Fiction
Cerita Pendek : Dunia Bapak

10 Mar 2019



 
Saat tawanya reda dan lebih tenang, ia berubah lebih serius, “Tapi, dia tidak pernah menyerah, dikirimnya tulisan itu pada penerbit. Sialan itu pun jadi penulis. Naskahnya diterima, dibuat jadi buku, dijual di mana-mana. Sayangnya, dia pakai nama Bunga Malam. Nama tanpa filosofi yang tercetus begitu saja.”
 
Aku melihat ada sorot bangga di mata Apak Asrul. Ia pun tersenyum lebar.
 
“Oh… jadi begitu,” bibirku membulat. Akan kuceritakan kisah ini kepada Ibu nanti kalau-kalau Ibu belum mengetahuinya dengan rinci. Ngomong-ngomong aku mengenali tekad kuat seperti itu memang milik bapakku.
 
“Dan yang lebih disayangkan lagi, buku itu jadi buku pertama dan terakhirnya. Abak kau merantau di Jakarta dan hingga saat ini belum kembali. Dia memintaku menyimpan satu eksemplar bukunya untuk diminta lagi kelak. Kelak yang dimaksud adalah hari ini saat dia sudah jatuh sakit. Betul-betul kurang ajar Hamzah. Mestinya dia tahu kami sangat rindu,” dengan emosi Apak Asrul mengatakannya.
 
Aku menatapnya prihatin. Ingin rasanya mewakili Bapak untuk meminta maaf. Namun, rasa penasaranku belum usai. “Kenapa, Pak? Kenapa Bapak berhenti menulis?” aku tak bisa menahan diri untuk mendesaknya.
 
Lagi-lagi Apak Asrul menghela napas dalam. Kumisnya yang semula mengembang kini layu.
 
“Buku Ibu itu dibuat didasari oleh cinta abak kau pada amaknyo. Isinya tentang ibu dengan pengorbanannya dan anak dengan baktinya. Bayangkan, Apak membacanya dua kali.” Ia terkekeh geli seolah membaca adalah hal konyol untuknya.
“Dengan dasar itu dia berusaha mewujudkan mimpi Mak Ida, enek kau. Meninggalkan mimpinya sendiri. Abak kau tergugah oleh tulisannya sendiri.”
 
Aku terenyak mendengarnya. Aku memahami apa maksud perkataan Apak Asrul tentang mimpi Nenek. Pada malam-malam lalu, saat Nenek masih ada di antara kami, ia sering kali mengantarku tidur dengan sebuah cerita berulang-ulang. Tentang Bapak, tiada yang lain.
 
Betapa aku mengetahui bahwa begitu berbangga hatinya Nenek pada Bapak. Seolah memahami kekecewaanku pada kekosongan hari tanpa Bapak yang sibuk tiada tara dengan usahanya di dalam dan luar negeri. Nenek menanamkan padaku -yang kusimpan baik-baik dalam benak- bahwa Bapak adalah sosok yang pantas dicintai.
 
Dulu sewaktu kecil, Bapak sering kali menemani Nenek memasak di dapur. Membantu meniup tungku atau sekadar duduk di atas dingklek dekat pintu. Saat itu Nenek selalu menyampaikan pada Bapak tentang mimpinya melihat anaknya kelak berdasi, bersepatu mengilap, berambut klimis, berkemeja wangi, dan dihargai banyak orang. Itu saja.
 
Tapi, Nenek tidak pernah melarang Bapak bermain, mengayuh sepeda, melanglang ladang, menyanyi, berpuisi atau apa pun yang Bapak sukai. Ia tak pernah memaksakan kehendaknya pada Bapak. Tak perlulah belajar, jika tak ingin. Yang ia mau, Bapak belajar dengan kemauannya sendiri. Bekerja keras dengan inginnya sendiri. Namun, Nenek tak pernah usai berdoa untuk mimpinya itu. Hingga suatu waktu Bapak memboyong Nenek ke Jakarta dan benar-benar mewujudkan mimpinya. Sebatas itu yang Nenek ceritakan kepadaku dengan mata berbinar-binar.
 
Jadi, di balik keistimewaan cerita Nenek itu, ada dunia kecil Bapak yang ditinggalkan. Dunia yang pasti amat dirindukannya hingga ia titipkan potongannya kepada orang yang ia percaya.
 
Tiba di Bandara Internasional Minangkabau, aku pamit pada Apak Asrul dengan mencium tangannya. Ada rasa hangat yang sulit kujelaskan ketika ia mengusap rambutku seperti anaknya sendiri. Kami saling melepas dengan lambaian tangan.
 
Tunggu aku, Pak, aku segera kembali membawa dunia yang kaurindukan beserta salam rindu dari sahabat-sahabatmu.
*Ba a kaba = Apa kabar
 
***
 
MatahariPagi

 
Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#cerpen, #fiksi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?