Fiction
Cerita Pendek: Primbon Bibi

16 Feb 2020


Foto: Dok. femina


Di dunia ini ada tiga hal yang sangat bibi percaya; pertama Tuhan, kedua dirinya sendiri, dan terakhir primbon kusam miliknya, selebihnya? Tak ada! 

Jika mengingat hal ini, aku jadi ingat perkataan seorang aktor Hollywood dalam sebuah film yang tidak begitu laku di pasaran, begini katanya, “Hanya ada dua orang di dunia ini yang aku percaya, pertama adalah diriku sendiri, dan yang kedua bukan dirimu. Ya, aktor dan bibiku itu memiliki kesamaan; sama-sama memiliki prasangka buruk terhadap kehidupan. 

Bibiku ditinggal mati suaminya, seorang pensiunan yang usianya dua kali umur bibi. Pernikahan mereka terlalu tergesa-gesa menurutku, karena hanya selang beberapa hari dari pertemuan pertama mereka. Aku sebenarnya meragukan perasaan bibiku saat itu: apa benar dia menikah karena keinginnya atau keharusan saja? Mana mungkin cinta bisa sesingkat itu? Batinku. 

Untuk ukuran bibiku, suaminya boleh dibilang sangat tua, tak pantas untuk bibi yang masih cukup muda. Saat itu aku ingin sekali dia menolak pernikahannya, meskipun artinya harus menentang keinginan keluarga. Tapi itu bukan bibi, ia tak mungkin menolak permintaan keluarga. Lebih tepatnya, tak mungkin menolak takdir yang digariskan Tuhan lewat titah keluarganya. 

Tak selang beberapa lama setelah pernikahan yang grusa-grusu itu, suaminya meninggal. Ia jatuh dari motor saat hendak mengambil uang pensiun. Luka-lukanya tidak begitu parah, hanya  ada goresan  tipis di kepala dan memar di tangan sebelah kanannya, tapi benturan kencang mematikan keseluruhan fungsi tubuhnya. 

Keluargaku kembali memikirkan kehidupan bibi yang sudah menjadi janda di usia muda. Bibiku? Seperti biasa aku tak menemukan ekspresi apapun dari wajahnya.

Setelah kematian suaminya, ibuku memutuskan untuk mengajak bibi tinggal di rumah kami. “Ibu kepingin ada teman ngobrol,”  begitu kata ibu pada kami, anak-anaknya.

Ketika bibi benar-benar tinggal bersama kami, kondisi rumah mulai menjengkelkan. Setiap hari yang Bibi lakukan adalah mengomentari apa saja yang ia lihat. Suatu hari ia mulai mengomentari cara berjalanku yang aneh. “Perempuan itu jalannya tidak petantang-petenteng seperti itu,” katanya. Aku hampir tak percaya dengan ucapannya itu. Nyaris saja aku berteriak tentang cara berjalannya yang terhuyung-huyung di depan banyak orang yang membuatku muak.

Lain waktu, Ia mengomentari cara berpakaian pacarku yang katanya kuno. Sebelumnya, secara langsung ia bilang kalau tidak suka dengan pacarku itu  karena gaya bicaranya yang sok pintar.

Jujur, awalnya aku senang-senang saja bibi tinggal di rumah kami. Karena itu artinya ibu mempunyai teman di rumah yang bisa membantunya untuk mengurus rumah dan menemani Syawal, adik perempuanku yang masih SD. Tapi lama-lama aku risih juga dengan semua omelannya. Jengkel rasanya! 

Bibiku itu juga sangat ambisius dengan primbon miliknya. Ia bahkan sangat percaya pada ramalan yang ia baca di buku primbonnya. Ramalan yang belakangan bahkan menjadi petaka buat kakak perempuanku, Hapit. 

Bibi menanamkan kecurigaan-kecurigaannya kepada kakakku tentang kemungkinan suami kakakku yang main belakang dengan wanita lain. Semua bermula ketika ia mengartikan mimpi Hapit dengan bantuan primbonnya. Sejak saat itu, pernikahan Hapit yang baru berjalan tiga tahun dipenuhi dengan pertengkaran-pertengkaran yang disulut oleh ramalan primbon bibi yang tak masuk akal. Fatalnya, kakakku percaya hingga pernikahannya tidak bisa terselamatkan. 

Tak hanya Hapit, si bungsu Syawal juga tak luput dari pengaruh bibi. Suatu kali aku protes pada bibi karena menceritakan sebuah dongeng yang  menurutku mengerikan untuk anak seusia Syawal.

