Fiction
Cerita Pendek : Roh-Roh di Dalam Gadih Bungo

2 Feb 2019


 
Uang dan kekayaan yang berlimpah itu ia dapat dari berjualan jerenang11. Ia ambe12nya dari hutan, Bungo. Lalu, jika kau pindah basanding dengan Orang- Orang Terang itu, bukankah kau nak seperti pucuk pohon yang justru menjauhi sinar matahari itu sendiri? Uang hanyalah omong kosong belaka, alat mereka untuk membodohi kita, celoteh roh ini lagi.
 
Ketika itu Gadih Bungo hampir bisa mengambil jawaban untuk tawaran Lokoter Hasan. Sebelum malamnya kemudian, roh yang lainnya datang.
 
Hutan? Hutan yang mano? Setelah penolakanmu akan prosesi melangun kemarin, apo Barambai dengan segala aturan-aturannyo itu masih akan sudi menerima orang kedulat13 macam dirimu? Lagi pula, apakah kau tahu mereka kini ado di mano?
 
Seperti memiliki dendam dengan hutan, roh ini mengeruhkan suasana kembali. Itulah mengapa Bungo menamainya Roh Jahat. Entah enta-enta14 dari jalur siapa.
 
Apa kau idak ingot juga ketika Marni harus kehilangan Kembo, anaknya, lantaran kesulitan nak ambe merpuyon, selekuntunon, sekedemek? Cuma sawit, sawit, sawit, yang ado…
Tentu saja Bungo belum lupa dengan biang perkara yang sempat memanaskan hubungannya dengan Marni itu.
 
“Itu TBC. Kau bisa memercayakannya kepadaku untuk dibawa ke rumah sakit provinsi,” ujar Lokoter Hasan, ketika pertama kali melihat kondisi Kembo.

Kemampuannya dalam mengobati pulot15, bocor16, domom17, atau betuk18, yang lebih cepat dari kemampuan alim-alim dalam mengindra semua penyakit itulah yang membuat Bungo bersemangat menarik gurunya ke genah19 Marni.
 
Tapi, apa daya. Saat itu Bungo hanya belum memahami Marni.
 
Hutan sebenarnya sudah tak ado lagi, Bungo. Sebentar lagi, seperti kau yang kini bisa melihat prosesnya secara perlahan, kau akan berubah pikiran. Jadi, mari keluarlah sajo. Bukankah kau sedikit banyak sudah mengenal ‘a’ sampai ‘z’, seperti yang pernah diajarkan para gurumu? Tak usah takut. Tak usah takut… Suara roh itu kembali berusaha menguasai Bungo.
 
“Semua sudah ditanggung pemerintah, Bungo. Kau hanya butuh menyesuaikan diri. Kau juga bisa diberi pelatihan untuk bekerja, jika mau. Tapi kalau bisa, aku ingin tahu siapa bepaknyo, agar kalian bisa masuk data bersama-sama,” ditambah suara Lokoter Hasan yang masih gigih membujuknya.
 
Bungo sering membeku ketika harus mendengarkan dan menghadapi suara-suara itu. Kedua kakinya masih tertahan di tempat persembunyian saat mengintip beberapa Orang Rimba yang akhirnya menyerahkan diri.
 
Kira-kira, apa yang membuat mereka menyerah? Apakah mereka tak takut jika dikuasai uang hingga berubah tabiat seperti Batindih?
 
Barisan pohon sawit yang menghabiskan pepohonan enta-enta kita, pangkal muaranyo adalah uang. Kabut hasop20 yang tempo hari merusak pandangan, musababnyo adalah uang…

Bungo maju selangkah. Pelan selangkah…
 
Padahal kau tahu, tanpa uang pun kau bisa hidup damai tanpa menjadi jahat bagi siapa pun…

Bungo mendengar itu. Ketika mereka ditanya perihal nama, umur, dan asal wilayah….

Uang tak lantas mengubah semua orang menjadi jahat, Bungo. Kau harus melihat dan merasakannyo langsung. Di luar sano….
 
Ketika Bungo sudah lelah mendengarkan roh-roh di dalam kepalanya, setengah sadar ia sudah berada di dalam antrean yang membosankan itu.
 
“Nama kamu siapa?” seorang petugas perempuan mendekati.
 
Bungo masih diam. Tiba-tiba merasa asing.
 
Pena perempuan itu juga terdiam, seolah menunggu jawaban Bungo.
 
“Suaminya mana? Biar nanti sekalian kami buatkan KK untuk pendataan….”

Bungo terkejut setengah mati ketika melihat ruangan itu berubah menjadi sebuah sangkar besar. Tiba-tiba ia teringat dengan si Uk—kolum21nya Panyiram ketika tertangkap basah tengah mencuri makanan di dapurnya penjaga perkebunan sawit. Ia dikurung dalam ruang sempit berjeruji-jeruji kayu.
 
Ia menangis tersedu ketika di tengah malam buta Bungo berhasil menjenguk dan mengiriminya makanan secara diam-diam. Katanya, ia dipaksa melakukan tindakan amoral agar tak mengulangi kesalahan. Lokoter Hasanlah yang kemudian berhasil membebaskannya dengan negosiasi yang tak Bungo pahami. Semuanya ada di atas kertas. Tulisan-tulisan. Dan, sejak saat itu si Uk tak lagi pernah berani mendekati barisan sawit.
 
“Hei, mau ke mana?!” teriak perempuan itu, ketika Bungo membalikkan badan dan berniat lari.

Bungo hanya menoleh sekilas.
 
Bahkan ketika Lokoter Hasan menegurnya di tengah jalan. Bungo merasa lebih baik tak pernah mengenal huruf-huruf yang pernah dibacanya itu. Ada sebuah tanya yang sedari kemarin urung ia lontarkan; tulisan-tulisan itu, sebenarnya dikuasai oleh Roh Baik ataukah Roh Jahat?
 
 
Catatan:
1. genah = sebutan untuk wanita setengah baya
2. kacangokan = Keserakahan
3. belukor = Ladang yang sudah ditinggalkan lantaran sudah tak menghasilkan makanan pokok, namun masih menghasilkan aneka buah dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat.
4. alim-alim = Petinggi suku
5. gediy = Gadis
6. bekusal = Orang Tua
7. helang = Hilang
8. buayo = Jika Orang Rimbo melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan.
9. kupek = Anak perempuan yang sudah beranjak dewasa
10. kolum = Anak lelaki yang sudah beranjak remaja
11. jerenang = Getah naga/buah rotan
12. ambe = Ambil
13. kedulat = Kena kutuk
14. enta-enta = Nenek moyang
15. pulot = Sakit gigi
16. bocor = Sakit perut
17. domom = Demam
18. betuk = Batuk
19. genah = gubuk
20. hasop = Asap
21. kolum = Bocah lelaki
***
 
Adi Zamzam
 
 
Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/

 


Topic

#fiksi, #cerpen

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?