesta tersenyum. Mengangguk pelan.

"Saya minta maaf kalau tadi agak membuatmu tidak nyaman," kata Bu Liesta menyesal. Kumala tahu apa maksudnya. "Perasaan saya selalu buruk kalau teringat pada dia."
Kumala mendekap pundak perempuan tua itu.

"Saya mengerti. Tidak apa," ucap Kumala lembut. Ingin menegaskan bahwa semuanya tidak jadi masalah.
Kemudian dua tubuh perempuan itu berpisah. Bu Liesta beringsut pergi, melewati lorong menuju ke ruang depan, sementara  Kumala masih membersihkan dapurnya.

Bu Liesta mendapati ruang tamu itu lengang, dengan segala perabotan yang sudah diletakkan kembali. Ia terus berjalan, hingga mendadak berhenti, saat kaki kirinya yang telanjang menginjak secarik kertas yang mencantumkan nama-nama hasil tulisan tangan Kumala. Bu Liesta lantas memungut kertas itu.
Mata Bu Liesta hampir meloncat keluar ketika membaca barisan nama itu. Ia begitu terkejut saat mendapati nama suami dan mertuanya di sana. Tangannya yang mulai keriput mendadak gemetar. Disusul kedua kakinya yang goyah. Perlahan tubuhnya melorot ke lantai. Dadanya sesak seolah habis dipukul palu besar. Dari kedua matanya, sulur-sulur air merembes ke pipi. Ia meraung dengan suara tertahan. Meremas kertas itu kuat-kuat. Membayangkan gumpalan kertas itu  jantung perempuan yang telah merebut cinta suaminya.

Di dapur, dengan tergesa  Kumala menyiapkan kue dan kuah rawon ke dalam rantang, yang hendak ia antarkan ke rumah wanita itu. Tanpa tahu apa yang akan dihadapinya di depan.
***
M. Shofyan Dwi Kurniawan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?