“Dongeng itu terlalu menakutkan untuk Syawal, Bi,” kataku mencoba tenang sambil duduk di sampingnya dan mengecilkan volume televisi. 

“Kamu sedang datang bulan?” Ia malah bertanya.

“Kamu datang bulan dua hari yang lalu, kan?”  Katanya lagi sambil membuka buku primbonnya. Aku mulai kesal.

“Itu artinya tanggal delapan yah?” Ia bertanya lagi dengan wajah yang mulai serius, terlihat dari keningnya yang dikerutkan begitu keras.

“Hati-hati, jangan terlalu percaya pada orang, termasuk orang terdekat,“ katanya cemas. 

“Omong kosong macam apa sih, Bi?,” bentakku. “Jika Bibi terus bersikap seperti ini aku…” 

“Membakar  primbonku?” katanya lantang memotong ucapanku. 

“Semua perkataanku tak pernah sedikit pun dibuat-buat. Soal dongeng, kakakmu, ibumu, dan kamu, itu benar adanya. Sekarang tidurlah, berdoa dan rencanakan sesuatu yang baik agar nasib buruk itu tak terjadi,” katanya sambil meraih
remote dan mematikan TV. 

“Keterlaluan! Apa hubungannya nasib buruk dengan datang bulan?,”  teriakku. 

“Bibi sadar
gak, Bibi adalah orang paling aneh di rumah ini…oh tidak..tidak…di dunia ini malah,” kataku sengaja dengan suara keras untuk memancing emosinya. 

Aku benar-benar ingin bertengkar dengannya. Bahkan aku sampai berpikir bahwa jika ia sampai memukulku, aku tak apa-apa. Itu akan lebih menyenangkan, karena artinya aku tak ada alasan lagi untuk menghormatinya. Dan berharap hal tersebut bisa membuatnya angkat kaki dari rumah kami.

“Kau akan sulit memahami keyakinanku.” 

“Memang apa keyakinan Bibi?,” tanyaku. Malah aku yang terpancing, bisa-bisanya ia bicara setenang itu padahal ada anak ingusan yang jelas-jelas menantangnya.

“Kau masih muda wajar saja tak memahamiku.” Sekali lagi ia berkata tanpa menjawab pertanyaanku.

“Usia bukan alasan,” ujarku semakin kesal. 

Ia melirikku dan memandangku cukup lama.

“Pernikahanku dengan tua bangka itu, kematiannya dan segala malapetaka yang terjadi ini sudah aku perhitungkan baik-baik”.  Aku terkejut dengan ucapannya, tapi mulai senang juga karena ia mulai tersulut.

“Primbon ini adalah kekuatanku.” Aku ingin terbahak, tapi kutahan demi menjaga harga dirinya.

“Percaya pada primbon itu kekanak-kanakkan, Bi,” katakku mulai merendahkan suara.

“Jika bukan karena ini…,” dia menunjukan primbon berwarna merah jambu yang gambarnya sudah pudar itu tepat di depan hidungku. “Aku sudah lama mati menyedihkan,” katanya dengan mata berkaca-kaca. 

Aku hampir tak percaya melihatnya. Bibiku yang galak dan keras kepala itu bisa meneteskan air mata. Aku tak bisa berkata apa-apa. Kulepas gengaman tanganku dan membiarkannya berlalu menuju kamar adikku.

Aku mematung cukup lama, sekarang pikiranku kacau. Aku tiba-tiba membayangkan wajah Bibi saat hari pernikahannya, saat suaminya meninggal, saat sedang memakan dengan lahap kupat tahu yang kubelikan, saat sedang memandikan Syawal, saat sedang memijat kepala ibu, saat sedang memeluk Hapit yang terisak. 

Suara ponselku yang berdering kencang membuayarkan lamunan. Ada pesan
whatsapp dari seorang teman yang mengirimkan video. Dalam video itu tampak pacarku yang sok pintar dan bergaya kuno itu sedang duduk di restoran dengan seorang wanita duduk dihadapannya. Tangan wanita itu menyentuh dahi dan pipi pacarku. Mataku terbelalak sesaat aku mengenali wanita dihadapan kekasihku adalah temanku. Saat itu rasanya aku ingin berlari ke kamar Bibi dan merampas primbonnya! (f)
 

Nanin Melawati - Garut
Cek koleksi fiksi femina lainnya di:

http://www.femina.co.id/fiction/ 


Baca Juga: 
Cerita Pendek : Roh-Roh di Dalam Gadih Bungo
Cerita Pendek : Dunia Bapak
Cerpen : Sang Kadaver



 


Topic

#cerpen, #fiksi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?